Tuesday

Mari Kita Mudik


Mudik seharusnya proses dua arah: orang kota tak hanya jadi duta bagi kemajuan diri dan kota, tetapi juga belajar dari udik tentang nilai-nilai yang sudah lama terlupakan.


***

Sebentar lagi kita akan menyaksikan demam yang selalu berulang setiap tahun: mudik. Hari-hari ini ‘gejalanya’ bahkan sudah terasa; banyak orang sudah mengeluh tentang sulitnya mencari tiket pesawat terbang dan kereta api. Sebentar lagi kita juga akan mendengar keluhan yang sama setiap lebaran: sulitnya mencari orang yang bisa beres-beres di rumah, selama si Inem pulang kampung.

Mereka yang Terabaikan

Industri MLM terus bertumbuh, menjadi salah satu bagian dari ekonomi bawah tanah yang penting tetapi agak terabaikan.



Underground economy pernah menjadi salah satu penjelas mengapa ekonomi kita tidak kolaps walau krisis membuat perekonomian anjlok ke tingkat pertumbuhan minus. Rupanya di bidang ekonomi kita punya semacam tenaga dalam. Tenaga simpanan yang muncul manakala keadaan darurat terjadi. Itulah underground economy, ekonomi bawah tanah. Suatu perekonomian yang selama ini kurang terdeteksi atau seolah tak disadari bahwa ia ada. Ketika krisis melanda dan ekonomi resmi terseok-seok, ekonomi bawah tanah ini terus berputar. Dalam beberapa hal, ia bahkan berputar lebih kencang menampung mereka yang terlempar dari ‘ekonomi permukaan.’

Per definisi ekonomi bawah tanah adalah aktivitas ekonomi yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi resmi yang direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto. Ada banyak alasan mengapa ia tak tercatat. Ada yang karena alasan teknis, semisal sulitnya membuat ukuran yang pasti, seperti mengukur nilai tambah ekonomi yang dihasilkan ibu-ibu rumah tangga dalam mengasuh anak, membersihkan rumah hingga memasak. Ada juga karena ia tersembunyi atau disembunyikan, seperti aktivitas bisnis ilegal, mulai dari judi, pelacuran hingga korupsi. Tetapi ada juga yang karena potensinya yang tidak disadari atau dianggap remeh (under estimate). Ke dalam hal ini, termasuk sejumlah aktivitas di sektor informal dan ekonomi usaha super kecil (mikro) yang ternyata oleh sejumlah peneliti –antara lain Profesor Mubyarto—justru dianggap berputar lebih kencang di masa krisis.

Yang menarik, di mana-mana di seluruh dunia, diyakini aktivitas ekonomi bawah tanah terus bertumbuh. Ada sebuah statistik yang tidak terlalu baru dan bervariasi sumbernya, tetapi bisa menjadi ilustrasi. Statistik yang dilansir oleh New Internationalist (www.newint.org) itu mengatakan di Australia diperkirakan ada 14% tenaga kerja yang bergerak dalam bentuk ekonomi bawah tanah. Di Sao Paulo (Brasil) 43%, di Bombay (India) 60%, Pakistan 69% dan di Jakarta (Indonesia) 45%. Di Italia berkisar 25% hingga 30%. Sebagai gambaran, 70% dari pekerja ekonomi bawah tanah di Italia adalah wanita. Kebanyakan dari mereka bekerja di industri tekstil rumahan. Sebanyak 44% bekerja lebih dari delapan jam sehari, 20% bekerja antara 10 sampai 12 jam dan 20% bekerja 12 jam sehari.

Ekonom M. Chatib Basri pernah mengatakan adanya ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi berkisar 3-4%, namun pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7-8%. Seharusnya, menurut Basri, dengan menggunakan elastisitas yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi listrik, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi listrik sebesar 2%. Tahun 1997, saat pertumbuhan ekonomi 7%, pertumbuhan konsumsi listrik meningkat hingga 14%. Jadi, jika pertumbuhan konsumsi listrik 8-10%, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 seharusnya 4-5%, bukan 3-4%. Artinya ada satu persen pertumbuhan ekonomi yang tak tercatat. Kuat dugaan, kebutuhan listrik itu datang dari ekonomi bawah tanah, aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, legal maupun tidak legal. Jika aksioma lain dipakai, bahwa tiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 400 ribu lapangan kerja, maka sebesar itulah kesempatan kerja yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi kita, namun mereka benar-benar menggerakkan roda ekonomi.

