Tuesday

Mari Kita Mudik


Mudik seharusnya proses dua arah: orang kota tak hanya jadi duta bagi kemajuan diri dan kota, tetapi juga belajar dari udik tentang nilai-nilai yang sudah lama terlupakan.


***

Sebentar lagi kita akan menyaksikan demam yang selalu berulang setiap tahun: mudik. Hari-hari ini ‘gejalanya’ bahkan sudah terasa; banyak orang sudah mengeluh tentang sulitnya mencari tiket pesawat terbang dan kereta api. Sebentar lagi kita juga akan mendengar keluhan yang sama setiap lebaran: sulitnya mencari orang yang bisa beres-beres di rumah, selama si Inem pulang kampung.

Mereka yang Terabaikan

Industri MLM terus bertumbuh, menjadi salah satu bagian dari ekonomi bawah tanah yang penting tetapi agak terabaikan.



Underground economy pernah menjadi salah satu penjelas mengapa ekonomi kita tidak kolaps walau krisis membuat perekonomian anjlok ke tingkat pertumbuhan minus. Rupanya di bidang ekonomi kita punya semacam tenaga dalam. Tenaga simpanan yang muncul manakala keadaan darurat terjadi. Itulah underground economy, ekonomi bawah tanah. Suatu perekonomian yang selama ini kurang terdeteksi atau seolah tak disadari bahwa ia ada. Ketika krisis melanda dan ekonomi resmi terseok-seok, ekonomi bawah tanah ini terus berputar. Dalam beberapa hal, ia bahkan berputar lebih kencang menampung mereka yang terlempar dari ‘ekonomi permukaan.’

Per definisi ekonomi bawah tanah adalah aktivitas ekonomi yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi resmi yang direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto. Ada banyak alasan mengapa ia tak tercatat. Ada yang karena alasan teknis, semisal sulitnya membuat ukuran yang pasti, seperti mengukur nilai tambah ekonomi yang dihasilkan ibu-ibu rumah tangga dalam mengasuh anak, membersihkan rumah hingga memasak. Ada juga karena ia tersembunyi atau disembunyikan, seperti aktivitas bisnis ilegal, mulai dari judi, pelacuran hingga korupsi. Tetapi ada juga yang karena potensinya yang tidak disadari atau dianggap remeh (under estimate). Ke dalam hal ini, termasuk sejumlah aktivitas di sektor informal dan ekonomi usaha super kecil (mikro) yang ternyata oleh sejumlah peneliti –antara lain Profesor Mubyarto—justru dianggap berputar lebih kencang di masa krisis.

Yang menarik, di mana-mana di seluruh dunia, diyakini aktivitas ekonomi bawah tanah terus bertumbuh. Ada sebuah statistik yang tidak terlalu baru dan bervariasi sumbernya, tetapi bisa menjadi ilustrasi. Statistik yang dilansir oleh New Internationalist (www.newint.org) itu mengatakan di Australia diperkirakan ada 14% tenaga kerja yang bergerak dalam bentuk ekonomi bawah tanah. Di Sao Paulo (Brasil) 43%, di Bombay (India) 60%, Pakistan 69% dan di Jakarta (Indonesia) 45%. Di Italia berkisar 25% hingga 30%. Sebagai gambaran, 70% dari pekerja ekonomi bawah tanah di Italia adalah wanita. Kebanyakan dari mereka bekerja di industri tekstil rumahan. Sebanyak 44% bekerja lebih dari delapan jam sehari, 20% bekerja antara 10 sampai 12 jam dan 20% bekerja 12 jam sehari.

Ekonom M. Chatib Basri pernah mengatakan adanya ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi berkisar 3-4%, namun pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7-8%. Seharusnya, menurut Basri, dengan menggunakan elastisitas yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi listrik, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi listrik sebesar 2%. Tahun 1997, saat pertumbuhan ekonomi 7%, pertumbuhan konsumsi listrik meningkat hingga 14%. Jadi, jika pertumbuhan konsumsi listrik 8-10%, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 seharusnya 4-5%, bukan 3-4%. Artinya ada satu persen pertumbuhan ekonomi yang tak tercatat. Kuat dugaan, kebutuhan listrik itu datang dari ekonomi bawah tanah, aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, legal maupun tidak legal. Jika aksioma lain dipakai, bahwa tiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 400 ribu lapangan kerja, maka sebesar itulah kesempatan kerja yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi kita, namun mereka benar-benar menggerakkan roda ekonomi.

Pemerintah di mana pun pastilah bersemangat untuk mengejar agar ekonomi bawah tanah itu terungkap. Jika ia aktivitas ekonomi gelap atau ilegal, ia patut dibasmi. Penyelundupan, misalnya, seberapa besar pun ia memberi kesempatan kerja, seharusnya memang diberantas karena pada sisi lain, ia menyebabkan kerugian bukan hanya di pihak pemerintah tetapi publik pada umumnya. Di luar itu, jika ekonomi bawah tanah dapat diangkat menjadi ekonomi resmi ia berpotensi sebagai sumber pendapatan negara, semisal penerimaan pajak.

Meskipun demikian, kiranya patut dicatat bahwa mungkin banyak juga aktivitas ekonomi bawah tanah yang justru perlu dibiarkan berkembang bahkan bila perlu mendapat insentif dan perlindungan. Soalnya, ia dapat menjadi katup pengaman manakala ekonomi resmi belum berjalan normal. Ke dalam kategori ini, industri MLM mungkin bisa dimasukkan, meskipun perlu dicatat tak semua aktivitas industri ini dapat dikategorikan sebagai bawah tanah. Jika ditilik dari perusahaan yang menerjuninya, jelas, industri ini adalah bagian dari ekonomi resmi, ditunjukkan oleh kemapanan organisasi dan legalitas pendukungnya. Namun, dilihat dari bagaimana jejaring mereka bergerak, barangkali sangat sulit untuk mengukur dengan pas seberapa besar nilai tambah ekonomi yang mereka hasilkan. Bukan karena ia tersembunyi, tetapi karena geraknya yang dinamis dan ukuran-ukuran kinerjanya yang unik.

Industri ini terus bertumbuh dan nilai ekonominya tidak kecil. Menurut data Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI) setidaknya ada empat juta orang di Tanah Air yang menggeluti industri ini. Turn over salah satu pemimpin pasar di industri ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Tak heran jika perusahaan yang menggeluti industri ini terus bertambah. Hingga kini anggota APLI sudah mencapai 62 perusahaan. Masih ada perusahaan MLM di luar APLI.

Selain nilai tambahnya pada aktivitas perekonomian, MLM dianggap mempunyai sumbangan intangible yang tak kalah penting. Sebuah komentar independen dari Rizka Baely, seorang entrepreneur dan CEO sebuah perusahaan manajer investasi dan bukan pelaku MLM, patut dicatat. Menurut dia, industri MLM menjadi salah satu alternatif pembelajaran banyak orang untuk menjadi entrepreneur. Menurut dia, sebenarnya ada tiga pilihan cara untuk jadi entrepreneur: mendirikan bisnis sendiri, membeli hak waralaba atau bergabung pada sebuah jejaring MLM. Pilihan bergabung melalui sebuah jejaring MLM, kata dia, sangat logis diambil oleh orang-orang yang belum siap dengan alternatif pertama dan kedua karena berbagai alasan, terutama dana, pengalaman dan waktu. Bergabung dengan jejaring MLM merupakan satu langkah awal menjadi entrepreneur, sebuah proses mematangkan diri untuk kelak benar-benar full sebagai entrepreneur. Entah itu menjadi entrepreneur yang besar di jejaring MLM atau menggunakan pengalaman di MLM itu untuk berkiprah di bisnis lain.

Jika menilik nilai tambah intangible demikian, sangat wajar jika ada pendapat yang mengatakan sudah saatnya industri MLM diperhitungkan sebagai salah satu pilar ekonomi. Diperhitungkan bukan berarti harus dilindungi atau dimanjakan. Melainkan ia diberi kesempatan hidup dan lingkungan yang kondusif untuk terus bertumbuh.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri sinisme terhadap industri ini begitu tajam. Bukan tak ada alasannya. Sudah banyak terbukti aktivitas MLM dijadikan kedok bagi penipuan dan perjudian uang. Dan, untuk yang terakhir ini, memang sudah seharusnya ada regulasi yang jelas. Tujuannya bukan hanya melindungi publik, tetapi yang tak kalah penting adalah mendorong agar persaingan di industri ini berjalan sehat. *****

(Editorial WartaBisnis edisi 30/II/September 2004)
(c) eben ezer siadari

Populer lewat Populisme

Mega-Hasyim dan SBY-Kalla tak mungkin bisa menghindar dari populisme. Populisme yang mana?


Sulit untuk meredam keinginan untuk populer, apalagi di masa ketika media dan telekomunikasi begitu berkuasa membuat orang jadi tenar. Fakta berkata popularitas di banyak sekali bidang, ampuh menjadi tiket menuju sukses. Entah itu di ajang hiburan semacam Akademi Fantasi Indosiar atau di panggung politik seperti Pemilu. Secara mendadak ala Inul Daratista atau dengan rekayasa citra dan marketing gaya boysband Westlife. Semuanya membuktikan betapa menjadi populer adalah menyenangkan. Media dan telekomunikasi begitu kuat peranannya. Bahkan seseorang yang tak begitu berbakat jadi bintang pun, seperti William Hung di ajang American Idol, bisa tersohor manakala keburukannya yang dilecehkan dipertontonkan secara luas. Itu mendatangkan iba dan ia jadi bintang.

Maka tak ada yang salah bila Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono berlomba untuk (lebih) populer menjelang September nanti. Jadi kepala kampung saja perlu menyebar kartu nama dengan foto diri berpose bak peragawan. Apalagi jadi orang nomor satu di Republik ini. Dibutuhkan daya dan cara yang lebih canggih. Bila perlu memutarbalik kebiasaan. Itu sebabnya, misalnya, kita tak usah heran bila SBY tidak keberatan berpose ketika menjalani ujian pendahuluan untuk meraih gelar S3, walaupun kita tahu kilatan lampu blitz dan kerumunan wartawan bisa mengganggu konsentrasi dalam mengerjakan soal ujian. Presiden Megawati pun makin rajin ke daerah. Ia makin gencar berbicara dengan petani dan rakyat kebanyakan, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan sehingga beliau dicap sebagai Mrs. Silent.

Bukan berarti popularitas tak mendatangkan kecemasan. Para ekonom bahkan selalu gelisah melihat pemimpin yang mempunyai hasrat menggebu-gebu meraih popularitas. Sebab, pemimpin yang begitu bisa membawa pemerintahannya kepada populisme. Populisme tidak disukai karena sebagaimana definisinya, adalah pemerintahan yang hanya mendasarkan diri pada keinginan untuk memuaskan sentimen-sentimen populer dari masyarakat kebanyakan (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, karya A.S. Hornby). Populisme sebagai program ekonomi dinilai rapuh karena bermacam alasan. Pertama, karena ingin populer, pemerintah yang populis cenderung tidak mengatakan hal yang sebenarnya atau setidaknya tidak mengutarakan bagian yang pahitnya. Kedua, program-programnya itu juga cenderung tidak bisa dan memang mungkin tidak untuk dijalankan. Kalau dijalankan, ia cenderung gagal. Ketiga, program semacam itu kerap mengorbankan program lain, yang prioritasnya sebenarnya lebih tinggi. Kerap kali ini disadari setelah nasi menjadi bubur.

Populisme tentu saja sangat mengerikan dalam pengertian yang demikian. Siapa pun akan menolaknya. Untungnya, sejarah ternyata bercerita juga tentang bagian yang baik tentang populisme, yakni sesuatu yang mengacu pada sebuah gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1890-an. Ini adalah sebuah gerakan independen –tidak terkait pada Partai Demokrat atau Republik-- yang tidak puas atas begitu dominannya pemusatan modal pada dunia perbankan dan perusahaan-perusahaan raksasa. Dominasi itu demikian besarnya sehingga ia tidak hanya terasa di kancah bisnis. Ia juga menjalar ke dunia politik, dalam bentuk kontribusi dana yang luar biasa kepada kampanye presiden. Dan, dengan begitu para pemodal raksasa dapat menyetir kebijakan ekonomi atas beban publik kebanyakan.

