Friday

Menagih Janji

Tiba waktunya menagih janji para politisi. Agar tak lupa, ini ada 10 janji yang patut kita cermati.


Ketika kampanye usai, sebetulnya ia juga adalah permulaan. Awal untuk mengumpulkan kembali janji-janji yang pernah terlontar. Awal untuk menagih mereka yang selama ini telah membujuk rayu publik agar memilih kelompok atau dirinya. Awal untuk mencermati bagaimana mereka akan mewujudkan janji itu. Dan awal mengkritisi bagaimana kita diajak untuk turut serta dalam pekerjaan besar menjadikan janji mereka kenyataan.

Para pebisnis memang tak pernah terlalu ekspresif dalam menyatakan dirinya dalam setiap proses politik seperti Pemilu. Namun pengalaman dimana pun menunjukkan secara diam-diam justru mereka lah yang secara teliti mencatat apa saja yang telah berkumandang selama kampanye.

Jika kita amati selama kampanye, janji klise dan abstrak sangat dominan. Kita sudah lama mendengarnya tetapi kita tidak jelas benar mengetahui bagaimana hal itu akan dicapai. Sangat mudah untuk apatis pada keadaan yang demikian. Namun, pilihan semacam ini bukan lah yang terbaik. Catatan-catatan tentang janji para kontestan Pemilu perlu terus-menerus dikemukakan sehingga kita tak lupa untuk apa kita memilih sebuah partai atau seorang pemimpin. Dari sana pula kita dapat menilai apakah pilihan kita memang benar atau justru kita (untuk kesekian kalinya) ditinggalkan begitu saja.

Dari banyak catatan tentang janji-janji di masa kampanye, setidaknya ada 10 isu yang menjadi kepedulian para pebisnis. Janji-janji ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai komitmen universal karena hampir semua partai menjanjikannya. Dengan demikian janji itu dapat ditagih kepada siapa pun yang menjadi pemenang Pemilu.

Janji itu antara lain adalah ini. Pertama, janji tentang memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Semua tokoh dan semua partai berjanji akan memberantas praktek ini. Janji yang bagus. Tetapi apakah mereka yang berjani benar-benar paham apa yang mereka janjikan? Ini pertanyaan tak berkesudahan.

Kedua, mengurangi tingkat pengangguran dan memperluas kesempatan kerja. Janji semacam ini menjadi komoditas yang laku keras selama kampanye. Namun, bagaimana cara memecahkan masalah ini terdapat variasi yang besar antara satu partai dengan yang lainnya. Bukan saja variasi caranya, tetapi juga variasi tingkat kelayakan solusi yang ditawarkan.

Ketiga, mengurangi bahkan menghapus utang luar negeri. Semua tokoh dan partai melihat hal ini sebagai prioritas. Berbagai cara untuk memecahkannya juga terlontar, mulai dari yang sangat klasik (misalnya, menyetop pinjaman baru dan mencicil pinjaman lama) sampai yang sangat progresif (menawarkan pertukaran aset, semisal konsesi sumber daya alam kepada negara donor atau lembaga donor). Sebaiknya mereka yang berjanji lebih dalam lagi memahami fakta dan data, sebelum terlanjur meninabobokan para audiensnya.

Keempat, menjamin stabilitas harga pada tingkat yang rendah. Publik makin terbiasa dengan janji dari politisi untuk menjamin tersedianya beras dan sandang dengan harga terjangkau, mengggiatkan lagi subsidi BBM dan listrik, biaya sekolah yang rendah dan sebagainya. Ini janji yang sangat mengundang simpati. Tetapi simpati bisa berubah jadi benci manakala janji sekadar jadi retorika.

Kelima, efisiensi birokrasi. Banyak politisi dan partai berjanji akan menata birokrasi supaya lebih efisien. Gaji pegawai negeri dinaikkan dan pada saat yang sama dilakukan rasionalisasi. Sebuah janji yang menarik, apalagi ketika dunia makin lazim menghubungkan prestasi sebagai tolok ukur organisasi, entah swasta mau pun pemerintah. Pertanyaannya, adakah partai atau tokoh yang berani mengambil tindakan yang setengah populer ini?

Keenam, meningkatkan pendapatan perkapita, lewat pertumbuhan ekonomi. Ini adalah janji klasik. Janji manis, tetapi bisa berubah pahit manakala kita bicara cara untuk mencapainya. Sebab, seringkali harus ada yang dikorbankan (trade off). Sebagai contoh, jika pendapatan petani ingin dinaikkan dengan mematok harga dasar padi yang tinggi, misalnya, bagaimana sektor industri menetapkan tingkat upah yang kompetitif akibat kenaikan harga kebutuhan pokok?

Ketujuh, perlindungan dan insentif dalam mendorong ekonomi domestik. Janji semacam ini sangat menonjol. Jika Soeharto dulu sangat populer dengan ucapan, “siap atau tidak siap, globalisasi akan datang,” sekarang justru semua partai mempertanyakan kesiapan itu. Ekonomi domestik kini dianggap sebagai kekuatan yang penting. Karena itu harus dilindungi dan diberi insentif. Pertanyaannya, manakala ada yang dilindungi dan ada yang diberi insentif, pada saat yang sama ada yang merasa terkalahkan atau tersisihkan. Bagaimana para partai melakukannya, perlu dicermati.

Kedelapan, ekonomi antardaerah yang bebas hambatan. Semua partai berjani memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasi ekonomisnya, ekonomi antardaerah semestinya tetap bebas hambatan kendati daerah punya otonomi yang luas. Janji semacam ini perlu pembuktian karena justru selama lima tahun terakhir, keluhan terhambatnya ekonomi antardaerah meningkat drastis karena para penguasa daerah (yang notabene berlatarbelakang partai) menetapkan kebijakan yang terkesan sangat lokal.

Kesembilan, APBN yang populis. Semua partai berjanji akan mengalokasikan APBN untuk bidang kesehatan dan pendidikan dalam porsi yang meningkat secara signifikan. Sebuah tekad yang baik. Tetapi atas beban siapa? Pembayar pajak, yang berarti kalangan bisnis? Dan, kalangan bisnis yang mana, pebisnis yang selama ini telah patuh membayar pajak atau mereka yang justru selama ini piawai menghindari kewajiban pajak?

Kesepuluh, semua partai dan tokoh pemimpin berjanji akan menjunjung supremasi hukum dan menjamin keamanan. Bagi para pebisnis dua hal ini adalah elemen yang sangat penting. Perlu pembuktian dan perlu pembaruan cara untuk mewujudkannya.

Sepuluh janji ini, di antara banyak lagi janji lain yang tak kalah penting, adalah pokok-pokok yang sebaiknya dipatrikan di setiap benak para politisi, pemimpin dan partai. Mereka tidak boleh dibiarkan lari dari kewajiban memenuhinya. Memang tidak mudah menjadi politisi. Tetapi lebih sulit lagi menjadi pebisnis yang hidup di negeri yang dipimpin politisi lupa janji. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 25/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari

Siapa yang Manja?

Megawati mengatakan pengusaha kita manja. Pengusaha membantahnya. Mari kita telusuri siapa sebenarnya yang manja.


Asyik juga membaca adu kritik antar elit kita belakangan ini. Baru-baru ini, misalnya, Presiden Megawati mengeritik pengusaha lewat pidatonya di hadapan anggota Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di Istana Negara. Katanya, pengusaha kita manja-manja. Mereka bisanya jadi jago kandang belaka. Diminta untuk ikut mempromosikan Indonesia ke luar negeri, malah bertanya siapa yang akan membiayai. “Ikut saja susah, padahal itu kan bagian dari promosi,” kata Megawati.