Pemerintah di mana pun pastilah bersemangat untuk mengejar agar ekonomi bawah tanah itu terungkap. Jika ia aktivitas ekonomi gelap atau ilegal, ia patut dibasmi. Penyelundupan, misalnya, seberapa besar pun ia memberi kesempatan kerja, seharusnya memang diberantas karena pada sisi lain, ia menyebabkan kerugian bukan hanya di pihak pemerintah tetapi publik pada umumnya. Di luar itu, jika ekonomi bawah tanah dapat diangkat menjadi ekonomi resmi ia berpotensi sebagai sumber pendapatan negara, semisal penerimaan pajak.

Meskipun demikian, kiranya patut dicatat bahwa mungkin banyak juga aktivitas ekonomi bawah tanah yang justru perlu dibiarkan berkembang bahkan bila perlu mendapat insentif dan perlindungan. Soalnya, ia dapat menjadi katup pengaman manakala ekonomi resmi belum berjalan normal. Ke dalam kategori ini, industri MLM mungkin bisa dimasukkan, meskipun perlu dicatat tak semua aktivitas industri ini dapat dikategorikan sebagai bawah tanah. Jika ditilik dari perusahaan yang menerjuninya, jelas, industri ini adalah bagian dari ekonomi resmi, ditunjukkan oleh kemapanan organisasi dan legalitas pendukungnya. Namun, dilihat dari bagaimana jejaring mereka bergerak, barangkali sangat sulit untuk mengukur dengan pas seberapa besar nilai tambah ekonomi yang mereka hasilkan. Bukan karena ia tersembunyi, tetapi karena geraknya yang dinamis dan ukuran-ukuran kinerjanya yang unik.

Industri ini terus bertumbuh dan nilai ekonominya tidak kecil. Menurut data Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI) setidaknya ada empat juta orang di Tanah Air yang menggeluti industri ini. Turn over salah satu pemimpin pasar di industri ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Tak heran jika perusahaan yang menggeluti industri ini terus bertambah. Hingga kini anggota APLI sudah mencapai 62 perusahaan. Masih ada perusahaan MLM di luar APLI.

Selain nilai tambahnya pada aktivitas perekonomian, MLM dianggap mempunyai sumbangan intangible yang tak kalah penting. Sebuah komentar independen dari Rizka Baely, seorang entrepreneur dan CEO sebuah perusahaan manajer investasi dan bukan pelaku MLM, patut dicatat. Menurut dia, industri MLM menjadi salah satu alternatif pembelajaran banyak orang untuk menjadi entrepreneur. Menurut dia, sebenarnya ada tiga pilihan cara untuk jadi entrepreneur: mendirikan bisnis sendiri, membeli hak waralaba atau bergabung pada sebuah jejaring MLM. Pilihan bergabung melalui sebuah jejaring MLM, kata dia, sangat logis diambil oleh orang-orang yang belum siap dengan alternatif pertama dan kedua karena berbagai alasan, terutama dana, pengalaman dan waktu. Bergabung dengan jejaring MLM merupakan satu langkah awal menjadi entrepreneur, sebuah proses mematangkan diri untuk kelak benar-benar full sebagai entrepreneur. Entah itu menjadi entrepreneur yang besar di jejaring MLM atau menggunakan pengalaman di MLM itu untuk berkiprah di bisnis lain.

Jika menilik nilai tambah intangible demikian, sangat wajar jika ada pendapat yang mengatakan sudah saatnya industri MLM diperhitungkan sebagai salah satu pilar ekonomi. Diperhitungkan bukan berarti harus dilindungi atau dimanjakan. Melainkan ia diberi kesempatan hidup dan lingkungan yang kondusif untuk terus bertumbuh.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri sinisme terhadap industri ini begitu tajam. Bukan tak ada alasannya. Sudah banyak terbukti aktivitas MLM dijadikan kedok bagi penipuan dan perjudian uang. Dan, untuk yang terakhir ini, memang sudah seharusnya ada regulasi yang jelas. Tujuannya bukan hanya melindungi publik, tetapi yang tak kalah penting adalah mendorong agar persaingan di industri ini berjalan sehat. *****

(Editorial WartaBisnis edisi 30/II/September 2004)
(c) eben ezer siadari

Populer lewat Populisme

Mega-Hasyim dan SBY-Kalla tak mungkin bisa menghindar dari populisme. Populisme yang mana?