Karena semangatnya yang mulia itu, populisme sebagai gerakan sangat populer di akhir abad 19 itu. Mereka mengajukan aneka reformasi ekonomi, yang pada dasarnya bertujuan mengoreksi praktek bisnis yang eksploitatif yang diangga sudah kelewatan ketika itu. Sayangnya, gerakan populisme di AS itu akhirnya gagal, setidaknya sebagai sebuah gerakan formal. Mereka kalah dalam Pemilu dan banyak diantara tokohnya dicurigai karena pendapat-pendapatnya yang ekstrim, rasis dan antikemapanan.

Dengan mengabaikan ekses gerakan itu, populisme dalam semangat dan konteks perjuangan di akhir abad 19 patut diketengahkan, terutama ketika kini demikian gencarnya tuntutan perubahan di kancah ekonomi dan bisnis saat ini. Kita menyadari, siapa pun yang akan jadi penentu kebijakan ekonomi nanti, ia tak akan berani menghindar dari godaan untuk melakukan tindakan-tindakan populis dalam pengertian buruk. Di sisi lain, ia dituntut juga untuk peka dan tidak serta-merta antipati terhadap tuntutan bernada populis dalam pengertian baik, yakni tuntutan akan perlunya koreksi atas ketidakadilan ekonomi.

Dua kandidat presiden kita belakangan ini, banyak sekali dituduh berlomba populis, terlihat dari program ekonomi mereka yang menyentuh banyak sekali persoalan-persoalan populer di kalangan populous. Mega-Hasyim, misalnya, berambisi menciptakan 12,9 juta lapangan kerja dalam lima tahun, dengan pertumbuhan ekonomi 6,8% per tahun. SBY-Kalla ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1% pada 2009, yang dengan itu berarti ia harus menjamin pertumbuhan ekonomi paling tidak 7,2% per tahun. (Lihat, Siapa Unggul Atasi Pengangguran, di rubrik Ekonomi).

Baik target Mega-Hasyim mau pun target SBY-Kalla, terdengar manis, terdengar mulia, mengingatkan kita akan aspirasi populisme untuk mengoreksi masa lalu. Namun, pada saat yang sama ia terlalu indah sehingga tak bisa tidak, kita merasa sedikit dikibuli. Seperti kata lelucon orang Medan, kita seolah dijanjikan akan mendapat durian runtuh. Dan, bukan saja tak ada yang busuk, durian itu sudah dikupas dan tinggal makan. Tanpa biji pula. Too good to be true.

Dengan kata lain, ada aroma populisme dalam program-program itu, entah dalam pengertian buruk maupun pengertian baik. Mumpung Pemilu masih lebih dari sebulan lagi, mari kita pikir-pikir lagi, siapa populis pembual siapa populis pahlawan. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 29/II/Agustus 2004)
(c) eben ezer siadai

No Politics Please

Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Maka setelah usai Pemilu, bisakah kita sekali-kali berkata, No Politics, Please?

"Jangan bicara politik di meja makan." Ini adalah konsensus yang berlaku umum di kebanyakan keluarga di Amerika Serikat. Banyak orang Indonesia, terutama yang pernah merasakan membosankannya dinamika politik di era Soeharto, tak terlalu paham. Mengapa nasihat yang terkesan tak demokratis itu justru ada di tanah tempat tumbuhnya benih demokrasi. Kita ingat, di era Orde Baru justru di meja makanlah kita bersemangat bicara tentang apa saja yang genting di negara kita. Saat itu kita punya semacam musuh atau kambing hitam bersama yang semua orang tahu siapa dia tetapi tak pernah secara terbuka diucapkan. Karena itulah berdiskusi politik di meja makan (dan ruang keluarga) mengasyikkan. Sebab di luar rumah kita tak akan pernah berani membicarakannya.

Kini katanya kita sudah menjadi negara demokratis. Orang bicara politik dimana-mana, di warung, di lapangan bola, di kelas, di ruang rapat bahkan juga di rumah bordil. Namun, justru karena itu, seperti juga di Negeri Paman Sam, nasihat ‘jangan bicara politik di meja makan’ akhirnya kelihatannya harus berlaku juga. Sebab, jika tidak, mungkin kita akan banyak menuai ketidaknyamanan.

Cerita nyata seperti yang dialami tokoh dengan nama samaran berikut ini akan bisa menjelaskannya. Cerita semacam ini mungkin pernah juga Anda dengar, dalam konteks dan situasi yang lain. Sebuah cerita tentang orang bernama Kiat Sudipinta yang pusing karena hubungannya dengan istrinya terganggu. Bukan karena ia berselingkuh atau tak beres menyetor uang belanja. Pemicunya justru sesuatu yang jauh lebih genting dan serius: politik.

Mulanya adalah ketika mertuanya yang tinggal di luar kota menelepon dua bulan lalu. Pak Mertua, aktivis sebuah partai politik di desa tempatnya tinggal, sedianya hanya menanyakan kabar. Tetapi di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan agar mencoblos calon presiden dari partai Pak Mertua. Karena Kiat seperti kurang memberi respons, maka secara khusus sang Mertua menekankan pesan itu kepada putrinya, istri Kiat. Dan dengan semangat seorang anak kesayangan yang sangat patuh pada orang tua, sang nyonya pun mengiyakan saran ayahnya.

Padahal, Kiat, seorang manajer yang sedang naik daun di sebuah perusahaan tergolong besar, sebelumnya sudah keburu berjanji pada bosnya untuk mencoblos X, calon presiden yang sama sekali lain dari calon pilihan Pak Mertua. Rupanya sang bos adalah anggota Tim Sukses X yang sangat militan. Dan, Kiat merasa wajib mendukung si Bos. Ia dipromosikan ke posisinya sekarang adalah berkat jasa bosnya itu pula. Saatnyalah kini membayar utang, pikir Kiat. Kiat lantas menyanggupi akan ikut membantu sang bos dalam setiap kegiatan Tim Sukses X.

Maka telepon dari Mertua dua bulan lalu itu membuat kacau. Kiat yang belum sempat sounding kepada istrinya, ternyata sudah kecolongan oleh ‘fatwa’ sang Mertua. Kiat panik karena ia telah menyanggupi tugas dari sang bos untuk memenangkan X di lingkungan tempat dia tinggal. Spanduk, kaus dan sticker sudah dikirimkan ke rumahnya untuk dibagikan kepada para tetangga. Ternyata, istrinya tak melirik calon yang ia jagokan. Berkali-kali Kiat meyakinkan istrinya bahwa X adalah pilihan terbaik, demi negara, demi kariernya, dan demi masa depan anak-anak mereka. Tetapi sang nyonya yang sehari-hari menjadi pengusaha konveksi, emoh dengan itu. Dalam soal politik, ia lebih percaya pada ayahnya. Ia malah mengkritik suaminya, "Kok manajer keuangan malah kini ikut-ikut bicara politik? Bapak saya sejak masih zaman kuda makan besi sudah aktif di partai. Ia lebih tahu politik," kata sang istri.

Konfrontasi intern rumah tangga mereka berlangsung sejak itu. Ketika menonton televisi, di meja makan bahkan di tempat tidur, perdebatan tak bisa mereka hindarkan. Satu sama lain semakin hari semakin sensitif saja. Bahkan warna sarung bantal dan sprei pun bisa menjadi bahan kecurigaan. Apalagi pembantu mereka agak kurang peka untuk dapat mencarikan warna yang netral dari nuansa merah, hijau, kuning dan biru.
Ketegangan demi ketegangan berlangsung terus, sampai akhirnya putri mereka yang masih di Sekolah Dasar menerima surat dari sahabat penanya di Amerika Serikat. Ketika sang putri menyurati kawannya untuk menanyakan bagaimana ayah dan ibu mereka menentukan pilihan di kala Pemilu tiba, jawaban dari si Sahabat Pena ternyata pendek saja, "Kami tak bicara politik di meja makan." Dan ajaib, ketika sang putri menunjukkan surat itu kepada Kiat dan istrinya, mereka menemukan kembali senyum mereka yang hilang. Keesokan harinya, di dinding ruang duduk keluarga telah tergantung dengan rapih sebuah pigura bertuliskan kalimat, "No Politics, please."

***
Kita mungkin tak menghadapi masalah seekstrim yang dihadapi Kiat dan keluarganya. Tetapi dalam kadar yang berbeda Anda para pebisnis pun pasti merasakan betapa politik sedikit banyak telah memaksa kita harus berbeda dengan orang lain belakangan ini. Tiba-tiba saja, misalnya, seorang staf kita yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi menjadi anggota Tim Sukses kandidat X, terasa makin menjauh manakala ia tahu Anda sebenarnya bersimpati pada calon Y. Sangat mungkin juga suatu saat kolega bisnis Anda berubah fikiran dan mengatakan butuh waktu lebih lama menandatangani kontrak hanya karena ia melihat di kaca mobil Anda tertempel sticker calon presiden tertentu, yang bukan idolanya. Ada seorang CEO yang terpaksa menunda pertemuan dengan seorang manajer investasi karena ia baru menyadari bahwa ternyata si manajer itu sangat kritis terhadap calon presiden jagoannya.

Hal-hal semacam ini mungkin tak terhindarkan dalam ‘bulan-bulan politik’ seperti sekarang hingga nanti September. Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Tetapi seperti sebuah jembatan tunggal tanpa alternatif, kita harus melaluinya, dengan perasaan enak ataupun tidak.

Namun, setelah itu semua usai --entah itu usai di 5 Juli atau harus dilanjutkan pada Pemilu tahap kedua September mendatang— kita seharusnya kembali ke ‘zaman normal’, zaman ketika kita tak lagi melihat orang lain dari siapa yang jadi pilihannya atau ‘warna’ apa yang jadi favoritnya. Mungkin tak perlu dengan menempel sticker ‘No Politics, Please,’ di tiap meja. Cukup dengan saling paham bahwa di luar politik, banyak hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Termasuk berbisnis dengan tanpa prasangka politik apa pun. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 28/II/Juli 2004)
(c) eben ezer siadari

Beri Kami 'Meja yang Bersih'

Kepada Capres dan Cawapres, mari kita ajukan sejumlah pertanyaan yang membumi dan kita harapkan jawaban yang membumi pula.

Orang-orang yang berkunjung ke Rusia selalu dinasihati untuk tak lupa mengatakan Chisti Sol kepada pelayan manakala hendak memesan makanan di restoran. Arti kata itu secara harafiah adalah ‘meja yang bersih.’ Tetapi makna sesungguhnya merupakan permintaan agar sang pelayan menghidangkan makanan utama saja. Konon jika kita lupa mengucapkan kata itu, kepada kita akan disajikan serentetan makanan pembuka yang selain mahal, rasanya pun mungkin tak keruan. Artinya kita mendapatkan dua kejengkelan sekaligus: kocek terkuras dan perut mual.

Nah, kepada para calon presiden dan wakil presiden yang bakal berlaga bulan depan –seandainya mereka kita umpamakan pelayan restoran yang akan mengobati rasa lapar kita-- barangkali kita juga sejak awal sudah harus memesan ‘meja yang bersih’ itu. Kita tentu masih ingat pada gembar-gembor kampanye pada Pemilu Legislatif lalu. Barangkali karena kita tak sempat meneriakkan Chisti Sol ketika itu, kita terjebak pada banyak sekali ‘hidangan pembuka’ yang tak karuan rasanya dan mahal ongkosnya. Mulai dari ‘bunga-bunga’ rencana koalisi, platform partai hingga beraneka kriteria pemimpin yang ideal muncul gegap-gempita sebagai wacana pembuka kampanye. Pada akhirnya, kita menemukan betapa mahal dan beraneka ragamnya hidangan pembuka yang ternyata tak banyak gunanya. Sebab kemudian kita disuguhi ‘makanan utama’ yang serba pas-pasan. Terlihat dari paket-paket capres-cawapres yang menurut seorang rekan, menghadapkan kita pada keharusan memilih the best from the worst.

Maka manakala tiap capres dan cawapres berkampanye, baiklah kita meneriakkan Chisti Sol itu. "Berikan lah kepada kami solusi nyata. Tidak usah buang-buang waktu dengan janji berbunga-bunga. Juga lupakan dulu platform dengan target-target selangit. Tolong berikan pemecahan atas masalah riel di hadapan kita."