Kritik itu kemudian dibalas oleh M.S. Hidayat, ketua umum KADIN yang baru. Kata dia, pengusaha jangan disamaratakan. Tidak semuanya manja. Lalu Sofjan Wanandi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia lebih lantang lagi. Kata dia, pengusaha yang bisa survive selama krisis adalah bukti bahwa mereka tidak manja. Bila pengusaha banyak menyuarakan reformasi perpajakan, penghapusan biaya ekonomi tinggi, bukan berarti mereka manja. “Itu permintaan yang riil agar pemerintah mengerjakan pekerjaan rumahnya,” kata Sofjan.

Manja adalah sebuah sikap tetapi juga perilaku. Manja adalah sikap mudah menyerah. Dalam bentuk perilaku ia bisa berwujud macam-macam. Misalnya, sedikit-sedikit minta perlindungan. Lalu mencari ‘kambing hitam’ tiap kali menemukan kesulitan. Ketika ada masalah, lebih melihat potensi kesulitannya ketimbang melihat potensi kemungkinan memecahkan masalah. Lebih lanjut, sering mengambil jalan pintas, jalan yang mudah tanpa berfikir akibat jangka panjangnya. Dan kalau sudah berorientasi pada jalan pintas, kerapkali konsistensi diabaikan. Baik dalam argumentasi mau pun kebijakan.

Lalu siapa yang manja, sebenarnya?

Pengusaha kita dari dulu memang sudah dikritik sangat manja. Ada istilah kapitalis semu, untuk menunjukkan bahwa sebagian pengusaha kita besar karena dimanjakan dan mendapat perlindungan. Itu cerita lama. Lalu banyak juga pengusaha yang sangat gampang mencari kambing hitam. Menyalahkan stabilitas ekonomi yang rapuh, menyalahkan otonomi daerah yang kebablasan, bahkan juga bisa menjadikan flu burung sebagai kambing hitam. Tujuannya, untuk meminta perlindungan, meminta alasan untuk tidak usah bersusah-susah. Ini juga cerita basi yang sudah kita tahu. Sebagaimana pendapat seorang pengamat ekonomi terpandang, dimana-mana pengusaha memang begitu. Selalu meminta lebih. Mereka manja atau berpura-pura manja. Maka biarkan saja. Toh mereka nanti bakal diam sendiri. Sebab, dibalik kemanjaan mereka, mereka sebenarnya berikhtiar terus untuk mencari selamat. Bagaimana pun, nasib mereka memang pada akhirnya mereka tentukan sendiri.

Yang repot adalah bila pemerintah ikut manja. Gampang mengeluh, gampang menyalahkan orang lain dan selanjutnya, selalu mencari jalan pintas. Ini bisa berbahaya karena yang kena akibatnya adalah kita semua. Dan, ini lah justru yang kita khawatirkan sedang terjadi. Rencana mendivestasi saham pemerintah di Bank BNI sebesar 51%, misalnya, kelihatannya mengindikasikan adanya kemanjaan itu. Banyak sekali argumen di belakangnya yang tidak konsisten. Di satu saat dikatakan divestasi itu untuk menambal defisit anggaran belanja negara. Di saat lain dikemukakan bahwa penjualan saham itu demi untuk menyehatkan Bank BNI itu sendiri. Menyerahkannya kepada swasta diyakini akan bisa membuat bank itu sehat. Pemerintah seolah lupa bahwa Bank BNI adalah bank pemerintah pertama yang masuk bursa. Bahwa kemudian ia dibobol, apakah layak mengatakan kebobolannya itu karena ia bank milik pemerintah? Bukan karena persoalan mismanajemen? Sikap dengan mudah menunjuk kambing hitam semacam ini, adalah sebuah cermin sikap manja. Kita dengan cepat mengambil kesimpulan tetapi pada kala lain kesimpulan itu kerap kita ubah sendiri.

Begitu pula dalam hal caranya. DPR telah setuju, divestasi Bank BNI dilakukan lewat secondary offering. Belakangan terdengar kabar, divestasi itu bakal dilaksanakan dengan cara strategic sale, yang berarti lebih sekadar perpindahan kepemilikan daripada penyebaran kepemilikan. Ini juga bisa merupakan indikasi sikap manja, memilih mengambil jalan pintas. Karena secondary offering dianggap tidak memungkinkan lagi berhubung deadline yang mendesak, lalu jalan memotong jadi pilihan. Untung saja, beberapa waktu belakangan pilihan strategic sale itu dikabarkan dibatalkan.

Jika kita membaca bagaimana Pemerintah bersikap terhadap wabah demam berdarah belakangan ini, makin nyata lah bagaimana sikap manja itu. Baca saja, misalnya judul berita koran. Suatu hari ada seorang kepala dinas di DKI Jakarta berkomentar di bawah judul berita yang berbunyi begini: “RUMAH SAKIT LAMBAN LAPORKAN KASUS DBD.” Lihat, ketika nyawa demi nyawa melayang, kita masih berfokus pada kesulitan masalahnya ketimbang pada solusinya, bukan?

Keesokan harinya, kembali nada yang sama muncul. Sebuah kutipan, berbunyi demikian, “PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA MENGAKU KEWALAHAN MELAKUKAN PENGASAPAN UNTUK MEMBASMI NYAMUK AEGEPTY.” Lagi-lagi suara jajaran birokrasi lebih bernada menambah echo masalah ketimbang menawarkan solusi. Seolah-olah publik dianggap tidak tahu bahwa masalahnya sudah demikian besar, bahwa kesulitan datang bertubi-tubi. Oh, publik kita sudah cerdas, tuan-tuan. Mereka adalah pemerhati masalah yang cermat, kendati mereka tidak berbicara dan tidak punya panggung. Yang publik ingin dengar adalah bagaimana masalah-masalah itu akan dijawab, dengan tanpa mencari kambing hitam. Atau memang tak pernah ada keinginan untuk menjawabnya?

Tentu, tiap kita punya kemanjaan masing-masing. Ada baiknya kita introspeksi sebelum bangsa ini benar-benar menjadi bangsa yang manja. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 24/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari

In the long run, we are all death.

Bisnis di tahun 2004 masih berorientasi jangka pendek. Arah perekonomian jangka panjang banyak bergantung pada Pemerintah dan para kontestan Pemilu.


Dari ekonom profesional hingga paranormal, analis pasar hingga pengusaha besar, pengelola dana investasi raksasa hingga entrepreneur kelas menengah, kami minta bicara tentang bagaimana sebaiknya menjalankan bisnis tahun ini. Dan, apa boleh buat, sebagian besar masih bicara seperti John Maynard Keynes di tahun 1930-an, bahwa in the long run we are all death, bahwa di dalam jangka panjang kita semua akan mati. Dengan kata lain, tahun 2004 belum waktunya berfikir tentang rencana jangka panjang. Pusat perhatian masih pada bagaimana memanfaatkan momentum jangka pendek, bagaimana agar bisa selamat, a matter of survival.

Dengar lah saran Purdie E. Chandra, entrepreneur yang sukses membangun grup Primagama, kelompok yang jaringan bimbingan belajarnya sudah merambah sejumlah pulau di Nusantara. Dengar juga ramalan paranormal Teddy Agustino, ketua Lembaga Pengembangan Paranormal Indonesia. Atau simak analisis Aviliani, ekonom dari INDEF. Semuanya senada: ekonomi tahun 2004 masih digerakkan oleh bisnis bersiklus jangka pendek, investasi yang lebih mengutamakan pengembalian hasil yang cepat. Entah itu bisnis seperti rumah makan, jual-beli sepeda motor atau jasa perdagangan lainnya.