Sulit untuk meredam keinginan untuk populer, apalagi di masa ketika media dan telekomunikasi begitu berkuasa membuat orang jadi tenar. Fakta berkata popularitas di banyak sekali bidang, ampuh menjadi tiket menuju sukses. Entah itu di ajang hiburan semacam Akademi Fantasi Indosiar atau di panggung politik seperti Pemilu. Secara mendadak ala Inul Daratista atau dengan rekayasa citra dan marketing gaya boysband Westlife. Semuanya membuktikan betapa menjadi populer adalah menyenangkan. Media dan telekomunikasi begitu kuat peranannya. Bahkan seseorang yang tak begitu berbakat jadi bintang pun, seperti William Hung di ajang American Idol, bisa tersohor manakala keburukannya yang dilecehkan dipertontonkan secara luas. Itu mendatangkan iba dan ia jadi bintang.

Maka tak ada yang salah bila Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono berlomba untuk (lebih) populer menjelang September nanti. Jadi kepala kampung saja perlu menyebar kartu nama dengan foto diri berpose bak peragawan. Apalagi jadi orang nomor satu di Republik ini. Dibutuhkan daya dan cara yang lebih canggih. Bila perlu memutarbalik kebiasaan. Itu sebabnya, misalnya, kita tak usah heran bila SBY tidak keberatan berpose ketika menjalani ujian pendahuluan untuk meraih gelar S3, walaupun kita tahu kilatan lampu blitz dan kerumunan wartawan bisa mengganggu konsentrasi dalam mengerjakan soal ujian. Presiden Megawati pun makin rajin ke daerah. Ia makin gencar berbicara dengan petani dan rakyat kebanyakan, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan sehingga beliau dicap sebagai Mrs. Silent.

Bukan berarti popularitas tak mendatangkan kecemasan. Para ekonom bahkan selalu gelisah melihat pemimpin yang mempunyai hasrat menggebu-gebu meraih popularitas. Sebab, pemimpin yang begitu bisa membawa pemerintahannya kepada populisme. Populisme tidak disukai karena sebagaimana definisinya, adalah pemerintahan yang hanya mendasarkan diri pada keinginan untuk memuaskan sentimen-sentimen populer dari masyarakat kebanyakan (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, karya A.S. Hornby). Populisme sebagai program ekonomi dinilai rapuh karena bermacam alasan. Pertama, karena ingin populer, pemerintah yang populis cenderung tidak mengatakan hal yang sebenarnya atau setidaknya tidak mengutarakan bagian yang pahitnya. Kedua, program-programnya itu juga cenderung tidak bisa dan memang mungkin tidak untuk dijalankan. Kalau dijalankan, ia cenderung gagal. Ketiga, program semacam itu kerap mengorbankan program lain, yang prioritasnya sebenarnya lebih tinggi. Kerap kali ini disadari setelah nasi menjadi bubur.

Populisme tentu saja sangat mengerikan dalam pengertian yang demikian. Siapa pun akan menolaknya. Untungnya, sejarah ternyata bercerita juga tentang bagian yang baik tentang populisme, yakni sesuatu yang mengacu pada sebuah gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1890-an. Ini adalah sebuah gerakan independen –tidak terkait pada Partai Demokrat atau Republik-- yang tidak puas atas begitu dominannya pemusatan modal pada dunia perbankan dan perusahaan-perusahaan raksasa. Dominasi itu demikian besarnya sehingga ia tidak hanya terasa di kancah bisnis. Ia juga menjalar ke dunia politik, dalam bentuk kontribusi dana yang luar biasa kepada kampanye presiden. Dan, dengan begitu para pemodal raksasa dapat menyetir kebijakan ekonomi atas beban publik kebanyakan.

Karena semangatnya yang mulia itu, populisme sebagai gerakan sangat populer di akhir abad 19 itu. Mereka mengajukan aneka reformasi ekonomi, yang pada dasarnya bertujuan mengoreksi praktek bisnis yang eksploitatif yang diangga sudah kelewatan ketika itu. Sayangnya, gerakan populisme di AS itu akhirnya gagal, setidaknya sebagai sebuah gerakan formal. Mereka kalah dalam Pemilu dan banyak diantara tokohnya dicurigai karena pendapat-pendapatnya yang ekstrim, rasis dan antikemapanan.

Dengan mengabaikan ekses gerakan itu, populisme dalam semangat dan konteks perjuangan di akhir abad 19 patut diketengahkan, terutama ketika kini demikian gencarnya tuntutan perubahan di kancah ekonomi dan bisnis saat ini. Kita menyadari, siapa pun yang akan jadi penentu kebijakan ekonomi nanti, ia tak akan berani menghindar dari godaan untuk melakukan tindakan-tindakan populis dalam pengertian buruk. Di sisi lain, ia dituntut juga untuk peka dan tidak serta-merta antipati terhadap tuntutan bernada populis dalam pengertian baik, yakni tuntutan akan perlunya koreksi atas ketidakadilan ekonomi.