Beberapa tim sukses capres dan cawapres tampaknya memang mulai memikirkan hal-hal pragmatis semacam ini. Setidanya mereka sudah mulai memunculkan janji yang tidak muluk-muluk dan bisa dengan cukup segera kita ukur kelak. Misalnya, pekan lalu ada sebuah diskusi yang diselenggarakan LPSEUI di Jakarta, Bomer Pasaribu, salah seorang anggota tim sukses capres dari Partai Golkar, Wiranto, mengemukakan ‘janji’ yang menarik. Menurut dia, jika Wiranto terpilih perubahan paling awal yang akan segera diusahakan dengan segera adalah meningkat atau pulihnya kepercayaan para pelaku bisnis terhadap Indonesia. Apa indikatornya? Bomer menjanjikan, bila Wiranto terpilih, dalam hitungan bulan, akan segera terlihat masuknya kembali dana-dana dari para pengusaha Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri.
Ini bisa dikatakan janji cukup membumi, cukup dapat diukur dan dilihat dampaknya. Mari kita tunggu apakah janji itu akan tercapai.
Dari Tim Sukses Amien Rais, Didik J. Rachbini juga mengutarakan janji yang tidak terlalu bombastis dalam soal korupsi, tetapi justru karena itu lah menarik untuk dicermati. Menurut dia, selama ini sangat tenar julukan bahwa Indonesia sebagai negara paling korup. Ini biasanya diucapkan sembari mengutip studi lembaga-lembaga internasional, terutama dari Transparency International. Nah, menurut Didik, studi semacam itu, yang menghasilkan kesimpulan Indonesia sebagai negara terkorup, sebetulnya lebih banyak didasarkan pada persepsi kalangan usahawan di dalam dan di luar negeri tentang praktek korupsi itu sendiri. Bahwa faktanya ada korupsi memang betul, tetapi apakah separah yang dipersepsikan? Dan, apakah betul Indonesia yang terburuk, misalnya dibandingkan dengan Cina? Itu semua adalah persoalan persepsi. Obatnya, menurut Didik adalah memperkuat public relations pemerintah di kancah diplomasi dunia, dan juga di kalangan media massa internasional.

Ini juga cara pandang yang dapat dikatakan berpijak pada bumi. Cukup realistis untuk dilakukan dan tidak terlalu rumit untuk melihat hasilnya.

Sebetulnya ada satu lagi isu yang pernah dilontarkan kandidat calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang sangat relevan untuk dibahas semua Tim Sukses para capres. Dalam wawancara dengan WartaBisnis, beberapa bulan silam, tokoh yang sapaan akrabnya Ical itu berkata bagi dia tidak penting benar tingkat inflasi harus single digit , nilai tukar mata uang dipaksa menguat dan kemudian penyaluran kredit perbankan diperketat. Menurut dia, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka pengangguran dan satu-satunya jalan adalah dengan menggerakkan perekonomian domestik dengan memobilisasi dana-dana perbankan agar mengalir dengan sehat ke sektor riel.
Ini adalah sebuah isu yang strategis, nyata dan terukur. Para capres harus mempunyai pilihan yang jelas dan tidak bisa mengelak dari menjawab pertanyaan seputar ini. Sebab, semua capres telah menjanjikan akan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Pangkal soalnya adalah bagaimana caranya? Kepada para capres itu perlu ditanyakan apakah ia akan ngotot mematok tingkat inflasi single digit atau justru tak terlalu khawatir soal itu?

Barangkali jawaban dari pertanyaan ini lah yang akan segera dapat kita jadikan pembeda capres satu dengan lainnya. The Incumbent president, Megawati, telah kita saksikan kebijakan ekonominya selama ini: tingkat inflasi single digit seolah sudah jadi jimat kramat yang tidak bisa diganggu gugat. Ada pun tingkat pengangguran yang tinggi seolah menjadi prioritas selanjutnya, setelah stabilitas moneter (salah satunya dicerminkan oleh tingkat inflasi yang rendah itu).

Lalu apa jawaban para penantang? Ini lah yang kita tunggu. Para penantang, yang tentu ingin berbeda (dan memang harus berbeda) sebaiknya menjelaskan pilihannya. Apakah memang pendekatan yang bias pada stabilitas moneter itu masih layak dipertahankan? Kalau tidak, bagaimana caranya? Sekali lagi, kita harus berteriak, Chisti Sol. Berikan kami jawaban yang pasti-pasti saja. Tak usah banyak basa-basi pembuka.***

(Editorial WartaBisnis edisi 27/II/Juli 2004

Hyundai Accent Sebagai Kenang-kenangan

Ada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta mengusulkan agar kendaraan dinasnya, Hyundai Accent, diberikan kepada mereka sebagai kenang-kenangan di akhir tugas. Juga pesangon senilai Rp25 juta. Untungnya, masih ada yang mempunyai harga diri dan menolak usul itu. Mereka lah seharusnya yang jadi Indonesian Idol



FRAKSI PK DPRD TOLAK UANG PESANGON DAN MOBIL
Jakarta, Kompas. Fraksi Partai Keadilan secara tegas menolak uang pesangon (nilainya belum ditentukan, tetapi diperkirakan sebesar Rp25 juta per orang) di masa purnabakti sebagai anggota DPRD DKI Jakarta (periode 2000-2004)….. Menjelang masa purnabakti, sejumlah anggota DPRD DKI mengusulkan agar memperoleh uang pesangon sekaligus dapat memiliki secara pribadi kendaraan dinas (Hyundai Accent, Red) yang dipakai selama ini. Alasannya mobil dinas itu untuk kenang-kenangan…..Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Chudlary Syafi’I mengatakan pihaknya sudah ,menyampaikan aspirasi itu ke Biro Perlengkapan DKI.

Berita itu muncul tak terlampau menonjol, Sabtu, 1 Mei. Panjangnya hanya lima paragraf. Terletak di halaman 18, bersebelahan dengan setengah halaman iklan tentang mobil-mobil bekas yang akan dijual. Tidak mengapa. Masih untung berita seistimewa itu bisa tersiar. Bagaimana jika tidak. Bisa-bisa kita makin tak percaya bahwa masih ada politisi yang punya rasa malu dan tanggung-jawab.

Mudah-mudahan itu bukan sekadar manuver dari sebuah partai untuk mengatrol citra menjelang Pemilu Presiden. Bukan pula sebuah taktik dalam menaikkan posisi tawar untuk sesuatu yang lebih besar. Dan, nampaknya memang bukan. Sejauh ini PK dikenal sebagai partai yang tergolong bersih dan konsisten memperjuangkan praktek pemerintahan yang bersih. (Disclaimer: WartaBisnis adalah majalah independen, tidak terkait dan terafiliasi dengan partai mana pun. Tulisan ini pun demikian).

Berita itu menjadi istimewa di tengah makin lazimnya kita mendengar para pengisi jabatan-jabatan publik mendapat kompensasi yang demikian besar di akhir jabatannya. Ada yang resmi ada yang setengah resmi. Ada yang karena memang peraturannya demikian, tetapi ada yang diputuskan secara ad-hoc. Sangat sering, diputuskan justru oleh mereka sendiri, orang-orang yang akan mengakhiri jabatannya itu. Alasannya pun kadang-kadang membuat kita geleng-geleng kepala. Sebuah mobil dinas sebagai kenang-kenangan, misalnya.

Apa yang jadi masalah di sini, bila kita melihatnya dari kacamata pebisnis?—Hilangnya rasa percaya.

Bayangkan, para anggota DPRD itu adalah orang-orang yang selama ini gagah perkasa mengontrol Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Seorang Gubernur bisa jatuh karena berbagai kesalahan dalam penyusunan mau pun alokasi APBD itu. Para wakil rakyat itu adalah orang-orang yang sangat keras manakala bicara tentang efisiensi belanja publik. Mulai dari yang kelasnya teri hingga yang raksasa. Mulai dari soal kebijakan tarif parkir hingga ruislag bangunan bernilai triliunan. Dan, semua sikap kritis mereka itu memang baik. Kita dukung karena prinsip efisiensi dalam belanja publik adalah juga kepentingan publik.

Sayangnya, sikap kritis itu hanya mereka tunjukkan manakala korbannya adalah pihak lain. Sedangkan jika itu menyangkut mereka sendiri, prinsip efisiensi itu seolah-olah dilupakan. Meminta pesangon di akhir jabatan, untuk sebuah jabatan publik yang memang tidak ada keharusannya untuk itu (dan, itu lah sebabnya, para anggota DPRD itu harus mengusulkannya) tentu akan menjadi beban anggaran. Betapa borosnya anggaran bila setiap lima tahun harus menyediakan dana pesangon bagi segelintir orang yang dahulu di awal masa tugasnya berjanji tak akan membebani negara. (Perlu pula dicatat, anggaran yang sama kadang-kadang pnya keharusan juga untuk mengganti mobil dinas para wakil rakyat itu setiap tahun).

Hilangnya rasa percaya akan muncul dari sini. Kita jadi tak percaya kepada para wakil rakyat itu karena ternyata mereka hanya keras sepanjang korbannya adalah orang lain dan jadi lembek manakala itu menyangkut diri mereka sendiri. Rasa percaya jadi lenyap manakala mengetahui bahwa mereka ternyata pada akhirnya menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan lainnya. Padahal janjinya dulu, dan juga sumpahnya, tidak begitu.

Tetapi bahaya yang lebih besar adalah ini: kita jadi tahu bahwa titik lemah para wakil rakyat kita itu ternyata di situ: puaskanlah kepentingan mereka, maka mereka akan bisa melupakan janji. Selanjutnya, siapa pun yang ingin menabrak berbagai kebijakan, ingin memuluskan proyek lewat jalan tak biasa, akan mengendus ini sebagai sebuah cara. Cara untuk menaklukkan kepentingan publik, termasuk yang tadi, meninggalkan prinsip efisiensi.

Kasus seperti yang terjadi di DPRD DKI memang bukan yang pertama di Tanah Air. Di Bandung dulu ada istilah uang kadeudeuh. Di tempat lain barangkali namanya adalah uang selamat jalan. Kenang-kenangan? Kita memang sangat kreatif untuk hal-hal konyol. Tetapi, itu harus dihentikan. Caranya? Dengan memulai memikirkan secara jernih dan mengusungnya menjadi perdebatan publik, apakah orang-orang yang memilih dan dipilih untuk posisi seperti anggota DPR atau DPRD perlu mendapatkan uang pesangon. Apakah sebuah pekerjaan (kalau boleh dikatakan begitu) yang tanpa risiko diPHK sepihak, tanpa risiko mempertanggungjawabkan kinerjanya dan sangat jelas masa jabatannya, masih harus mendapat uang terimakasih. Dengan begitu akan ada sebuah panduan (guidance) yang jelas dan baku yang bisa diterima oleh semua orang. Bukan sebuah kesepakatan ad hoc yang dibuat orang-orang yang mempunyai pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan aturan itu. Sepanjang aturannya belum ada, usul untuk memberi pesangon itu sebaiknya ditolak saja.

Akhirnya, kita masih beruntung punya orang-orang yang bisa bersikap seperti bapak dan ibu anggota DPRD dari PK itu. Kenang-kenangan yang paling pantas bagi mereka adalah terimakasih dan rasa hormat yang tulus dari publik. Bagi politisi yang benar, kenang-kenangan seperti itu mungkin sudah lebih dari cukup. Jika anak-anak muda kini berlomba ingin jadi Indonesian Idol, mereka ini adalah sedikit dari orang yang bisa dijadikan inspirasi ***

Editorial WartaBisnis edisi 26/II/Mei 2004

Deindustrialisasi dan Masa Depan

Fenomena deindustrialisasi ditengarai mulai terjadi. Sangat mengkhawatirkan bila ia kita biarkan.



Bulan lalu majalah ini mengangkat sinyalemen yang dilontarkan Aviliani, salah seorang ekonom dari tim Indonesia Bangkit. Aviliani menengarai adanya kecenderungan pebisnis memindahkan aktivitas usahanya dari kegiatan industri ke kegiatan perdagangan. Banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, menurut dia, sebetulnya telah berubah atau memang sebetulnya adalah aktivitas perdagangan. Ia menunjuk contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdaya tahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi.