Para analis di Pasar Modal memang sudah mulai berharap bahwa para pemilik uang yang mengincar investasi portofolio akan lebih realistis tahun 2004. Para pemilik uang itu, menurut mereka, tak mungkin lagi bisa mengharapkan return gila-gilaan dengan risiko yang kecil, seperti ketika bunga deposito membubung di tahun 1997-1998. Melainkan sudah harus menyadari bahwa hasil yang besar mengandung risiko besar pula. Harus lebih cerdik memilih instrumen investasi, mengolahnya, mengkombinasikannya dan memperhitungkan hasil dan risikonya. Harus lebih memikirkan hasil jangka panjangnya ketimbang jangka pendeknya. Namun, suara itu tampaknya masih lebih bernada harapan ketimbang kenyataan.

Masalahnya adalah tahun 2004 mengandung faktor ketidakpastian yang cukup signifikan. Tahun 2003 memang telah lewat dengan perekonomian yang relatif stabil di tingkat pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu tinggi. Namun penyelenggaraan Pemilu berikut aktivitas sebelum dan sesudahnya ditengarai akan mendatangkan banyak tanda tanya dan sikap menahan diri dari kaum pebisnis. Masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab dan memang tidak akan terjawab sebelum hasil Pemilu tuntas diumumkan. Misalnya, siapa yang bakal menjadi RI1 dan RI2, bagaimana arah kebijakan ekonominya, apakah akan bersahabat dengan dunia bisnis atau tidak. Hanya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lah yang bisa menjadi landasan apakah sebuah investasi berjangka panjang dapat dibuat.

Maka tak mengherankan bila sebagian besar saran untuk menjalankan bisnis pada 2004 bersifat jangka pendek. Hermawan Kartajaya, Guru Pemasaran yang selalu optimistis itu, misalnya, melihat penyelenggaraan Pemilu bukan sebagai ancaman, melainkan peluang bisnis. Ia mencontohkan, dana yang berputar berkaitan dengan penyelenggaran Pesta Demokrasi itu diperkirakan berkisar Rp20 triliun hingga Rp40 triliun. Ini bukan stimulus yang kecil bagi sebuah perekonomian Indonesia, yang kapasitas Produk Domestik Brutonya saja baru mencapai Rp…. Triliun. Dan, harap dicatat, kata beliau, sebagian besar dana itu akan mengalir ke kalangan akar rumput, kalangan yang oleh para kontestan Pemilu akan dibujuk, diiming-imingi dan ditarik simpatinya. Maka saran Hermawan kepada para pebisnis: coba jajaki lah kebutuhan dan selera akar rumput itu. Dan bila Anda belum sempat berfikir, Hermawan sudah mempunyai sebagian jawabannya: kalangan akar rumput itu adalah orang-orang yang merindukan kemewahan juga seperti kalangan atas. Maka buat lah produk yang terkesan mewah tetapi massal, dengan kualitas baik tetapi harganya terjangkau.

Orientasi yang lebih bersifat jangka pendek itu telah muncul di tahun 2003 dan tampaknya makin mewabah di tahun 2004, seperti yang ditegarai Aviliani. Akan banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, tetapi sebetulnya adalah perdagangan. Sebagai contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdayatahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi pula.

Tentu saja para entrepreneur di mana pun selalu akan berusaha melihat semua keadaan sebagai peluang. Mereka akan mencari celah, sesempit apa pun, untuk tetap bisa selamat, syukur-syukur tumbuh dengan loncatan besar. Dan, tak ada masalah dengan cara pandang yang demikian. Namun, di sisi lain, harus ada yang tetap memikirkan kemana arah perekonomian akan dituju sehingga kita tak kembali lagi ke tahap pembangunan masa lampau. Bukan kah para ekonom kita dulu begitu getolnya mengeritik pengusaha kita sebagai pedagang belaka, belum menjadi para industrialis sejati?

Salah satu yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu lah para pengambil kebijakan ekonomi di kalangan pemerintah. Di tengah ketidakpastian nasib (masih terpakai atau tidak) mereka harus tetap memusatkan perhatian pada merumuskan dan menjalankan kebijakan ekonomi yang tidak semata berorientasi jangka pendek. Baru-baru ini, misalnya, Pemerintah mengatakan tahun 2004 akan merupakan tahun pembangunan infrastruktur. Ini sebuah sinyal yang baik, namun bagaimana rinciannya jelas lah belum banyak terbaca untuk dijadikan bahan kajian oleh para entrepreneur.

Pihak yang tak kalah besar tanggung jawabnya dalam hal ini adalah para kontestan Pemilu yang secara formal mau pun faktual akan menjadi pemenang Pemilu dan mengendalikan Pemerintahan kelak. Tampaknya mereka sejak awal sudah harus pula dengan terbuka dan tanpa retorika mengemukakan platform ekonomi jika mereka berkuasa kelak. Syukur-syukur jika platform yang satu dan lainnya tidak berbeda secara ekstrim sehingga akan memudahkan para entrepreneur memprediksi kebijakan ekonomi macam apa yang akan mereka jalani di masa mendatang. Yang tak kalah penting, the man behind the gun tampaknya masih sangat signifikan sebagai sinyal bagi para pelaku bisnis. Karena itu, jika partai-partai sudah dengan sangat antusias mengelus-elus calon-calon presidennya, tampaknya hal yang serupa bisa juga berlaku bagi calon-calon penentu kebijakan ekonomi kelak. Nama-nama mereka sudah sepatutnya pula mengemuka sehingga pasar dapat lebih cepat membaca arah keadaan. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 22/I/Januari 2004

Yang Baru di Tahun 2004

Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal yang tak kan sama lagi. Mari memberi kesempatan kepada mereka yang lebih muda.


Banyak, banyak, baaaaaanyak. Suara Robby Djohan terdengar setengah berteriak ketika melontarkan kata-kata itu. Kata banyak itu muncul berkali-kali ketika majalah ini bertanya kepada bankir yang disegani banyak kalangan itu tentang apakah memang benar banyak bankir muda kita yang siap menggantikan bankir-bankir senior. Pertanyaan itu dikemukakan sebab sebelumnya Robby berkata bahwa sudah waktunya bankir-bankir senior memberikan kesempatan kepada bankir-bankir muda untuk tampil sebagai pemimpin. Menurut dia, dunia perbankan, dan juga bidang-bidang lain di Tanah Air, kini memerlukan paradigma baru, sebuah kehidupan baru dengan lokomotif para anak-anak muda. Maka berikan lah anak-anak muda kesempatan, kata dia. “Baaaaaaanyak sekali bankir muda kita yang siap. Saya bisa kasih tunjuk, ribuan jumlahnya,” kata Robby.

Sore harinya, dalam acara peluncuran Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) kembali soal kesempatan bagi orang muda ini menjadi topik pembicaraan. Kali ini datang dari Rizal Ramli, ekonom yang didaulat menyampaikan pidato kunci (keynote speech) pada acara itu. Rizal Ramli membuat perbandingan bahwa 20 tahun lalu, jika ada seorang ahli ekonomi yang menyandang advanced degree dari luar negeri biasanya ia akan memilih berkarier di pemerintahan atau perusahaan besar. Sedikit atau langka yang berani memilih menjadi analis.

Sekarang keadaannya berbeda. Makin banyak lulusan dalam dan luar negeri yang antusias menekuni profesi itu. Dewasa ini makin diakui pentingnya peran para analis dalam menentukan opini publik untuk menyikapi berbagai keadaan ekonomi. Dan, ternyata anak-anak muda lah yang paling dominan di profesi ini. Rizal Ramli menekankan memang sudah waktunya diberi kesempatan lebih besar kepada pandangan-pandangan lebih jernih dan lebih tajam. “Sudah waktunya kita ‘orang-orang tua’ tahu diri,” kata Rizal dalam pengantar pidato kuncinya.