Dua kandidat presiden kita belakangan ini, banyak sekali dituduh berlomba populis, terlihat dari program ekonomi mereka yang menyentuh banyak sekali persoalan-persoalan populer di kalangan populous. Mega-Hasyim, misalnya, berambisi menciptakan 12,9 juta lapangan kerja dalam lima tahun, dengan pertumbuhan ekonomi 6,8% per tahun. SBY-Kalla ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1% pada 2009, yang dengan itu berarti ia harus menjamin pertumbuhan ekonomi paling tidak 7,2% per tahun. (Lihat, Siapa Unggul Atasi Pengangguran, di rubrik Ekonomi).

Baik target Mega-Hasyim mau pun target SBY-Kalla, terdengar manis, terdengar mulia, mengingatkan kita akan aspirasi populisme untuk mengoreksi masa lalu. Namun, pada saat yang sama ia terlalu indah sehingga tak bisa tidak, kita merasa sedikit dikibuli. Seperti kata lelucon orang Medan, kita seolah dijanjikan akan mendapat durian runtuh. Dan, bukan saja tak ada yang busuk, durian itu sudah dikupas dan tinggal makan. Tanpa biji pula. Too good to be true.

Dengan kata lain, ada aroma populisme dalam program-program itu, entah dalam pengertian buruk maupun pengertian baik. Mumpung Pemilu masih lebih dari sebulan lagi, mari kita pikir-pikir lagi, siapa populis pembual siapa populis pahlawan. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 29/II/Agustus 2004)
(c) eben ezer siadai

No Politics Please

Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Maka setelah usai Pemilu, bisakah kita sekali-kali berkata, No Politics, Please?

"Jangan bicara politik di meja makan." Ini adalah konsensus yang berlaku umum di kebanyakan keluarga di Amerika Serikat. Banyak orang Indonesia, terutama yang pernah merasakan membosankannya dinamika politik di era Soeharto, tak terlalu paham. Mengapa nasihat yang terkesan tak demokratis itu justru ada di tanah tempat tumbuhnya benih demokrasi. Kita ingat, di era Orde Baru justru di meja makanlah kita bersemangat bicara tentang apa saja yang genting di negara kita. Saat itu kita punya semacam musuh atau kambing hitam bersama yang semua orang tahu siapa dia tetapi tak pernah secara terbuka diucapkan. Karena itulah berdiskusi politik di meja makan (dan ruang keluarga) mengasyikkan. Sebab di luar rumah kita tak akan pernah berani membicarakannya.

Kini katanya kita sudah menjadi negara demokratis. Orang bicara politik dimana-mana, di warung, di lapangan bola, di kelas, di ruang rapat bahkan juga di rumah bordil. Namun, justru karena itu, seperti juga di Negeri Paman Sam, nasihat ‘jangan bicara politik di meja makan’ akhirnya kelihatannya harus berlaku juga. Sebab, jika tidak, mungkin kita akan banyak menuai ketidaknyamanan.

Cerita nyata seperti yang dialami tokoh dengan nama samaran berikut ini akan bisa menjelaskannya. Cerita semacam ini mungkin pernah juga Anda dengar, dalam konteks dan situasi yang lain. Sebuah cerita tentang orang bernama Kiat Sudipinta yang pusing karena hubungannya dengan istrinya terganggu. Bukan karena ia berselingkuh atau tak beres menyetor uang belanja. Pemicunya justru sesuatu yang jauh lebih genting dan serius: politik.

Mulanya adalah ketika mertuanya yang tinggal di luar kota menelepon dua bulan lalu. Pak Mertua, aktivis sebuah partai politik di desa tempatnya tinggal, sedianya hanya menanyakan kabar. Tetapi di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan agar mencoblos calon presiden dari partai Pak Mertua. Karena Kiat seperti kurang memberi respons, maka secara khusus sang Mertua menekankan pesan itu kepada putrinya, istri Kiat. Dan dengan semangat seorang anak kesayangan yang sangat patuh pada orang tua, sang nyonya pun mengiyakan saran ayahnya.

Padahal, Kiat, seorang manajer yang sedang naik daun di sebuah perusahaan tergolong besar, sebelumnya sudah keburu berjanji pada bosnya untuk mencoblos X, calon presiden yang sama sekali lain dari calon pilihan Pak Mertua. Rupanya sang bos adalah anggota Tim Sukses X yang sangat militan. Dan, Kiat merasa wajib mendukung si Bos. Ia dipromosikan ke posisinya sekarang adalah berkat jasa bosnya itu pula. Saatnyalah kini membayar utang, pikir Kiat. Kiat lantas menyanggupi akan ikut membantu sang bos dalam setiap kegiatan Tim Sukses X.