Sejumlah media kemudian mengangkat isu ini. Para ekonom kemudian terlibat dalam wacana yang kurang lebih seperti yang dikemukakan Aviliani. Makin banyak suara yang membicarakan telah mulainya terjadi deindustrialisasi, mundurnya kegiatan industri di berbagai lapangan. Bukan karena perekonomian yang lebih maju (seperti yang terjadi di negara maju, dimana porsi sektor industri terhadap GDP menurun, digantikan oleh meningkatnya porsi sektor jasa) tetapi justru karena munculnya berbagai hambatan.

Seberapa besar dan cepat fenomena deindustrialisasi itu agaknya akan menjadi perdebatan panjang. Namun dapat dikatakan makin banyak ekonom yang meyakini deindustrialisasi itu sudah mulai. Jika tak ada jalan keluar, ia bisa berlangsung dalam skala yang makin besar yang berakibat kemunduran perekonomian: pertumbuhan ekonomi tidak stabil, pengangguran membengkak, kualitas hidup yang menurun karena kualitas pekerjaan yang juga menurun, dan banyak lagi.

Barangkali kita sudah bosan mendengar bila penyebabnya disebutkan lagi satu per satu. Namun, baiklah, tak salah untuk mengingatkannya. Yang umum ditengarai adalah makin tidak kondusifnya berinvestasi di Tanah Air, terutama berinvestasi di sektor riel. Berikut ini hanya sejumlah hal yang kerap dikeluhkan:
aturan ketenagakerjaan yang sangat pro-buruh, proses birokrasi yang makin kacau antara pemerintah pusat dan daerah, korupsi makin berat, kebijakan yang berubah-ubah dan tanpa arah, keamanan yang masih mengkhawatirkan serta yang paling dekat, ketidakpastian menjelang Pemilu.

Tampaknya perlu juga diingatkan bahwa fenomena deindustrialisasi itu bukan sekadar karena investasi asing langsung yang belum masuk seperti yang kita harapkan. Lebih mengkhawatirkan lagi karena ia juga tampaknya berlangsung pada industri-industri yang selama ini digeluti oleh pebisnis domestik. Dengan kata lain, pebisnis domestik yang sudah hafal asam-garam berbisnis di sini pun, tampaknya sudah mulai frustrasi untuk membuat rencana-rencana yang bersifat sedikit lebih panjang.

Maka hal ini perlu menjadi semacam aba-aba serius bagi semua orang, terutama mereka yang kini dan kelak menjadi penentu nasib negeri ini. Di balik gemerlapnya suasana di pusat perbelanjaan, macetnya jalanan di kota-kota besar, hingar-bingar tontotan di televisi serta ramainya pusat-pusat hiburan, jangan-jangan kita tengah merayakan sesuatu yang semu. Sesuatu yang hanya nikmat satu dan dua tahun ini tetapi setelah itu kita akan kembali kepada zaman dimana kita dulu ingin meninggalkannya.

Akan lebih mengkhawatirkan lagi bila kita menoleh ke kampus-kampus, dimana para adik-adik mahasiswa sedang merajut masa depan. Sebagian besar dari mereka pasti tengah menyusun rencana jangka panjang hidup mereka. Benar, tidak selalu harus menjadi pegawai, entah di swasta atau pun di pemerintahan. Tetapi akan menjadi bahaya besar manakala mereka keluar dari sana, menghadapi kenyataan yang jauh lebih pahit daripada kenyataan yang dihadapi oleh orang tua mereka dahulu. Lima tahun lalu kita sudah terbiasa mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai. Lima tahun mendatang, barangkali keluhan itu datang sudah dalam bentuk lain, dalam bentuk tragedi hidup yang lebih menyakitkan.

Gambarannya sudah mulai tampak saat ini. Saat-saat kita asyik melihat kemewahan yang dipertontonkan oleh layar televisi, pada waktu bersamaan pula kita bisa menyaksikan berbagai kejadian tak masuk akal. Ada orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan. Ada pengusaha yang tertipu oleh sarjana yang menjadi tentara gadungan. Terkecoh lewat telepon selular dengan iming-iming hadiah ratusan juta makin kerap terjadi. Apa yang dapat menjelaskan ini kecuali rasa putus asa yang mengaburkan orientasi hidup?

Sebagai sebuah peringatan awal, apa yang dikemukakan di sini mungkin agak terlalu berlebihan nada pesimistisnya. Terlalu dramatis penggambarannya. Namun, di tengah makin sulitnya menemukan orang --apalagi penguasa -- yang peduli pada berbagai hal yang memprihatikan itu, bahkan doomsday scenario seperti ini pun mungkin tak akan banyak menyentuh. Cukup sudah kita menganalisis masalahnya. Waktunya melakukan perubahan.***

Editorial WartaBisnis edisi 23/II/Februari 2004

Friday

Menagih Janji

Tiba waktunya menagih janji para politisi. Agar tak lupa, ini ada 10 janji yang patut kita cermati.


Ketika kampanye usai, sebetulnya ia juga adalah permulaan. Awal untuk mengumpulkan kembali janji-janji yang pernah terlontar. Awal untuk menagih mereka yang selama ini telah membujuk rayu publik agar memilih kelompok atau dirinya. Awal untuk mencermati bagaimana mereka akan mewujudkan janji itu. Dan awal mengkritisi bagaimana kita diajak untuk turut serta dalam pekerjaan besar menjadikan janji mereka kenyataan.

Para pebisnis memang tak pernah terlalu ekspresif dalam menyatakan dirinya dalam setiap proses politik seperti Pemilu. Namun pengalaman dimana pun menunjukkan secara diam-diam justru mereka lah yang secara teliti mencatat apa saja yang telah berkumandang selama kampanye.

Jika kita amati selama kampanye, janji klise dan abstrak sangat dominan. Kita sudah lama mendengarnya tetapi kita tidak jelas benar mengetahui bagaimana hal itu akan dicapai. Sangat mudah untuk apatis pada keadaan yang demikian. Namun, pilihan semacam ini bukan lah yang terbaik. Catatan-catatan tentang janji para kontestan Pemilu perlu terus-menerus dikemukakan sehingga kita tak lupa untuk apa kita memilih sebuah partai atau seorang pemimpin. Dari sana pula kita dapat menilai apakah pilihan kita memang benar atau justru kita (untuk kesekian kalinya) ditinggalkan begitu saja.

Dari banyak catatan tentang janji-janji di masa kampanye, setidaknya ada 10 isu yang menjadi kepedulian para pebisnis. Janji-janji ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai komitmen universal karena hampir semua partai menjanjikannya. Dengan demikian janji itu dapat ditagih kepada siapa pun yang menjadi pemenang Pemilu.

Janji itu antara lain adalah ini. Pertama, janji tentang memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Semua tokoh dan semua partai berjanji akan memberantas praktek ini. Janji yang bagus. Tetapi apakah mereka yang berjani benar-benar paham apa yang mereka janjikan? Ini pertanyaan tak berkesudahan.

Kedua, mengurangi tingkat pengangguran dan memperluas kesempatan kerja. Janji semacam ini menjadi komoditas yang laku keras selama kampanye. Namun, bagaimana cara memecahkan masalah ini terdapat variasi yang besar antara satu partai dengan yang lainnya. Bukan saja variasi caranya, tetapi juga variasi tingkat kelayakan solusi yang ditawarkan.

Ketiga, mengurangi bahkan menghapus utang luar negeri. Semua tokoh dan partai melihat hal ini sebagai prioritas. Berbagai cara untuk memecahkannya juga terlontar, mulai dari yang sangat klasik (misalnya, menyetop pinjaman baru dan mencicil pinjaman lama) sampai yang sangat progresif (menawarkan pertukaran aset, semisal konsesi sumber daya alam kepada negara donor atau lembaga donor). Sebaiknya mereka yang berjanji lebih dalam lagi memahami fakta dan data, sebelum terlanjur meninabobokan para audiensnya.

Keempat, menjamin stabilitas harga pada tingkat yang rendah. Publik makin terbiasa dengan janji dari politisi untuk menjamin tersedianya beras dan sandang dengan harga terjangkau, mengggiatkan lagi subsidi BBM dan listrik, biaya sekolah yang rendah dan sebagainya. Ini janji yang sangat mengundang simpati. Tetapi simpati bisa berubah jadi benci manakala janji sekadar jadi retorika.

Kelima, efisiensi birokrasi. Banyak politisi dan partai berjanji akan menata birokrasi supaya lebih efisien. Gaji pegawai negeri dinaikkan dan pada saat yang sama dilakukan rasionalisasi. Sebuah janji yang menarik, apalagi ketika dunia makin lazim menghubungkan prestasi sebagai tolok ukur organisasi, entah swasta mau pun pemerintah. Pertanyaannya, adakah partai atau tokoh yang berani mengambil tindakan yang setengah populer ini?

Keenam, meningkatkan pendapatan perkapita, lewat pertumbuhan ekonomi. Ini adalah janji klasik. Janji manis, tetapi bisa berubah pahit manakala kita bicara cara untuk mencapainya. Sebab, seringkali harus ada yang dikorbankan (trade off). Sebagai contoh, jika pendapatan petani ingin dinaikkan dengan mematok harga dasar padi yang tinggi, misalnya, bagaimana sektor industri menetapkan tingkat upah yang kompetitif akibat kenaikan harga kebutuhan pokok?

Ketujuh, perlindungan dan insentif dalam mendorong ekonomi domestik. Janji semacam ini sangat menonjol. Jika Soeharto dulu sangat populer dengan ucapan, “siap atau tidak siap, globalisasi akan datang,” sekarang justru semua partai mempertanyakan kesiapan itu. Ekonomi domestik kini dianggap sebagai kekuatan yang penting. Karena itu harus dilindungi dan diberi insentif. Pertanyaannya, manakala ada yang dilindungi dan ada yang diberi insentif, pada saat yang sama ada yang merasa terkalahkan atau tersisihkan. Bagaimana para partai melakukannya, perlu dicermati.

Kedelapan, ekonomi antardaerah yang bebas hambatan. Semua partai berjani memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasi ekonomisnya, ekonomi antardaerah semestinya tetap bebas hambatan kendati daerah punya otonomi yang luas. Janji semacam ini perlu pembuktian karena justru selama lima tahun terakhir, keluhan terhambatnya ekonomi antardaerah meningkat drastis karena para penguasa daerah (yang notabene berlatarbelakang partai) menetapkan kebijakan yang terkesan sangat lokal.

Kesembilan, APBN yang populis. Semua partai berjanji akan mengalokasikan APBN untuk bidang kesehatan dan pendidikan dalam porsi yang meningkat secara signifikan. Sebuah tekad yang baik. Tetapi atas beban siapa? Pembayar pajak, yang berarti kalangan bisnis? Dan, kalangan bisnis yang mana, pebisnis yang selama ini telah patuh membayar pajak atau mereka yang justru selama ini piawai menghindari kewajiban pajak?

Kesepuluh, semua partai dan tokoh pemimpin berjanji akan menjunjung supremasi hukum dan menjamin keamanan. Bagi para pebisnis dua hal ini adalah elemen yang sangat penting. Perlu pembuktian dan perlu pembaruan cara untuk mewujudkannya.

Sepuluh janji ini, di antara banyak lagi janji lain yang tak kalah penting, adalah pokok-pokok yang sebaiknya dipatrikan di setiap benak para politisi, pemimpin dan partai. Mereka tidak boleh dibiarkan lari dari kewajiban memenuhinya. Memang tidak mudah menjadi politisi. Tetapi lebih sulit lagi menjadi pebisnis yang hidup di negeri yang dipimpin politisi lupa janji. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 25/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari

Siapa yang Manja?

Megawati mengatakan pengusaha kita manja. Pengusaha membantahnya. Mari kita telusuri siapa sebenarnya yang manja.


Asyik juga membaca adu kritik antar elit kita belakangan ini. Baru-baru ini, misalnya, Presiden Megawati mengeritik pengusaha lewat pidatonya di hadapan anggota Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di Istana Negara. Katanya, pengusaha kita manja-manja. Mereka bisanya jadi jago kandang belaka. Diminta untuk ikut mempromosikan Indonesia ke luar negeri, malah bertanya siapa yang akan membiayai. “Ikut saja susah, padahal itu kan bagian dari promosi,” kata Megawati.