Barangkali seperti sudah cerita klasik, dimana-mana, sejak dulu dan pada segala situasi, anak-anak muda menjadi tumpuan harapan. Seperti sudah klasik pula, selalu diperlukan suara-suara penggugah, agar para senior tahu diri, tersadar tentang betapa panjangnya ‘antrian’ di belakang mereka. Robby Djohan dan Rizal Ramli tampaknya menjadi lonceng penggugah untuk mengingatkan bahwa ada banyak sekali anak-anak muda kita, dengan keringat dan inspirasi mereka tengah menyusun bata demi bata karier mereka. Tetapi, seperti sinyalemen Robby, kesempatan itu seringkali sulit diraih.

Sebenarnya memasuki 2004 nanti anak-anak muda menyimpan segudang optimisme. Pada sebuah forum yang diselenggarakan oleh Indonesia Society of Investment Professionals (ISIP), beberapa pekan lalu, misalnya, para analis-analis muda, antara lain Rizka Baely, managing director Corfina Capital, meyakini perekonomian Indonesia kini sedang memasuki tahapan yang baru. Dunia perbankan, misalnya, mereka percayai tak lagi sama dengan masa sebelum krisis. Karena itu pula para analis itu percaya krisis ekonomi yang dipicu krisis perbankan (seperti dulu) sulit terjadi lagi. Platform perbankan kita, kata mereka, kini sudah berbeda. Sebaran kepemilikan kini lebih luas (walau pun sebagian besar dikuasai oleh investor asing). Bank sentral juga sudah independen sementara beragam institusi pengawas, termasuk pengawas persaingan sudah berdiri pula.

Tetapi kemudian pandangan kritis diantara mereka sendiri kembali mempertanyakan apakah platform baru itu sudah pula diisi oleh aktor-aktor baru dengan paradigma yang baru pula. Bukan oleh aktor lama dengan gaya atau bungkus baru, seperti yang dicurigai selama ini. Mencuatnya kasus di Bank BNI, telah memunculkan sedikit kekhawatiran jangan-jangan platform baru yang kita sebut-sebut itu ternyata masih rentan.

Dan, di tengah kita menumpukan harapan pada anak-anak muda, kita makin terperanjat ketika membaca dua kisah anak pejabat tinggi negara yang belakangan ini mendapat sorotan media massa. Ada yang mendapat sorotan karena dipertanyakannya kemungkinan pengistimewaan perlakuan padanya dalam sebuah proyek yang melibatkan aset negara. Satu sorotan lagi muncul karena dugaan adanya kemungkinan penipuan yang dilakukan anak pejabat.

Dua kisah itu (yang klasik pula) tak boleh tidak akan memunculkan rasa geram. Di satu sisi kita membaca tentang sinyalemen sulitnya bankir-bankir muda profesional mendapatkan kesempatan. Di sisi lain kita mendengar sinyalemen tentang anak-anak pejabat yang mendapat jalur kilat dan khusus. Di satu sisi ada optimisme tentang platform dan paradigma baru. Di sisi lain kita justru dikejutkan oleh masih berlanjutnya modus-modus lama yang ingin kita tinggalkan.

Di masa lalu, kita acap dan cenderung mendiamkan hal seperti ini. Sebagian mungkin karena ‘platform lama’ yang terlalu kuat untuk dirobohkan karena sudah mengakar demikian lama. Barangkali pula disebabkan masih lemahnya pengorganisasian kesadaran mau pun pemahaman akan apa yang terjadi di kalangan publik karena minimnya transparansi dan komunikasi. Sebagian lagi, karena sikap pasrah yang berlebihan, seakan semuanya akan kembali baik seperti sediakala, seperti ‘badai yang pasti berlalu.’

Tentu persoalan yang kita hadapi bukan sekadar badai, fenomena alam yang diluar kendali intelektualitas dan organisasi kita. Barangkali analogi yang lebih tepat untuk itu adalah virus kanker ganas, yang berkembang dengan cepat dan mematikan bila tanpa tindakan apa-apa. Dan, kini mestinya kita punya kesempatan besar untuk memperbaiki diri. Optimisme Robby tentang berlimpahnya anak-anak muda yang hebat dan keyakinan tentang adanya platform baru yang lebih segar, seharusnya menjadi modal penting untuk merumuskan langkah kongkrit. Bahkan rumusan-rumusan langkah itu barangkali sudah tersedia. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengerjakannya atau adakah keberanian menjalankannya.

Maka ketika penghujung tahun 2004 tiba, saat mana sebagian besar kita mungkin akan mengambil cuti panjang dan berfikir ulang tentang banyak hal yang telah dan belum kita capai, sekali lagi kita belum bisa rileks. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum rampung. Jika Robby Djohan bicara tentang perlunya sebuah paradigma baru di segala bidang dan segala tingkatan, dan paradigma itu, menurut dia, hanya dapat dirumuskan dan dikerjakan oleh anak-anak muda, semestinya kita sudah akan dapat melakukan sesuatu sekarang dan segera. Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal tak akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.***

(Editorial WartaBisnis edisi 21/I/ 15 Desember 2003)
(c) eben ezer siadari

Entrepreneur Penakluk Krisis

Kita boleh lega masih punya sejumlah entrepreneur unggul, penakluk krisis dan pasar global.

Pada mulanya adalah sebuah keyakinan. Keyakinan yang didapat entah karena penemuan, pengetahuan atau pengalaman. Begitulah banyak entrepreneur menetapkan visinya dan berusaha mewujudkannya. Seperti misalnya, Ken T. Sudarto, yang dikenal sebagai ‘empu’ periklanan modern di Indonesia, pendiri Matari Advertising, satu diantara sedikit kantor periklanan domestik yang bertengger di papan atas perusahaan periklanan. Ia meyakini betul bahwa semestinya orang Indonesia sendiri lah yang lebih paham tentang Indonesia. Juga di bidang periklanan. Dan, berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan, termasuk di website kantor periklanan itu, ia mengemukakan keyakinannya. Bahwa, “Dunia periklanan hanya melibatkan orang dan komunikasi. Kami yakin tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”

Tidak banyak orang seperti itu. Di tengah makin banyaknya perusahaan multinasional melirik pasar domestik (dan tak sedikit yang berjaya), Ken masih tetap teguh pada keyakinannya itu. Bukan hanya yakin, selama 30 tahun lebih ia terus bekerja mewujudkan keyakinannya. Ia berhasil. Matari bukan saja dikenal sebagai perusahaan periklanan terkemuka di Indonesia. Ia juga jadi semacam ‘sekolah’ bagi insan-insan periklanan dan motor bagi majunya industri itu. Tak mengherankan, beberapa pekan lalu, Ken terpilih menjadi satu dari 15 finalis Ernst & Young Entrepreneur of the Year 2003. Para finalis ini adalah entrepreneur unggulan, dilihat dari kinerja perusahaannya, pencapaian visi, dampak global kiprahnya dan tak kalah penting, integritas.

Yang menarik, pendirian yang bernuansa nasionalis itu bukan diutarakan untuk mendorong sikap autarkis, menutup pintu bagi kekuatan global. Sikap itu justru lebih sebagai sikap percaya diri, mengundang sesama entreprenur di dalam mau pun dari luar negeri untuk bersaing secara adil. Juga semacam lonceng aba-aba agar kekuatan domestik bangkit dan menyadari bahwa kita, harus berjuang untuk menjadi tuan di negeri sendiri.