Maka telepon dari Mertua dua bulan lalu itu membuat kacau. Kiat yang belum sempat sounding kepada istrinya, ternyata sudah kecolongan oleh ‘fatwa’ sang Mertua. Kiat panik karena ia telah menyanggupi tugas dari sang bos untuk memenangkan X di lingkungan tempat dia tinggal. Spanduk, kaus dan sticker sudah dikirimkan ke rumahnya untuk dibagikan kepada para tetangga. Ternyata, istrinya tak melirik calon yang ia jagokan. Berkali-kali Kiat meyakinkan istrinya bahwa X adalah pilihan terbaik, demi negara, demi kariernya, dan demi masa depan anak-anak mereka. Tetapi sang nyonya yang sehari-hari menjadi pengusaha konveksi, emoh dengan itu. Dalam soal politik, ia lebih percaya pada ayahnya. Ia malah mengkritik suaminya, "Kok manajer keuangan malah kini ikut-ikut bicara politik? Bapak saya sejak masih zaman kuda makan besi sudah aktif di partai. Ia lebih tahu politik," kata sang istri.

Konfrontasi intern rumah tangga mereka berlangsung sejak itu. Ketika menonton televisi, di meja makan bahkan di tempat tidur, perdebatan tak bisa mereka hindarkan. Satu sama lain semakin hari semakin sensitif saja. Bahkan warna sarung bantal dan sprei pun bisa menjadi bahan kecurigaan. Apalagi pembantu mereka agak kurang peka untuk dapat mencarikan warna yang netral dari nuansa merah, hijau, kuning dan biru.
Ketegangan demi ketegangan berlangsung terus, sampai akhirnya putri mereka yang masih di Sekolah Dasar menerima surat dari sahabat penanya di Amerika Serikat. Ketika sang putri menyurati kawannya untuk menanyakan bagaimana ayah dan ibu mereka menentukan pilihan di kala Pemilu tiba, jawaban dari si Sahabat Pena ternyata pendek saja, "Kami tak bicara politik di meja makan." Dan ajaib, ketika sang putri menunjukkan surat itu kepada Kiat dan istrinya, mereka menemukan kembali senyum mereka yang hilang. Keesokan harinya, di dinding ruang duduk keluarga telah tergantung dengan rapih sebuah pigura bertuliskan kalimat, "No Politics, please."

***
Kita mungkin tak menghadapi masalah seekstrim yang dihadapi Kiat dan keluarganya. Tetapi dalam kadar yang berbeda Anda para pebisnis pun pasti merasakan betapa politik sedikit banyak telah memaksa kita harus berbeda dengan orang lain belakangan ini. Tiba-tiba saja, misalnya, seorang staf kita yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi menjadi anggota Tim Sukses kandidat X, terasa makin menjauh manakala ia tahu Anda sebenarnya bersimpati pada calon Y. Sangat mungkin juga suatu saat kolega bisnis Anda berubah fikiran dan mengatakan butuh waktu lebih lama menandatangani kontrak hanya karena ia melihat di kaca mobil Anda tertempel sticker calon presiden tertentu, yang bukan idolanya. Ada seorang CEO yang terpaksa menunda pertemuan dengan seorang manajer investasi karena ia baru menyadari bahwa ternyata si manajer itu sangat kritis terhadap calon presiden jagoannya.

Hal-hal semacam ini mungkin tak terhindarkan dalam ‘bulan-bulan politik’ seperti sekarang hingga nanti September. Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Tetapi seperti sebuah jembatan tunggal tanpa alternatif, kita harus melaluinya, dengan perasaan enak ataupun tidak.

Namun, setelah itu semua usai --entah itu usai di 5 Juli atau harus dilanjutkan pada Pemilu tahap kedua September mendatang— kita seharusnya kembali ke ‘zaman normal’, zaman ketika kita tak lagi melihat orang lain dari siapa yang jadi pilihannya atau ‘warna’ apa yang jadi favoritnya. Mungkin tak perlu dengan menempel sticker ‘No Politics, Please,’ di tiap meja. Cukup dengan saling paham bahwa di luar politik, banyak hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Termasuk berbisnis dengan tanpa prasangka politik apa pun. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 28/II/Juli 2004)
(c) eben ezer siadari