Kritik itu kemudian dibalas oleh M.S. Hidayat, ketua umum KADIN yang baru. Kata dia, pengusaha jangan disamaratakan. Tidak semuanya manja. Lalu Sofjan Wanandi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia lebih lantang lagi. Kata dia, pengusaha yang bisa survive selama krisis adalah bukti bahwa mereka tidak manja. Bila pengusaha banyak menyuarakan reformasi perpajakan, penghapusan biaya ekonomi tinggi, bukan berarti mereka manja. “Itu permintaan yang riil agar pemerintah mengerjakan pekerjaan rumahnya,” kata Sofjan.

Manja adalah sebuah sikap tetapi juga perilaku. Manja adalah sikap mudah menyerah. Dalam bentuk perilaku ia bisa berwujud macam-macam. Misalnya, sedikit-sedikit minta perlindungan. Lalu mencari ‘kambing hitam’ tiap kali menemukan kesulitan. Ketika ada masalah, lebih melihat potensi kesulitannya ketimbang melihat potensi kemungkinan memecahkan masalah. Lebih lanjut, sering mengambil jalan pintas, jalan yang mudah tanpa berfikir akibat jangka panjangnya. Dan kalau sudah berorientasi pada jalan pintas, kerapkali konsistensi diabaikan. Baik dalam argumentasi mau pun kebijakan.

Lalu siapa yang manja, sebenarnya?

Pengusaha kita dari dulu memang sudah dikritik sangat manja. Ada istilah kapitalis semu, untuk menunjukkan bahwa sebagian pengusaha kita besar karena dimanjakan dan mendapat perlindungan. Itu cerita lama. Lalu banyak juga pengusaha yang sangat gampang mencari kambing hitam. Menyalahkan stabilitas ekonomi yang rapuh, menyalahkan otonomi daerah yang kebablasan, bahkan juga bisa menjadikan flu burung sebagai kambing hitam. Tujuannya, untuk meminta perlindungan, meminta alasan untuk tidak usah bersusah-susah. Ini juga cerita basi yang sudah kita tahu. Sebagaimana pendapat seorang pengamat ekonomi terpandang, dimana-mana pengusaha memang begitu. Selalu meminta lebih. Mereka manja atau berpura-pura manja. Maka biarkan saja. Toh mereka nanti bakal diam sendiri. Sebab, dibalik kemanjaan mereka, mereka sebenarnya berikhtiar terus untuk mencari selamat. Bagaimana pun, nasib mereka memang pada akhirnya mereka tentukan sendiri.

Yang repot adalah bila pemerintah ikut manja. Gampang mengeluh, gampang menyalahkan orang lain dan selanjutnya, selalu mencari jalan pintas. Ini bisa berbahaya karena yang kena akibatnya adalah kita semua. Dan, ini lah justru yang kita khawatirkan sedang terjadi. Rencana mendivestasi saham pemerintah di Bank BNI sebesar 51%, misalnya, kelihatannya mengindikasikan adanya kemanjaan itu. Banyak sekali argumen di belakangnya yang tidak konsisten. Di satu saat dikatakan divestasi itu untuk menambal defisit anggaran belanja negara. Di saat lain dikemukakan bahwa penjualan saham itu demi untuk menyehatkan Bank BNI itu sendiri. Menyerahkannya kepada swasta diyakini akan bisa membuat bank itu sehat. Pemerintah seolah lupa bahwa Bank BNI adalah bank pemerintah pertama yang masuk bursa. Bahwa kemudian ia dibobol, apakah layak mengatakan kebobolannya itu karena ia bank milik pemerintah? Bukan karena persoalan mismanajemen? Sikap dengan mudah menunjuk kambing hitam semacam ini, adalah sebuah cermin sikap manja. Kita dengan cepat mengambil kesimpulan tetapi pada kala lain kesimpulan itu kerap kita ubah sendiri.

Begitu pula dalam hal caranya. DPR telah setuju, divestasi Bank BNI dilakukan lewat secondary offering. Belakangan terdengar kabar, divestasi itu bakal dilaksanakan dengan cara strategic sale, yang berarti lebih sekadar perpindahan kepemilikan daripada penyebaran kepemilikan. Ini juga bisa merupakan indikasi sikap manja, memilih mengambil jalan pintas. Karena secondary offering dianggap tidak memungkinkan lagi berhubung deadline yang mendesak, lalu jalan memotong jadi pilihan. Untung saja, beberapa waktu belakangan pilihan strategic sale itu dikabarkan dibatalkan.

Jika kita membaca bagaimana Pemerintah bersikap terhadap wabah demam berdarah belakangan ini, makin nyata lah bagaimana sikap manja itu. Baca saja, misalnya judul berita koran. Suatu hari ada seorang kepala dinas di DKI Jakarta berkomentar di bawah judul berita yang berbunyi begini: “RUMAH SAKIT LAMBAN LAPORKAN KASUS DBD.” Lihat, ketika nyawa demi nyawa melayang, kita masih berfokus pada kesulitan masalahnya ketimbang pada solusinya, bukan?

Keesokan harinya, kembali nada yang sama muncul. Sebuah kutipan, berbunyi demikian, “PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA MENGAKU KEWALAHAN MELAKUKAN PENGASAPAN UNTUK MEMBASMI NYAMUK AEGEPTY.” Lagi-lagi suara jajaran birokrasi lebih bernada menambah echo masalah ketimbang menawarkan solusi. Seolah-olah publik dianggap tidak tahu bahwa masalahnya sudah demikian besar, bahwa kesulitan datang bertubi-tubi. Oh, publik kita sudah cerdas, tuan-tuan. Mereka adalah pemerhati masalah yang cermat, kendati mereka tidak berbicara dan tidak punya panggung. Yang publik ingin dengar adalah bagaimana masalah-masalah itu akan dijawab, dengan tanpa mencari kambing hitam. Atau memang tak pernah ada keinginan untuk menjawabnya?

Tentu, tiap kita punya kemanjaan masing-masing. Ada baiknya kita introspeksi sebelum bangsa ini benar-benar menjadi bangsa yang manja. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 24/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari

In the long run, we are all death.

Bisnis di tahun 2004 masih berorientasi jangka pendek. Arah perekonomian jangka panjang banyak bergantung pada Pemerintah dan para kontestan Pemilu.


Dari ekonom profesional hingga paranormal, analis pasar hingga pengusaha besar, pengelola dana investasi raksasa hingga entrepreneur kelas menengah, kami minta bicara tentang bagaimana sebaiknya menjalankan bisnis tahun ini. Dan, apa boleh buat, sebagian besar masih bicara seperti John Maynard Keynes di tahun 1930-an, bahwa in the long run we are all death, bahwa di dalam jangka panjang kita semua akan mati. Dengan kata lain, tahun 2004 belum waktunya berfikir tentang rencana jangka panjang. Pusat perhatian masih pada bagaimana memanfaatkan momentum jangka pendek, bagaimana agar bisa selamat, a matter of survival.

Dengar lah saran Purdie E. Chandra, entrepreneur yang sukses membangun grup Primagama, kelompok yang jaringan bimbingan belajarnya sudah merambah sejumlah pulau di Nusantara. Dengar juga ramalan paranormal Teddy Agustino, ketua Lembaga Pengembangan Paranormal Indonesia. Atau simak analisis Aviliani, ekonom dari INDEF. Semuanya senada: ekonomi tahun 2004 masih digerakkan oleh bisnis bersiklus jangka pendek, investasi yang lebih mengutamakan pengembalian hasil yang cepat. Entah itu bisnis seperti rumah makan, jual-beli sepeda motor atau jasa perdagangan lainnya.

Para analis di Pasar Modal memang sudah mulai berharap bahwa para pemilik uang yang mengincar investasi portofolio akan lebih realistis tahun 2004. Para pemilik uang itu, menurut mereka, tak mungkin lagi bisa mengharapkan return gila-gilaan dengan risiko yang kecil, seperti ketika bunga deposito membubung di tahun 1997-1998. Melainkan sudah harus menyadari bahwa hasil yang besar mengandung risiko besar pula. Harus lebih cerdik memilih instrumen investasi, mengolahnya, mengkombinasikannya dan memperhitungkan hasil dan risikonya. Harus lebih memikirkan hasil jangka panjangnya ketimbang jangka pendeknya. Namun, suara itu tampaknya masih lebih bernada harapan ketimbang kenyataan.

Masalahnya adalah tahun 2004 mengandung faktor ketidakpastian yang cukup signifikan. Tahun 2003 memang telah lewat dengan perekonomian yang relatif stabil di tingkat pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu tinggi. Namun penyelenggaraan Pemilu berikut aktivitas sebelum dan sesudahnya ditengarai akan mendatangkan banyak tanda tanya dan sikap menahan diri dari kaum pebisnis. Masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab dan memang tidak akan terjawab sebelum hasil Pemilu tuntas diumumkan. Misalnya, siapa yang bakal menjadi RI1 dan RI2, bagaimana arah kebijakan ekonominya, apakah akan bersahabat dengan dunia bisnis atau tidak. Hanya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lah yang bisa menjadi landasan apakah sebuah investasi berjangka panjang dapat dibuat.

Maka tak mengherankan bila sebagian besar saran untuk menjalankan bisnis pada 2004 bersifat jangka pendek. Hermawan Kartajaya, Guru Pemasaran yang selalu optimistis itu, misalnya, melihat penyelenggaraan Pemilu bukan sebagai ancaman, melainkan peluang bisnis. Ia mencontohkan, dana yang berputar berkaitan dengan penyelenggaran Pesta Demokrasi itu diperkirakan berkisar Rp20 triliun hingga Rp40 triliun. Ini bukan stimulus yang kecil bagi sebuah perekonomian Indonesia, yang kapasitas Produk Domestik Brutonya saja baru mencapai Rp…. Triliun. Dan, harap dicatat, kata beliau, sebagian besar dana itu akan mengalir ke kalangan akar rumput, kalangan yang oleh para kontestan Pemilu akan dibujuk, diiming-imingi dan ditarik simpatinya. Maka saran Hermawan kepada para pebisnis: coba jajaki lah kebutuhan dan selera akar rumput itu. Dan bila Anda belum sempat berfikir, Hermawan sudah mempunyai sebagian jawabannya: kalangan akar rumput itu adalah orang-orang yang merindukan kemewahan juga seperti kalangan atas. Maka buat lah produk yang terkesan mewah tetapi massal, dengan kualitas baik tetapi harganya terjangkau.

Orientasi yang lebih bersifat jangka pendek itu telah muncul di tahun 2003 dan tampaknya makin mewabah di tahun 2004, seperti yang ditegarai Aviliani. Akan banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, tetapi sebetulnya adalah perdagangan. Sebagai contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdayatahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi pula.

Tentu saja para entrepreneur di mana pun selalu akan berusaha melihat semua keadaan sebagai peluang. Mereka akan mencari celah, sesempit apa pun, untuk tetap bisa selamat, syukur-syukur tumbuh dengan loncatan besar. Dan, tak ada masalah dengan cara pandang yang demikian. Namun, di sisi lain, harus ada yang tetap memikirkan kemana arah perekonomian akan dituju sehingga kita tak kembali lagi ke tahap pembangunan masa lampau. Bukan kah para ekonom kita dulu begitu getolnya mengeritik pengusaha kita sebagai pedagang belaka, belum menjadi para industrialis sejati?

Salah satu yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu lah para pengambil kebijakan ekonomi di kalangan pemerintah. Di tengah ketidakpastian nasib (masih terpakai atau tidak) mereka harus tetap memusatkan perhatian pada merumuskan dan menjalankan kebijakan ekonomi yang tidak semata berorientasi jangka pendek. Baru-baru ini, misalnya, Pemerintah mengatakan tahun 2004 akan merupakan tahun pembangunan infrastruktur. Ini sebuah sinyal yang baik, namun bagaimana rinciannya jelas lah belum banyak terbaca untuk dijadikan bahan kajian oleh para entrepreneur.