Ken cukup percaya diri untuk mengatakan keyakinannya justru karena pergaulannya yang tak terbatas. Di awal ia merintis karier di dunia periklanan, ia telah bergaul, antara lain dengan perusahaan-perusahaan periklanan dari Singapura. Ia bekerjasama dengan mereka, membuat versi Bahasa Indonesia iklan-iklan dari luar itu. Dari sanalah ia belajar teknik-teknik penulisan iklan dan tampaknya itu pula yang menjadi dasar keyakinannya, bahwa “tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”

Ketika makin hari sebagai entrepreneur kita tak bisa menghindar dari menjadi bagian untuh dari persaingan global, sekilas riwayat kewirausahaan Ken itu menjadi sangat relevan. Para budayawan kerap berdiskusi tentang bagaimana cara kita bisa hidup di tengah dunia tanpa kehilangan jatidiri. Di dunia bisnis, para entrepreneur juga tak kalah sibuk menjawab pertanyaan ini: bagaimana hidup dalam kompetisi global tanpa dimakan olehnya. Bahkan, seharusnya menjadi pemenang.

Kesemua entrepreneur yang menjadi unggulan dalam Ernst & Young Entrepreneur of the Year tahun ini tampaknya juga telah lama bergulat dan mencari jawaban dari pertanyaan semacam itu. Mereka yang berjumlah 15, berjuang dan mencari jalan masing-masing mengarungi persaingan global itu. Mungkin tidak selalu dengan cara spektakuler. Mungkin dengan berkali-kali gagal bahkan jatuh. Juga harus berani mengambil keputusan pada saat-saat informasi justru sangat terbatas.

Maka, ada sedikit perasaan lega ketika menyadari bahwa kita masih punya entrepreneur kelas dunia ketika menyimak 15 entrepreneur unggulan ini. Lebih melegakan lagi, kesemua mereka benar-benar mencerminkan entrepreneur Indonesia, bukan sekadar entrepreneur Jakarta. Djoesoef Djuanedi, misalnya, membesarkan Konimex dari Solo untuk menaklukkan pasar Singapura, Taiwan, Malaysia, Hong Kong dan Filipina. Charles Saerang dari Semarang tak lelah menggeluti bisnis jamu dan ikut mengangkatnya menjadi komoditas terpandang. Dari Tuban Mohammad Nadjikh mengolah hasil laut untuk di ekspor ke Jepang dan berbagai negara lainnya. Sementara Djoko Susanto mendirikan dan membesarkan Alfa Retailindo di tengah makin mudahnya kita menemukan ritel-ritel raksasa dari mancanegara. Ada pula Purdie E. Chandra dari Yogya mengembangkan Primagama menjadi waralaba pendidikan ke seluruh Indonesia, tak mau kalah dengan berbagai lembaga pendidikan internasional yang gencar pula menawarkan hak waralabanya. Dan, masih banyak lagi.

Tepat sekali pendapat yang mengatakan bahwa dalam banyak hal, pemulihan ekonomi tak hanya ditentukan oleh para penentu kebijakan. Individu-individu yang memilih jadi entrepreneur seringkali merintis upaya pemulihan itu terlebih dahulu, dengan cara mereka sendiri, entah dengan cara biasa atau luar biasa. Kepada mereka seharusnya para pengambil kebijakan bersedia mendengar.***

(Editorial WartaBisnis edisi 49/I/1 November 2003)
(c) eben ezer siadari

Pekerjaan dan Kekayaan

Mereka bekerja mandiri dan tak banyak tergantung kepada majikan. Mereka jadi pahlawan di tengah terbatasnya daya tampung lapangan kerja.


Sudah sangat tua sebenarnya topik perbincangan tentang hubungan pekerjaan dengan kekayaan. Namun tampaknya selalu ada sisinya yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Tak mengherankan jika buku-buku tentang itu banyak jadi bestseller. Di kita, di Indonesia, pemahaman tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan itu tampaknya berkembang sesuai dengan perkembangan perekonomian. Jika kita membaca buku-buku sejarah zaman Belanda dulu, ada semacam pandangan yang umum bahwa untuk bisa hidup mapan (termasuk menjadi kaya) jalan yang paling mulus adalah dengan menjadi pegawai pemerintahan. Memang pada waktu itu sudah banyak saudagar yang kaya, tetapi jalan semacam itu tampaknya dianggap kurang terhormat. pemerintah

Lalu ketika di zaman Orde Baru perekonomian mulai tumbuh, alternatif jalan menjadi orang kaya makin bertambah. Orang mulai memperhitungkan selain menjadi pekerja di luar pemerintahan (swasta nasional, asing mau pun BUMN) bisa juga menjadi kaya. Dan pada puncak deregulasi ekonomi dua dekade lalu boleh dikatakan merupakan momen paling mengesankan bagi sektor swasta di Indonesia. Pada saat itu orang bahkan sudah mulai berani mencemooh, bahwa bila tetap ingin jadi birokrat, siap-siap lah untuk melarat (pada kenyataannya tidak selalu benar). Lulusan terbaik dari perguruan tinggi top lebih memilih bekerja di sektor swasta daripada di pemerintahan. Apalagi ketika itu CEO profesional yang berhasil menjadi simbol-simbol pekerja kaya, seperti Tanri Abeng, T.P. Rachmat, Robby Djohan banyak bermunculan. Dan semangat menjadi ‘orang swasta’ makin menggebu.

Sekarang, pandangan-pandangan tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan berkembang lebih maju lagi. Misalnya, kini makin populer pandangan bahwa tak ada jaminan Anda akan kaya sepanjang Anda masih menjadi orang ‘kantoran.’ Sepanjang Anda masih bekerja untuk orang lain (entah itu bos Anda atau yang punya perusahaan), Anda masih akan tergantung secara finansial. Bagaimana kalau tiba-tiba perusahaan Anda bangkrut? Bagaimana jika Anda dipecat? Siapa yang membayar tagihan kartu kredit Anda? Mengapa Anda tidak mulai berfikir terbebas dari ‘menghamba’ kepada orang lain?. Dan, seterusnya, dengan gaya memikat, para penganjur paham semacam ini (antara lain Robert T. Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad, yang sangat terkenal dan dijadikan idola) bisa menggetarkan semangat para pengagumnya.

Dengan pertanyaan-pertanyaan yang provokatif, para penulis itu memotivasi orang untuk memikirkan ulang hubungan pekerjaan dan kekayaan. Memang banyak kritik terhadap cara Kiyosaki membangun argumentasinya, terutama ketika ia seolah-olah mengesankan sekolah (dan pendidikan) itu tak penting. Namun, pada satu titik, kita memang diajak untuk lebih terbuka melihat alternatif. Kita diajak untuk menjelajahi hal-hal yang dulu tak terfikirkan dan mencoba mengajak kita beranjak dari jalan-jalan lama yang sudah usang dan telah dieksploitasi berlebihan.

Pemahaman semacam ini telah ikut menjadi legitimasi lahirnya jenis-jenis pekerjaan yang bersifat independen, tak begitu terikat pada suatu institusi bisnis. Sebagai profesi ia kelihatan tidak mapan, apalagi bila dilihat dari kriteria profesi klasik. Namun ia menjanjikan penghasilan tak kalah dari berbagai jalan mapan yang sudah ada. Dewasa ini, misalnya, kita makin banyak menyaksikan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat mandiri, menekankan pentingnya motivasi, inisiatif, improvisasi dan disiplin pribadi.

Ke dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini lah termasuk para pemasar, entah itu dengan sebutan ‘konsultan’, agen, marketing associate, crown agency, dan lain sebagainya, seperti yang dapat Anda simak dari tokoh-tokoh dalam liputan sampul kali ini. Mereka boleh dikatakan wakil dari orang-orang yang bukan lagi mau dijebak pemikiran usang tentang jalan menuju kekayaan. Mereka bekerja dengan inisiatif, gaya dan solusi masing-masing. “Seratus kali Anda melakukan transaksi, seratus problem yang Anda hadapi. Dan, Anda harus menemukan solusinya,” begitu seorang broker properti menceritakan pekerjaannya. Dan, ia sukses, penghasilannya ratusan juta per tahun, penghasilan yang membutuhkan waktu puluhan tahun bagi seorang pegawai negeri yang jujur untuk mencapainya.