Pihak yang tak kalah besar tanggung jawabnya dalam hal ini adalah para kontestan Pemilu yang secara formal mau pun faktual akan menjadi pemenang Pemilu dan mengendalikan Pemerintahan kelak. Tampaknya mereka sejak awal sudah harus pula dengan terbuka dan tanpa retorika mengemukakan platform ekonomi jika mereka berkuasa kelak. Syukur-syukur jika platform yang satu dan lainnya tidak berbeda secara ekstrim sehingga akan memudahkan para entrepreneur memprediksi kebijakan ekonomi macam apa yang akan mereka jalani di masa mendatang. Yang tak kalah penting, the man behind the gun tampaknya masih sangat signifikan sebagai sinyal bagi para pelaku bisnis. Karena itu, jika partai-partai sudah dengan sangat antusias mengelus-elus calon-calon presidennya, tampaknya hal yang serupa bisa juga berlaku bagi calon-calon penentu kebijakan ekonomi kelak. Nama-nama mereka sudah sepatutnya pula mengemuka sehingga pasar dapat lebih cepat membaca arah keadaan. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 22/I/Januari 2004

Yang Baru di Tahun 2004

Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal yang tak kan sama lagi. Mari memberi kesempatan kepada mereka yang lebih muda.


Banyak, banyak, baaaaaanyak. Suara Robby Djohan terdengar setengah berteriak ketika melontarkan kata-kata itu. Kata banyak itu muncul berkali-kali ketika majalah ini bertanya kepada bankir yang disegani banyak kalangan itu tentang apakah memang benar banyak bankir muda kita yang siap menggantikan bankir-bankir senior. Pertanyaan itu dikemukakan sebab sebelumnya Robby berkata bahwa sudah waktunya bankir-bankir senior memberikan kesempatan kepada bankir-bankir muda untuk tampil sebagai pemimpin. Menurut dia, dunia perbankan, dan juga bidang-bidang lain di Tanah Air, kini memerlukan paradigma baru, sebuah kehidupan baru dengan lokomotif para anak-anak muda. Maka berikan lah anak-anak muda kesempatan, kata dia. “Baaaaaaanyak sekali bankir muda kita yang siap. Saya bisa kasih tunjuk, ribuan jumlahnya,” kata Robby.

Sore harinya, dalam acara peluncuran Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) kembali soal kesempatan bagi orang muda ini menjadi topik pembicaraan. Kali ini datang dari Rizal Ramli, ekonom yang didaulat menyampaikan pidato kunci (keynote speech) pada acara itu. Rizal Ramli membuat perbandingan bahwa 20 tahun lalu, jika ada seorang ahli ekonomi yang menyandang advanced degree dari luar negeri biasanya ia akan memilih berkarier di pemerintahan atau perusahaan besar. Sedikit atau langka yang berani memilih menjadi analis.

Sekarang keadaannya berbeda. Makin banyak lulusan dalam dan luar negeri yang antusias menekuni profesi itu. Dewasa ini makin diakui pentingnya peran para analis dalam menentukan opini publik untuk menyikapi berbagai keadaan ekonomi. Dan, ternyata anak-anak muda lah yang paling dominan di profesi ini. Rizal Ramli menekankan memang sudah waktunya diberi kesempatan lebih besar kepada pandangan-pandangan lebih jernih dan lebih tajam. “Sudah waktunya kita ‘orang-orang tua’ tahu diri,” kata Rizal dalam pengantar pidato kuncinya.

Barangkali seperti sudah cerita klasik, dimana-mana, sejak dulu dan pada segala situasi, anak-anak muda menjadi tumpuan harapan. Seperti sudah klasik pula, selalu diperlukan suara-suara penggugah, agar para senior tahu diri, tersadar tentang betapa panjangnya ‘antrian’ di belakang mereka. Robby Djohan dan Rizal Ramli tampaknya menjadi lonceng penggugah untuk mengingatkan bahwa ada banyak sekali anak-anak muda kita, dengan keringat dan inspirasi mereka tengah menyusun bata demi bata karier mereka. Tetapi, seperti sinyalemen Robby, kesempatan itu seringkali sulit diraih.

Sebenarnya memasuki 2004 nanti anak-anak muda menyimpan segudang optimisme. Pada sebuah forum yang diselenggarakan oleh Indonesia Society of Investment Professionals (ISIP), beberapa pekan lalu, misalnya, para analis-analis muda, antara lain Rizka Baely, managing director Corfina Capital, meyakini perekonomian Indonesia kini sedang memasuki tahapan yang baru. Dunia perbankan, misalnya, mereka percayai tak lagi sama dengan masa sebelum krisis. Karena itu pula para analis itu percaya krisis ekonomi yang dipicu krisis perbankan (seperti dulu) sulit terjadi lagi. Platform perbankan kita, kata mereka, kini sudah berbeda. Sebaran kepemilikan kini lebih luas (walau pun sebagian besar dikuasai oleh investor asing). Bank sentral juga sudah independen sementara beragam institusi pengawas, termasuk pengawas persaingan sudah berdiri pula.

Tetapi kemudian pandangan kritis diantara mereka sendiri kembali mempertanyakan apakah platform baru itu sudah pula diisi oleh aktor-aktor baru dengan paradigma yang baru pula. Bukan oleh aktor lama dengan gaya atau bungkus baru, seperti yang dicurigai selama ini. Mencuatnya kasus di Bank BNI, telah memunculkan sedikit kekhawatiran jangan-jangan platform baru yang kita sebut-sebut itu ternyata masih rentan.

Dan, di tengah kita menumpukan harapan pada anak-anak muda, kita makin terperanjat ketika membaca dua kisah anak pejabat tinggi negara yang belakangan ini mendapat sorotan media massa. Ada yang mendapat sorotan karena dipertanyakannya kemungkinan pengistimewaan perlakuan padanya dalam sebuah proyek yang melibatkan aset negara. Satu sorotan lagi muncul karena dugaan adanya kemungkinan penipuan yang dilakukan anak pejabat.

Dua kisah itu (yang klasik pula) tak boleh tidak akan memunculkan rasa geram. Di satu sisi kita membaca tentang sinyalemen sulitnya bankir-bankir muda profesional mendapatkan kesempatan. Di sisi lain kita mendengar sinyalemen tentang anak-anak pejabat yang mendapat jalur kilat dan khusus. Di satu sisi ada optimisme tentang platform dan paradigma baru. Di sisi lain kita justru dikejutkan oleh masih berlanjutnya modus-modus lama yang ingin kita tinggalkan.

Di masa lalu, kita acap dan cenderung mendiamkan hal seperti ini. Sebagian mungkin karena ‘platform lama’ yang terlalu kuat untuk dirobohkan karena sudah mengakar demikian lama. Barangkali pula disebabkan masih lemahnya pengorganisasian kesadaran mau pun pemahaman akan apa yang terjadi di kalangan publik karena minimnya transparansi dan komunikasi. Sebagian lagi, karena sikap pasrah yang berlebihan, seakan semuanya akan kembali baik seperti sediakala, seperti ‘badai yang pasti berlalu.’

Tentu persoalan yang kita hadapi bukan sekadar badai, fenomena alam yang diluar kendali intelektualitas dan organisasi kita. Barangkali analogi yang lebih tepat untuk itu adalah virus kanker ganas, yang berkembang dengan cepat dan mematikan bila tanpa tindakan apa-apa. Dan, kini mestinya kita punya kesempatan besar untuk memperbaiki diri. Optimisme Robby tentang berlimpahnya anak-anak muda yang hebat dan keyakinan tentang adanya platform baru yang lebih segar, seharusnya menjadi modal penting untuk merumuskan langkah kongkrit. Bahkan rumusan-rumusan langkah itu barangkali sudah tersedia. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengerjakannya atau adakah keberanian menjalankannya.

Maka ketika penghujung tahun 2004 tiba, saat mana sebagian besar kita mungkin akan mengambil cuti panjang dan berfikir ulang tentang banyak hal yang telah dan belum kita capai, sekali lagi kita belum bisa rileks. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum rampung. Jika Robby Djohan bicara tentang perlunya sebuah paradigma baru di segala bidang dan segala tingkatan, dan paradigma itu, menurut dia, hanya dapat dirumuskan dan dikerjakan oleh anak-anak muda, semestinya kita sudah akan dapat melakukan sesuatu sekarang dan segera. Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal tak akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.***

(Editorial WartaBisnis edisi 21/I/ 15 Desember 2003)
(c) eben ezer siadari

Entrepreneur Penakluk Krisis

Kita boleh lega masih punya sejumlah entrepreneur unggul, penakluk krisis dan pasar global.

Pada mulanya adalah sebuah keyakinan. Keyakinan yang didapat entah karena penemuan, pengetahuan atau pengalaman. Begitulah banyak entrepreneur menetapkan visinya dan berusaha mewujudkannya. Seperti misalnya, Ken T. Sudarto, yang dikenal sebagai ‘empu’ periklanan modern di Indonesia, pendiri Matari Advertising, satu diantara sedikit kantor periklanan domestik yang bertengger di papan atas perusahaan periklanan. Ia meyakini betul bahwa semestinya orang Indonesia sendiri lah yang lebih paham tentang Indonesia. Juga di bidang periklanan. Dan, berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan, termasuk di website kantor periklanan itu, ia mengemukakan keyakinannya. Bahwa, “Dunia periklanan hanya melibatkan orang dan komunikasi. Kami yakin tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”

Tidak banyak orang seperti itu. Di tengah makin banyaknya perusahaan multinasional melirik pasar domestik (dan tak sedikit yang berjaya), Ken masih tetap teguh pada keyakinannya itu. Bukan hanya yakin, selama 30 tahun lebih ia terus bekerja mewujudkan keyakinannya. Ia berhasil. Matari bukan saja dikenal sebagai perusahaan periklanan terkemuka di Indonesia. Ia juga jadi semacam ‘sekolah’ bagi insan-insan periklanan dan motor bagi majunya industri itu. Tak mengherankan, beberapa pekan lalu, Ken terpilih menjadi satu dari 15 finalis Ernst & Young Entrepreneur of the Year 2003. Para finalis ini adalah entrepreneur unggulan, dilihat dari kinerja perusahaannya, pencapaian visi, dampak global kiprahnya dan tak kalah penting, integritas.

Yang menarik, pendirian yang bernuansa nasionalis itu bukan diutarakan untuk mendorong sikap autarkis, menutup pintu bagi kekuatan global. Sikap itu justru lebih sebagai sikap percaya diri, mengundang sesama entreprenur di dalam mau pun dari luar negeri untuk bersaing secara adil. Juga semacam lonceng aba-aba agar kekuatan domestik bangkit dan menyadari bahwa kita, harus berjuang untuk menjadi tuan di negeri sendiri.


Ken cukup percaya diri untuk mengatakan keyakinannya justru karena pergaulannya yang tak terbatas. Di awal ia merintis karier di dunia periklanan, ia telah bergaul, antara lain dengan perusahaan-perusahaan periklanan dari Singapura. Ia bekerjasama dengan mereka, membuat versi Bahasa Indonesia iklan-iklan dari luar itu. Dari sanalah ia belajar teknik-teknik penulisan iklan dan tampaknya itu pula yang menjadi dasar keyakinannya, bahwa “tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”

Ketika makin hari sebagai entrepreneur kita tak bisa menghindar dari menjadi bagian untuh dari persaingan global, sekilas riwayat kewirausahaan Ken itu menjadi sangat relevan. Para budayawan kerap berdiskusi tentang bagaimana cara kita bisa hidup di tengah dunia tanpa kehilangan jatidiri. Di dunia bisnis, para entrepreneur juga tak kalah sibuk menjawab pertanyaan ini: bagaimana hidup dalam kompetisi global tanpa dimakan olehnya. Bahkan, seharusnya menjadi pemenang.

Kesemua entrepreneur yang menjadi unggulan dalam Ernst & Young Entrepreneur of the Year tahun ini tampaknya juga telah lama bergulat dan mencari jawaban dari pertanyaan semacam itu. Mereka yang berjumlah 15, berjuang dan mencari jalan masing-masing mengarungi persaingan global itu. Mungkin tidak selalu dengan cara spektakuler. Mungkin dengan berkali-kali gagal bahkan jatuh. Juga harus berani mengambil keputusan pada saat-saat informasi justru sangat terbatas.