Kehadiran pekerjaan-pekerjaan yang demikian tak boleh pula dilepas dari keadaan ekonomi. Bagaimana pun pekerjaan-pekerjaan mapan terbatas daya tampungnya. Sementara dinamika ekonomi pada sisi lain membutuhkan berbagai jasa dan ketrampilan ‘baru’ atau ketrampilan lama dalam kemasan baru. Dengan kata lain, ia tak hanya sekadar katup pengaman dari keterbatasan daya tampung lapangan kerja, ia juga memberi pengertian baru tentang dunia kerja yang berubah.

Tentu banyak diantara yang menerjuninya pada awalnya bukan karena memilih, tetapi digiring oleh keadaan. Namun mereka yang bertahan, akhirnya menemukan berbagai nilai-nilai kebaikan pada pekerjaannya. Dan, karena itu mereka bersemangat melihara dan menjaga profesinya yang ‘baru’ itu.

Di titik ini lah tampaknya para kampiun pemasaran ini layak mendapat dukungan. Mereka patut didukung untuk terus menggali nilai-nilai kebaikan dari pekerjaan mereka, memapankannya di lingkungan mereka dan kemudian mensosialisasikannya kepada publik. Dengan demikian profesi yang dianggap baru itu pada waktunya juga sama terhormatnya (dalam persepsi kebanyakan orang) dengan profesi klasik lainnya.***

(Editorial WartaBisnis edisi 18/I/Oktober 2003)
(c) eben ezer siadari

Menelusuri Warisan Belanda

Infrastruktur dan pendidikan adalah dua hal penting penentu majunya suatu negara. Dan peran pemerintah sangat menentukan dalam hal ini. Maka agak menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi


Pada sebuah pertemuan yang tak terduga-duga pekan lalu, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Anne Booth. Nama ini tentu tak asing lagi bagi mereka yang serius mendalami masalah-masalah perekonomian Indonesia. Ia merupakan co-editor dari buku Sejarah Ekonomi Orde Baru, yang telah menjadi semacam buku klasik, diacu oleh hampir semua ahli yang ingin membahas ekonomi kita sepanjang periode yang penting itu. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto, ia juga salah satu Indonesianist yang diundang untuk menyumbangkan fikiran. Booth, kelahiran New Zeland dan pernah lama menjadi peneliti di Australian National University, kini menjadi profesor ekonomi di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Persinggahannya ke Jakarta yang hanya beberapa hari adalah dalam rangka melengkapi studinya tentang sejarah perkembangan ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang dia perkirakan akan terbit tahun depan.
Menarik untuk mendengar ceritanya tentang apa yang ingin ia jawab lewat studi terbarunya itu. Ia rupanya ingin menelusuri faktor-faktor sejarah apa yang menyebabkan perkembangan ekonomi negara-negara di Asia Tenggara demikian berbeda, padahal dari sisi geografis mereka berada di wilayah yang sama. Singapura, misalnya, sudah merupakan negara berpendapatan tinggi (high income country ) menurut Bank Dunia. Malaysia juga telah menikmati pendapatan perkapita cukup tinggi. Sedangkan ada juga yang digolongkan pada low & in the middle income seperti Muangthai, Indonesia dan Filipina. Juga ada negara yang belum maju seperti Laos, Kamboja dan juga Burma.
Jawaban selengkapnya mengenai hal itu tentu baru akan dapat kita temukan setelah ia menerbitkan bukunya. Namun ada dua hal yang menurut dia sangat menentukan perkembangan ekonomi suatu negara, khususnya di Asia Tenggara, bila dilihat dari aspek historis. Yang pertama adalah infrastruktur. Di Asia Tenggara seperti juga di Afrika dan Amerika Selatan pada jaman kolonial, infrastuktur ikut didorong oleh ekspor. Di Indonesia, kita bisa melihat di Sumatera Selatan, cukup kaya dengan kebun besar, maka jalan dan jembatan serta listrik cukup bagus. Di Jawa juga, infrastruktur seperti jalur kereta api, jalan, pengairan, cukup bagus, , bahkan mungkin yang paling bagus di masa kolonial dulu. Itu semua menurut dia, adalah warisan jaman Belanda yang sampai kini masih berperan penting dalam menunjang perkembangan ekonomi.
Yang kedua adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam menentukan kemajuan atau keterbelakangan sebuah negara. Berbalikan dengan infrastruktur, peninggalan Belanda untuk Indonesia dalam hal ini sangat buruk. Ia memberi contoh menurut sensus tahun 1961, sebagian besar angkatan kerja di Indonesia belum tamat SD, dan banyak yang belum sekolah sama sekali. Pada tahun 50-an ketika Soekarno mencanangkan peningkatan pendidikan ia menghadapi kesulitan.Tidak ada sekolah, tidak ada guru, anggaran sangat sempit, dan harus diakui sebagian besar anggaran negara digunakan untuk keperluan militer, seperti untuk pembebasan Irian Jaya dan konfrontasi dengan Malaysia. Pada jaman Soeharto, sebetulnya anggaran pembangunan terus naik sampai tahun 90-an. Dan anggaran itu dipakai untuk infrastruktur jalan dan jembatan, listrik, transmigrasi dan pendidikan. Tapi kalau dibandingkan dengan Muangthai, Malaysia, keadaan di Indonesia, menurut dia, masih kurang baik. Juga masih ada perbedaan tingkat kesehatan. Masih jauh lebih baik di Jawa, Bali, dan daerah perkotaan, daripada di Indonesia bagian Timur.
Walau ia tak membuat semacam kesimpulan, dari penuturannya tampak benar bahwa dua hal yang diwariskan oleh pemerintah penjajahan –yang baik mau pun yang buruk-- ternyata masih sangat menentukan hingga dewasa ini. Infrastruktur semisal jalan kereta api, mungkin tak banyak bertambah dari apa yang dulu ditinggalkan Belanda. Kesenjangan Jawa dan luar Jawa, Indonesia wilayah Barat dan Timur, juga masih terus berlangsung bahkan seakan dilanggengkan.
Ini akan sangat ironis bila kita membayangkan bahwa kita telah merdeka 58 tahun. Dan, akan lebih ironis lagi manakala kita kini telah disibukkan dengan liberalisasi ekonomi, persaingan bebas di tingkat global dan makin pragmatisnya pendekatan-pendekatan pemerintahan di berbagai negara dunia ketiga dalam mengelola perekonomiannya. Salah satu contoh, dalam sebuah diskusi tentang RAPBN yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesional Madani, di Jakarta belum lama ini, ada suatu pendapat yang mengatakan, buat apa kita disibukkan mengkritisi RAPBN. Toh RAPBN itu tidak lagi signifikan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut pendapat itu, RAPBN tak lebih hanya sebagai catatan pembukuan pemerintah dalam membiayai kegiatannya. Jadi, kata pendapat tadi, tidak usah lah sibuk membicarakan RAPBN.
Jika kita mengacu pada hipotesis yang diajukan Booth, bahwa infrastruktur dan pendidikan merupakan faktor historis (yang berarti sangat berjangka panjang) yang sangat menentukan, maka akan sangat nyata lah bahwa membicarakan RAPBN itu sangat penting. Bagaimana pun, penyediaan infrastruktur mau pun pendidikan masih akan sangat tergantung pada pemerintah. Bagaimana RAPBN disusun dalam menyikapi hal ini merupakan soal yang harus dicermati. Bukan hanya mencermati besaran-besarannya (sudah barang tentu dana untuk itu tak semuanya harus ditanggung pemerintah) tetapi yang lebih penting apakah RAPBN yang disusun memberikan sinyal yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.
Pandangan yang kritis terhadap bagaimana Pemerintah merencanakan dan mengelola anggarannya akan makin perlu bila Anne Booth benar, bahwa kesenjangan yang terjadi saat ini adalah merupakan warisan penjajahan, yang berarti kita masih juga belum berhasil mengatasinya. Persoalan kesenjangan, dimana pun bahkan di negara yang paling liberal, tak dapat diserahkan begitu saja pada pasar, tetapi ia mengharuskan campur tangan pemerintah. Dan, karena itu lah betapa menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi.