Maka, ada sedikit perasaan lega ketika menyadari bahwa kita masih punya entrepreneur kelas dunia ketika menyimak 15 entrepreneur unggulan ini. Lebih melegakan lagi, kesemua mereka benar-benar mencerminkan entrepreneur Indonesia, bukan sekadar entrepreneur Jakarta. Djoesoef Djuanedi, misalnya, membesarkan Konimex dari Solo untuk menaklukkan pasar Singapura, Taiwan, Malaysia, Hong Kong dan Filipina. Charles Saerang dari Semarang tak lelah menggeluti bisnis jamu dan ikut mengangkatnya menjadi komoditas terpandang. Dari Tuban Mohammad Nadjikh mengolah hasil laut untuk di ekspor ke Jepang dan berbagai negara lainnya. Sementara Djoko Susanto mendirikan dan membesarkan Alfa Retailindo di tengah makin mudahnya kita menemukan ritel-ritel raksasa dari mancanegara. Ada pula Purdie E. Chandra dari Yogya mengembangkan Primagama menjadi waralaba pendidikan ke seluruh Indonesia, tak mau kalah dengan berbagai lembaga pendidikan internasional yang gencar pula menawarkan hak waralabanya. Dan, masih banyak lagi.

Tepat sekali pendapat yang mengatakan bahwa dalam banyak hal, pemulihan ekonomi tak hanya ditentukan oleh para penentu kebijakan. Individu-individu yang memilih jadi entrepreneur seringkali merintis upaya pemulihan itu terlebih dahulu, dengan cara mereka sendiri, entah dengan cara biasa atau luar biasa. Kepada mereka seharusnya para pengambil kebijakan bersedia mendengar.***

(Editorial WartaBisnis edisi 49/I/1 November 2003)
(c) eben ezer siadari

Pekerjaan dan Kekayaan

Mereka bekerja mandiri dan tak banyak tergantung kepada majikan. Mereka jadi pahlawan di tengah terbatasnya daya tampung lapangan kerja.


Sudah sangat tua sebenarnya topik perbincangan tentang hubungan pekerjaan dengan kekayaan. Namun tampaknya selalu ada sisinya yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Tak mengherankan jika buku-buku tentang itu banyak jadi bestseller. Di kita, di Indonesia, pemahaman tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan itu tampaknya berkembang sesuai dengan perkembangan perekonomian. Jika kita membaca buku-buku sejarah zaman Belanda dulu, ada semacam pandangan yang umum bahwa untuk bisa hidup mapan (termasuk menjadi kaya) jalan yang paling mulus adalah dengan menjadi pegawai pemerintahan. Memang pada waktu itu sudah banyak saudagar yang kaya, tetapi jalan semacam itu tampaknya dianggap kurang terhormat. pemerintah

Lalu ketika di zaman Orde Baru perekonomian mulai tumbuh, alternatif jalan menjadi orang kaya makin bertambah. Orang mulai memperhitungkan selain menjadi pekerja di luar pemerintahan (swasta nasional, asing mau pun BUMN) bisa juga menjadi kaya. Dan pada puncak deregulasi ekonomi dua dekade lalu boleh dikatakan merupakan momen paling mengesankan bagi sektor swasta di Indonesia. Pada saat itu orang bahkan sudah mulai berani mencemooh, bahwa bila tetap ingin jadi birokrat, siap-siap lah untuk melarat (pada kenyataannya tidak selalu benar). Lulusan terbaik dari perguruan tinggi top lebih memilih bekerja di sektor swasta daripada di pemerintahan. Apalagi ketika itu CEO profesional yang berhasil menjadi simbol-simbol pekerja kaya, seperti Tanri Abeng, T.P. Rachmat, Robby Djohan banyak bermunculan. Dan semangat menjadi ‘orang swasta’ makin menggebu.

Sekarang, pandangan-pandangan tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan berkembang lebih maju lagi. Misalnya, kini makin populer pandangan bahwa tak ada jaminan Anda akan kaya sepanjang Anda masih menjadi orang ‘kantoran.’ Sepanjang Anda masih bekerja untuk orang lain (entah itu bos Anda atau yang punya perusahaan), Anda masih akan tergantung secara finansial. Bagaimana kalau tiba-tiba perusahaan Anda bangkrut? Bagaimana jika Anda dipecat? Siapa yang membayar tagihan kartu kredit Anda? Mengapa Anda tidak mulai berfikir terbebas dari ‘menghamba’ kepada orang lain?. Dan, seterusnya, dengan gaya memikat, para penganjur paham semacam ini (antara lain Robert T. Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad, yang sangat terkenal dan dijadikan idola) bisa menggetarkan semangat para pengagumnya.

Dengan pertanyaan-pertanyaan yang provokatif, para penulis itu memotivasi orang untuk memikirkan ulang hubungan pekerjaan dan kekayaan. Memang banyak kritik terhadap cara Kiyosaki membangun argumentasinya, terutama ketika ia seolah-olah mengesankan sekolah (dan pendidikan) itu tak penting. Namun, pada satu titik, kita memang diajak untuk lebih terbuka melihat alternatif. Kita diajak untuk menjelajahi hal-hal yang dulu tak terfikirkan dan mencoba mengajak kita beranjak dari jalan-jalan lama yang sudah usang dan telah dieksploitasi berlebihan.

Pemahaman semacam ini telah ikut menjadi legitimasi lahirnya jenis-jenis pekerjaan yang bersifat independen, tak begitu terikat pada suatu institusi bisnis. Sebagai profesi ia kelihatan tidak mapan, apalagi bila dilihat dari kriteria profesi klasik. Namun ia menjanjikan penghasilan tak kalah dari berbagai jalan mapan yang sudah ada. Dewasa ini, misalnya, kita makin banyak menyaksikan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat mandiri, menekankan pentingnya motivasi, inisiatif, improvisasi dan disiplin pribadi.

Ke dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini lah termasuk para pemasar, entah itu dengan sebutan ‘konsultan’, agen, marketing associate, crown agency, dan lain sebagainya, seperti yang dapat Anda simak dari tokoh-tokoh dalam liputan sampul kali ini. Mereka boleh dikatakan wakil dari orang-orang yang bukan lagi mau dijebak pemikiran usang tentang jalan menuju kekayaan. Mereka bekerja dengan inisiatif, gaya dan solusi masing-masing. “Seratus kali Anda melakukan transaksi, seratus problem yang Anda hadapi. Dan, Anda harus menemukan solusinya,” begitu seorang broker properti menceritakan pekerjaannya. Dan, ia sukses, penghasilannya ratusan juta per tahun, penghasilan yang membutuhkan waktu puluhan tahun bagi seorang pegawai negeri yang jujur untuk mencapainya.

Kehadiran pekerjaan-pekerjaan yang demikian tak boleh pula dilepas dari keadaan ekonomi. Bagaimana pun pekerjaan-pekerjaan mapan terbatas daya tampungnya. Sementara dinamika ekonomi pada sisi lain membutuhkan berbagai jasa dan ketrampilan ‘baru’ atau ketrampilan lama dalam kemasan baru. Dengan kata lain, ia tak hanya sekadar katup pengaman dari keterbatasan daya tampung lapangan kerja, ia juga memberi pengertian baru tentang dunia kerja yang berubah.

Tentu banyak diantara yang menerjuninya pada awalnya bukan karena memilih, tetapi digiring oleh keadaan. Namun mereka yang bertahan, akhirnya menemukan berbagai nilai-nilai kebaikan pada pekerjaannya. Dan, karena itu mereka bersemangat melihara dan menjaga profesinya yang ‘baru’ itu.

Di titik ini lah tampaknya para kampiun pemasaran ini layak mendapat dukungan. Mereka patut didukung untuk terus menggali nilai-nilai kebaikan dari pekerjaan mereka, memapankannya di lingkungan mereka dan kemudian mensosialisasikannya kepada publik. Dengan demikian profesi yang dianggap baru itu pada waktunya juga sama terhormatnya (dalam persepsi kebanyakan orang) dengan profesi klasik lainnya.***

(Editorial WartaBisnis edisi 18/I/Oktober 2003)
(c) eben ezer siadari

Menelusuri Warisan Belanda

Infrastruktur dan pendidikan adalah dua hal penting penentu majunya suatu negara. Dan peran pemerintah sangat menentukan dalam hal ini. Maka agak menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi


Pada sebuah pertemuan yang tak terduga-duga pekan lalu, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Anne Booth. Nama ini tentu tak asing lagi bagi mereka yang serius mendalami masalah-masalah perekonomian Indonesia. Ia merupakan co-editor dari buku Sejarah Ekonomi Orde Baru, yang telah menjadi semacam buku klasik, diacu oleh hampir semua ahli yang ingin membahas ekonomi kita sepanjang periode yang penting itu. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto, ia juga salah satu Indonesianist yang diundang untuk menyumbangkan fikiran. Booth, kelahiran New Zeland dan pernah lama menjadi peneliti di Australian National University, kini menjadi profesor ekonomi di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Persinggahannya ke Jakarta yang hanya beberapa hari adalah dalam rangka melengkapi studinya tentang sejarah perkembangan ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang dia perkirakan akan terbit tahun depan.
Menarik untuk mendengar ceritanya tentang apa yang ingin ia jawab lewat studi terbarunya itu. Ia rupanya ingin menelusuri faktor-faktor sejarah apa yang menyebabkan perkembangan ekonomi negara-negara di Asia Tenggara demikian berbeda, padahal dari sisi geografis mereka berada di wilayah yang sama. Singapura, misalnya, sudah merupakan negara berpendapatan tinggi (high income country ) menurut Bank Dunia. Malaysia juga telah menikmati pendapatan perkapita cukup tinggi. Sedangkan ada juga yang digolongkan pada low & in the middle income seperti Muangthai, Indonesia dan Filipina. Juga ada negara yang belum maju seperti Laos, Kamboja dan juga Burma.
Jawaban selengkapnya mengenai hal itu tentu baru akan dapat kita temukan setelah ia menerbitkan bukunya. Namun ada dua hal yang menurut dia sangat menentukan perkembangan ekonomi suatu negara, khususnya di Asia Tenggara, bila dilihat dari aspek historis. Yang pertama adalah infrastruktur. Di Asia Tenggara seperti juga di Afrika dan Amerika Selatan pada jaman kolonial, infrastuktur ikut didorong oleh ekspor. Di Indonesia, kita bisa melihat di Sumatera Selatan, cukup kaya dengan kebun besar, maka jalan dan jembatan serta listrik cukup bagus. Di Jawa juga, infrastruktur seperti jalur kereta api, jalan, pengairan, cukup bagus, , bahkan mungkin yang paling bagus di masa kolonial dulu. Itu semua menurut dia, adalah warisan jaman Belanda yang sampai kini masih berperan penting dalam menunjang perkembangan ekonomi.
Yang kedua adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam menentukan kemajuan atau keterbelakangan sebuah negara. Berbalikan dengan infrastruktur, peninggalan Belanda untuk Indonesia dalam hal ini sangat buruk. Ia memberi contoh menurut sensus tahun 1961, sebagian besar angkatan kerja di Indonesia belum tamat SD, dan banyak yang belum sekolah sama sekali. Pada tahun 50-an ketika Soekarno mencanangkan peningkatan pendidikan ia menghadapi kesulitan.Tidak ada sekolah, tidak ada guru, anggaran sangat sempit, dan harus diakui sebagian besar anggaran negara digunakan untuk keperluan militer, seperti untuk pembebasan Irian Jaya dan konfrontasi dengan Malaysia. Pada jaman Soeharto, sebetulnya anggaran pembangunan terus naik sampai tahun 90-an. Dan anggaran itu dipakai untuk infrastruktur jalan dan jembatan, listrik, transmigrasi dan pendidikan. Tapi kalau dibandingkan dengan Muangthai, Malaysia, keadaan di Indonesia, menurut dia, masih kurang baik. Juga masih ada perbedaan tingkat kesehatan. Masih jauh lebih baik di Jawa, Bali, dan daerah perkotaan, daripada di Indonesia bagian Timur.
Walau ia tak membuat semacam kesimpulan, dari penuturannya tampak benar bahwa dua hal yang diwariskan oleh pemerintah penjajahan –yang baik mau pun yang buruk-- ternyata masih sangat menentukan hingga dewasa ini. Infrastruktur semisal jalan kereta api, mungkin tak banyak bertambah dari apa yang dulu ditinggalkan Belanda. Kesenjangan Jawa dan luar Jawa, Indonesia wilayah Barat dan Timur, juga masih terus berlangsung bahkan seakan dilanggengkan.
Ini akan sangat ironis bila kita membayangkan bahwa kita telah merdeka 58 tahun. Dan, akan lebih ironis lagi manakala kita kini telah disibukkan dengan liberalisasi ekonomi, persaingan bebas di tingkat global dan makin pragmatisnya pendekatan-pendekatan pemerintahan di berbagai negara dunia ketiga dalam mengelola perekonomiannya. Salah satu contoh, dalam sebuah diskusi tentang RAPBN yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesional Madani, di Jakarta belum lama ini, ada suatu pendapat yang mengatakan, buat apa kita disibukkan mengkritisi RAPBN. Toh RAPBN itu tidak lagi signifikan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut pendapat itu, RAPBN tak lebih hanya sebagai catatan pembukuan pemerintah dalam membiayai kegiatannya. Jadi, kata pendapat tadi, tidak usah lah sibuk membicarakan RAPBN.
Jika kita mengacu pada hipotesis yang diajukan Booth, bahwa infrastruktur dan pendidikan merupakan faktor historis (yang berarti sangat berjangka panjang) yang sangat menentukan, maka akan sangat nyata lah bahwa membicarakan RAPBN itu sangat penting. Bagaimana pun, penyediaan infrastruktur mau pun pendidikan masih akan sangat tergantung pada pemerintah. Bagaimana RAPBN disusun dalam menyikapi hal ini merupakan soal yang harus dicermati. Bukan hanya mencermati besaran-besarannya (sudah barang tentu dana untuk itu tak semuanya harus ditanggung pemerintah) tetapi yang lebih penting apakah RAPBN yang disusun memberikan sinyal yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.
Pandangan yang kritis terhadap bagaimana Pemerintah merencanakan dan mengelola anggarannya akan makin perlu bila Anne Booth benar, bahwa kesenjangan yang terjadi saat ini adalah merupakan warisan penjajahan, yang berarti kita masih juga belum berhasil mengatasinya. Persoalan kesenjangan, dimana pun bahkan di negara yang paling liberal, tak dapat diserahkan begitu saja pada pasar, tetapi ia mengharuskan campur tangan pemerintah. Dan, karena itu lah betapa menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi.