(Editorial WartaBisnis edisi 17/I/15-30 September 2003)

(c) Eben Ezer Siadari

Lagi, Kita Berada di Posisi Buruk

Indonesia berada di peringkat ke tujuh diantara negara-negara yang berisiko tinggi terhadap serangan teroris.


Tak henti-hentinya citra Indonesia memburuk di dunia internasional. Dalam pemeringkatan yang dilakukan berbagai institusi, sudah beberapa kali negeri ini berada di posisi yang buruk. Indonesia termasuk negara teratas dalam hal korupsi. Indonesia juga berada pada posisi yang jelek dalam hal daya saing global. Selain itu Indonesia tak dapat dibanggakan dalam indeks pembangunan manusia. Anda mungkin tak perlu pula heran jika dalam hal terorisme, Indonesia pun kini menempati posisi yang menyedihkan.

Baru-baru ini majalah The Economist melansir pemeringkatan yang dilakukan oleh World Market Research Centre. Institusi ini menyusun peringkat berbagai negara di dunia berdasarkan indeks terorisme global, yang merupakan cerminan dari tinggi rendahnya risiko terorisme di suatu negara. Dan, Indonesia berada di urutan ketujuh, satu tingkat di bawah Afganistan. Dengan kisaran skor hampir mencapai 80, Indonesia tergolong sebagai negara berisiko tinggi (rentang skor 65,5-85), sekelompok dengan Pakistan (peringkat ketiga), Amerika Serikat (peringkat keempat) Filipina (peringkat kelima) dan Afganistan. Kolombia dan Israel berada di peringkat pertama dan kedua sekaligus merupakan negara yang dianggap berisiko secara ekstrim. Negara paling aman dari serangan terorisme, menurut pemeringkatan itu adalah Korea Utara. (lihat tabel)

Sudah barang tentu tingginya risiko terorisme tak selalu berkait dengan buruknya perekonomian suatu negara atau rendahnya kemampuan pemerintahnya mengendalikan keamanan. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Barangkali diantaranya adalah seberapa besar eksposur investasi asing dari negara-negara yang dianggap musuh utama teroris di negara dimaksud. Amerika Serikat sebagai contoh, adalah negara yang selama ini oleh teroris dianggap sebagai musuh kelas wahid. Tak mengherankan bila peringkatnya berdasarkan indeks terorisme global itu cukup tinggi.

Baru-baru ini Ketua Kadin, Aburizal Bakrie mengatakan dunia bisnis di Indonesia makin terbiasa menghadapi aksi-aksi terorisme. Itu sebabnya, menurut dia, Bom Marriott tidak menimbulkan kepanikan di kalangan bisnis. Maka ia juga yakin aksi terorisme itu tidak akan memberi dampak berkepanjangan terhadap perekonomian.
Barangkali kalangan dunia bisnis di Tanah Air yang tumbuh dan dibesarkan di dalam negeri memang dengan sendirinya dapat memahami apa yang terjadi. Itu sebabnya mereka tidak panik. Juga para investor asing yang sudah puluhan tahun berada di sini, sudah dapat mengerti dan mengukur seberapa jauh risiko berbisnis di Indonesia akibat aksi-aksi pengeboman tersebut.

Namun, bagaimana dengan para investor baru yang belum banyak tahu tentang Indonesia tetapi telah memasukkan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasinya? Apakah mereka dapat yakin begitu saja oleh pernyataan-pernyataan pengusaha dan pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa aksi terorisme tidak berpengaruh besar terhadap iklim investasi di sini? Jelas, ini masih menjadi tanda tanya. Dan, bila mereka membaca indeks terorisme global seperti yang dihasilkan oleh World Market Research Centre itu, pastilah akan mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan yang mereka ambil.

Maka ada baiknya kita tidak menganggap enteng risiko bisnis pasca Bom Marriott ini. Apalagi setelah itu suhu politik diperkirakan akan memanas, terutama menjelang Pemilu. Berbagai dinamika politik dan sosial bisa menjurus kepada gangguan keamanan yang selanjutnya meningkatkan risiko berbisnis di Tanah Air. Ini bisa menjadi ganjalan di tengah upaya Pemerintah menarik investasi asing. Padahal, tahun ini sudah pula dicanangkan sebagai tahun investasi.

Selain upaya keras dari pihak berwewenang untuk mengusut biang keladi terorisme di Indonesia dan mencegah kemungkinan terulangnya aksi-aksi serupa, mungkin diperlukan berbagai langkah antisipasi lain. Dari dunia asuransi, misalnya, terbetik kabar bahwa produk asuransi untuk melindungi risiko aksi terorisme ternyata belum banyak tersedia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kapasitas industri asuransi untuk menyediakannya. Dan, ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara maju. Itu dari sisi pasok. Dari sisi permintaan, produk-produk semacam itu juga tampaknya belum populer. Dunia bisnis kita ditengarai belum terlalu peduli dan terdorong untuk mengasuransikan bisnisnya dari kemungkinan-kemungkinan tak terduga seperti aksi terorisme. Sebagai contoh, asuransi gempa bumi dan bencana banjir saja masih kurang populer, padahal gempa bumi dan banjir adalah fenomena alam yang sangat sering terjadi di Indonesia.

Kita tentu berharap agar aksi-aksi terorisme bisa diakhiri. Namun, tak ada salahnya jika kita juga bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Barangkali sudah waktunya pemerintah dan dunia usaha duduk bersama-sama untuk merumuskan langkah, setidaknya berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan terburuk tersebut.

(c) Eben Ezer Siadari

Jangan Melupakan Sejarah

Seratus perusahaan berusia lebih dari setengah abad bisa bercerita banyak tentang sejarah bisnis di Tanah Air.




Negeri ini jelas tak hanya dibangun oleh para pahlawan, tentara, birokrat atau politisi. Ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan 58 tahun lalu, Jakarta yang berdiri ratusan tahun sebelumnya sudah menjadi pusat dagang. Sejumlah perusahaan telah berdiri dan berkiprah. Mengincar pasar dalam negeri mau pun dengan melanglang buana.

Banyak diantara perusahaan itu ternyata hingga kini masih bertahan. Barangkali ada nada sentimentil bila perusahaan-perusahaan itu kita sebut sebagai saksi sejarah. Tetapi mereka memang menjadi saksi sejarah. Perusahaan-perusahaan itu, dengan kinerja yang baik, sedang-sedang atau buruk pun, sebagai organisasi telah mengalami pasang surut alam Indonesia merdeka. Dan, mereka membuktikan mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan.

Entah sejak kapan dimulai, kita telah lama mentradisikan peringataan ulang tahun kemerdekaan sebagai momen melihat ke belakang. Namun seringkali kita hanya menggali kembali ingatan pada berbagai peristiwa di panggung politik mau pun panggung pertempuran. Tetapi bagaimana dengan panggung bisnis? Adakah ia sebenarnya punya cerita?

Dalam konteks ini, Liputan Utama WartaBisnis kali ini yang menampilkan 100 perusahaan berusia 50 tahun atau lebih, boleh lah dipandang sebagai pelengkap dari tradisi itu. Sebab, seperti yang telah dikemukakan tadi, banyak diantara perusahaan ini sebenarnya telah menjadi saksi sejarah bahkan mungkin menjadi penggerak roda ekonomi, jauh sebelum Republik ini berdiri. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah ada sejak 1895, mungkin hanya satu dari banyak contoh. Perusahaan ini dan banyak lagi perusahaan lain, bisa menjadi sumber cerita bagaimana sebenarnya dunia bisnis berjalan sepanjang sejarah Indonesia berdiri, dari awal hingga kini.

Di Amerika Serikat beberapa tahun lalu melesat apa yang disebut ‘ekonomi baru.’ Ditandai oleh bermunculnya banyak sekali perusahaan-perusahaan baru yang mengklaim punya model bisnis yang unik, mereka pada umumnya menolak untuk menoleh ke belakang. Resep sukses, katanya, kini tak harus berakar pada model-model bisnis yang lazim. Justru resep sukses itu, kata mereka lagi, seringkali samasekali tanpa preseden. Belajar kepada masa lalu dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman.

Terbukti kemudian, banyak yang berhasil tetapi lebih banyak lagi yang jatuh. Statistik terbaru mengatakan hanya 20% dari perusahaan-perusahaan baru yang berhasil melewati usia satu tahun. Perusahaan dotcom berjatuhan, sementara yang mencoba bangkit akhirnya merevisi model bisnisnya, kata lain untuk mengatakan kembali kepada prinsip-prinsip old economy, ekonomi yang sesungguhnya.

Menoleh kembali ke masa silam, lewat 100 perusahaan bersejarah yang tampil pada nomor ini, tentu bukan berarti mengajak Anda memuja masa lalu. Juga bukan berarti panjangnya usia satu-satunya menjadi ukuran ketangguhan. Banyak dari perusahaan yang ada dalam daftar ini, kerap kali menjadi cemooh. Bahkan sebagian besar diantaranya adalah BUMN, perusahaan yang selama ini menjadi sorotan sinis.

Namun, dari mereka setidaknya ada banyak hal bisa ditarik. Tentang hal-hal apa yang membuat mereka bertahan. Tentang lingkungan bisnis dan politik mana yang telah mewarnai perjalanan hidup negeri ini. Lalu bagaimana dunia bisnis beradaptasi terhadapnya. Kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi pakar sejarah bisnis. Dan, jika dulu Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, menjadi jargon yang populer di dunia politik, ada baiknya dunia bisnis di Tanah Air juga mempelajari sejarahnya sendiri. Sebab dengan demikian lah para saudagar di negeri ini dapat melihat kekuatan dan kekurangannya. ***

Mandor

Argumentasi bahwa IMF masih diperlukan untuk memandori program ekonomi, terasa sangat tak relevan, di tengah bangkitnya semangat nasionalisme ekonomi.



Kata mandor jadi agak populer belakangan ini. Ia digunakan untuk menggambarkan peranan IMF dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi pemerintah, khususnya yang tertuang dalam letter of intent. Salah satu alasan yang diajukan sementara kalangan untuk tetap mempertahankan kerjasama dengan IMF adalah pentingnya kredibilitas dan kompetensi lembaga itu dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi. Kalangan ini menganggap, lembaga ini dapat memainkan peran mandor itu dengan baik karena mereka terbebas dari tarik ulur kepentingan, kredibilitasnya tinggi di mata pasar internasional, dan yang lebih penting lagi, mereka mempunyai kompetensi.

Menurut pandangan ini, salah satu yang mengkhawatirkan bila IMF tak lagi dilibatkan adalah kemungkinan hilangnya kredibilitas kebijakan ekonomi itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih keren, ini disebut sebagai credibility gap (kesenjangan kredibilitas)

Tim exit strategy memang telah melansir enam opsi pasca program IMF. Jika ditilik dari keseluruhan opsi, empat diantaranya menyatakan adanya peranan IMF, dengan derajat yang beragam. Empat opsi itu, pertama, adalah apa yang disebut Extended Fund Facility. Ini adalah kontrak kerjasama seperti yang selama ini dilakukan. Kedua, Stand By Arrangement, dimana IMF memberikan pinjaman siaga yang bisa digunakan. Ketiga, Precautionary Arrangement, IMF memberikan pinjaman berjaga-jaga, tetapi sejak awal ditekankan tak dapat digunakan. Keempat, Post Program Monitoring, dimana IMF melakukan monitoring dan pemerintah membayar utang sesuai dengan jadwal. Tiga yang disebut pertama mengharuskan adanya Letter of Intent, sementara yang terakhir tidak. Dua opsi lain yang tak menghadirkan IMF lagi sama sekali adalah pertama, pemerintah mempercepat membayar utang pada IMF sehingga yang tersisa adalah utang di bawah atau sama dengan kuota, dan kedua, membayar lunas keseluruhan utang sekaligus.

Sebenarnya sedikit aneh jika tim exit strategy masih memasukkan opsi-opsi yang mengasumsikan diteruskannya program kerjasama dengan IMF. Jika menilik sedikit ke belakang, dan menelusuri kembali diskusi yang berkembang sehingga MPR mengamanatkan pengakhiran kerjasama dengan IMF tempo hari, maka sama seperti namanya, tim exit strategy seharusnya bertugas untuk merumuskan program-program ekonomi tanpa peran IMF lagi. Dengan demikian sebenarnya hanya dua opsi yang disebut terakhir lah yang benar-benar dapat dikatakan sebagai exit strategy, yakni pembayaran utang yang dipercepat atau pembayaran lunas sekaligus.

Jika kini wacana berkembang adalah adalah enam opsi, di sini argumentasi yang mengatakan diperlukannya IMF sebagai mandor menjadi penjelas. Ini secara gamblang menunjukkan betapa para teknokrat pengambil keputusan itu masih terkesan bias pada kepentingan IMF. Dan, ironisnya, argumentasi itu pula lah yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik lemah. Ini menjadi gambaran rendahnya kepercayaan diri mereka untuk menjadi mandor di negeri sendiri, seperti dikemukakan oleh Menteri Perencanaan Negara, Kwik Kian Gie.

Argumentasi sebagai mandor itu pula menjadi cermin masih kerapnya para teknokrat ekonomi mengenakan ‘kacamata kuda’ untuk hanya dikungkung oleh paradigma tertentu dan kurang terbuka terhadap paradigma lain. Argumentasi yang menganggap IMF lah pilihan paling tepat untuk menjadi mandor negeri ini mengabaikan fakta makin meningkatnya semangat nasionalisme ekonomi tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan bahkan Cina. Nasionalisme itu tumbuh karena pengalaman global menunjukkan makin terdesaknya negara-negara dunia ketiga oleh kepentingan negara besar, yang biasanya ‘bersembunyi’ di balik konsep free trade mau pun isu globalisasi. Dan, negara-negara tetangga itu berhasil justru dengan bersikap kukuh memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Di Indonesia seringkali ada anggapan bahwa nasionalisme ekonomi hanya populer di kalangan akar rumput, lebih didorong oleh sentimen anti Barat dan biasanya hanya digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mengegolkan agendanya. Anggapan semacam ini tampaknya makin tidak relevan karena nasionalisme itu kini dengan mudah dapat ditemukan pada sikap kalangan terpelajar, elit professional, intelektual mau pun entrepreneur. Robby Djohan, mantan CEO Bank Niaga dan Bank Mandiri, dalam bukunya yang terbit baru-baru ini, Turnaround, Kiat-kiat Restrukturisasi, misalnya, menunjukkan semangat nasionalismenya yang tinggi, sambil menceritakan kejengkelannya ketika berhadapan dengan para petinggi IMF tempo hari.

Maka di tengah realitas yang demikian, tampaknya adalah lebih baik untuk menyerahkan urusan memandori ini kepada negeri ini sendiri. Pengalaman selama lima tahun terakhir menunjukkan, mandor IMF juga tak sepenuhnya berhasil, walau pun memang tak semua kesalahan patut ditimpakan kepada mereka. Sudah saatnya kita mencoba.

(c) Eben Ezer Siadari