(Editorial WartaBisnis edisi 17/I/15-30 September 2003)

(c) Eben Ezer Siadari

Lagi, Kita Berada di Posisi Buruk

Indonesia berada di peringkat ke tujuh diantara negara-negara yang berisiko tinggi terhadap serangan teroris.


Tak henti-hentinya citra Indonesia memburuk di dunia internasional. Dalam pemeringkatan yang dilakukan berbagai institusi, sudah beberapa kali negeri ini berada di posisi yang buruk. Indonesia termasuk negara teratas dalam hal korupsi. Indonesia juga berada pada posisi yang jelek dalam hal daya saing global. Selain itu Indonesia tak dapat dibanggakan dalam indeks pembangunan manusia. Anda mungkin tak perlu pula heran jika dalam hal terorisme, Indonesia pun kini menempati posisi yang menyedihkan.

Baru-baru ini majalah The Economist melansir pemeringkatan yang dilakukan oleh World Market Research Centre. Institusi ini menyusun peringkat berbagai negara di dunia berdasarkan indeks terorisme global, yang merupakan cerminan dari tinggi rendahnya risiko terorisme di suatu negara. Dan, Indonesia berada di urutan ketujuh, satu tingkat di bawah Afganistan. Dengan kisaran skor hampir mencapai 80, Indonesia tergolong sebagai negara berisiko tinggi (rentang skor 65,5-85), sekelompok dengan Pakistan (peringkat ketiga), Amerika Serikat (peringkat keempat) Filipina (peringkat kelima) dan Afganistan. Kolombia dan Israel berada di peringkat pertama dan kedua sekaligus merupakan negara yang dianggap berisiko secara ekstrim. Negara paling aman dari serangan terorisme, menurut pemeringkatan itu adalah Korea Utara. (lihat tabel)

Sudah barang tentu tingginya risiko terorisme tak selalu berkait dengan buruknya perekonomian suatu negara atau rendahnya kemampuan pemerintahnya mengendalikan keamanan. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Barangkali diantaranya adalah seberapa besar eksposur investasi asing dari negara-negara yang dianggap musuh utama teroris di negara dimaksud. Amerika Serikat sebagai contoh, adalah negara yang selama ini oleh teroris dianggap sebagai musuh kelas wahid. Tak mengherankan bila peringkatnya berdasarkan indeks terorisme global itu cukup tinggi.

Baru-baru ini Ketua Kadin, Aburizal Bakrie mengatakan dunia bisnis di Indonesia makin terbiasa menghadapi aksi-aksi terorisme. Itu sebabnya, menurut dia, Bom Marriott tidak menimbulkan kepanikan di kalangan bisnis. Maka ia juga yakin aksi terorisme itu tidak akan memberi dampak berkepanjangan terhadap perekonomian.
Barangkali kalangan dunia bisnis di Tanah Air yang tumbuh dan dibesarkan di dalam negeri memang dengan sendirinya dapat memahami apa yang terjadi. Itu sebabnya mereka tidak panik. Juga para investor asing yang sudah puluhan tahun berada di sini, sudah dapat mengerti dan mengukur seberapa jauh risiko berbisnis di Indonesia akibat aksi-aksi pengeboman tersebut.

Namun, bagaimana dengan para investor baru yang belum banyak tahu tentang Indonesia tetapi telah memasukkan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasinya? Apakah mereka dapat yakin begitu saja oleh pernyataan-pernyataan pengusaha dan pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa aksi terorisme tidak berpengaruh besar terhadap iklim investasi di sini? Jelas, ini masih menjadi tanda tanya. Dan, bila mereka membaca indeks terorisme global seperti yang dihasilkan oleh World Market Research Centre itu, pastilah akan mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan yang mereka ambil.

Maka ada baiknya kita tidak menganggap enteng risiko bisnis pasca Bom Marriott ini. Apalagi setelah itu suhu politik diperkirakan akan memanas, terutama menjelang Pemilu. Berbagai dinamika politik dan sosial bisa menjurus kepada gangguan keamanan yang selanjutnya meningkatkan risiko berbisnis di Tanah Air. Ini bisa menjadi ganjalan di tengah upaya Pemerintah menarik investasi asing. Padahal, tahun ini sudah pula dicanangkan sebagai tahun investasi.

Selain upaya keras dari pihak berwewenang untuk mengusut biang keladi terorisme di Indonesia dan mencegah kemungkinan terulangnya aksi-aksi serupa, mungkin diperlukan berbagai langkah antisipasi lain. Dari dunia asuransi, misalnya, terbetik kabar bahwa produk asuransi untuk melindungi risiko aksi terorisme ternyata belum banyak tersedia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kapasitas industri asuransi untuk menyediakannya. Dan, ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara maju. Itu dari sisi pasok. Dari sisi permintaan, produk-produk semacam itu juga tampaknya belum populer. Dunia bisnis kita ditengarai belum terlalu peduli dan terdorong untuk mengasuransikan bisnisnya dari kemungkinan-kemungkinan tak terduga seperti aksi terorisme. Sebagai contoh, asuransi gempa bumi dan bencana banjir saja masih kurang populer, padahal gempa bumi dan banjir adalah fenomena alam yang sangat sering terjadi di Indonesia.

Kita tentu berharap agar aksi-aksi terorisme bisa diakhiri. Namun, tak ada salahnya jika kita juga bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Barangkali sudah waktunya pemerintah dan dunia usaha duduk bersama-sama untuk merumuskan langkah, setidaknya berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan terburuk tersebut.

(c) Eben Ezer Siadari

Jangan Melupakan Sejarah

Seratus perusahaan berusia lebih dari setengah abad bisa bercerita banyak tentang sejarah bisnis di Tanah Air.




Negeri ini jelas tak hanya dibangun oleh para pahlawan, tentara, birokrat atau politisi. Ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan 58 tahun lalu, Jakarta yang berdiri ratusan tahun sebelumnya sudah menjadi pusat dagang. Sejumlah perusahaan telah berdiri dan berkiprah. Mengincar pasar dalam negeri mau pun dengan melanglang buana.

Banyak diantara perusahaan itu ternyata hingga kini masih bertahan. Barangkali ada nada sentimentil bila perusahaan-perusahaan itu kita sebut sebagai saksi sejarah. Tetapi mereka memang menjadi saksi sejarah. Perusahaan-perusahaan itu, dengan kinerja yang baik, sedang-sedang atau buruk pun, sebagai organisasi telah mengalami pasang surut alam Indonesia merdeka. Dan, mereka membuktikan mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan.

Entah sejak kapan dimulai, kita telah lama mentradisikan peringataan ulang tahun kemerdekaan sebagai momen melihat ke belakang. Namun seringkali kita hanya menggali kembali ingatan pada berbagai peristiwa di panggung politik mau pun panggung pertempuran. Tetapi bagaimana dengan panggung bisnis? Adakah ia sebenarnya punya cerita?

Dalam konteks ini, Liputan Utama WartaBisnis kali ini yang menampilkan 100 perusahaan berusia 50 tahun atau lebih, boleh lah dipandang sebagai pelengkap dari tradisi itu. Sebab, seperti yang telah dikemukakan tadi, banyak diantara perusahaan ini sebenarnya telah menjadi saksi sejarah bahkan mungkin menjadi penggerak roda ekonomi, jauh sebelum Republik ini berdiri. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah ada sejak 1895, mungkin hanya satu dari banyak contoh. Perusahaan ini dan banyak lagi perusahaan lain, bisa menjadi sumber cerita bagaimana sebenarnya dunia bisnis berjalan sepanjang sejarah Indonesia berdiri, dari awal hingga kini.

Di Amerika Serikat beberapa tahun lalu melesat apa yang disebut ‘ekonomi baru.’ Ditandai oleh bermunculnya banyak sekali perusahaan-perusahaan baru yang mengklaim punya model bisnis yang unik, mereka pada umumnya menolak untuk menoleh ke belakang. Resep sukses, katanya, kini tak harus berakar pada model-model bisnis yang lazim. Justru resep sukses itu, kata mereka lagi, seringkali samasekali tanpa preseden. Belajar kepada masa lalu dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman.

Terbukti kemudian, banyak yang berhasil tetapi lebih banyak lagi yang jatuh. Statistik terbaru mengatakan hanya 20% dari perusahaan-perusahaan baru yang berhasil melewati usia satu tahun. Perusahaan dotcom berjatuhan, sementara yang mencoba bangkit akhirnya merevisi model bisnisnya, kata lain untuk mengatakan kembali kepada prinsip-prinsip old economy, ekonomi yang sesungguhnya.

Menoleh kembali ke masa silam, lewat 100 perusahaan bersejarah yang tampil pada nomor ini, tentu bukan berarti mengajak Anda memuja masa lalu. Juga bukan berarti panjangnya usia satu-satunya menjadi ukuran ketangguhan. Banyak dari perusahaan yang ada dalam daftar ini, kerap kali menjadi cemooh. Bahkan sebagian besar diantaranya adalah BUMN, perusahaan yang selama ini menjadi sorotan sinis.

Namun, dari mereka setidaknya ada banyak hal bisa ditarik. Tentang hal-hal apa yang membuat mereka bertahan. Tentang lingkungan bisnis dan politik mana yang telah mewarnai perjalanan hidup negeri ini. Lalu bagaimana dunia bisnis beradaptasi terhadapnya. Kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi pakar sejarah bisnis. Dan, jika dulu Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, menjadi jargon yang populer di dunia politik, ada baiknya dunia bisnis di Tanah Air juga mempelajari sejarahnya sendiri. Sebab dengan demikian lah para saudagar di negeri ini dapat melihat kekuatan dan kekurangannya. ***

Mandor

Argumentasi bahwa IMF masih diperlukan untuk memandori program ekonomi, terasa sangat tak relevan, di tengah bangkitnya semangat nasionalisme ekonomi.



Kata mandor jadi agak populer belakangan ini. Ia digunakan untuk menggambarkan peranan IMF dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi pemerintah, khususnya yang tertuang dalam letter of intent. Salah satu alasan yang diajukan sementara kalangan untuk tetap mempertahankan kerjasama dengan IMF adalah pentingnya kredibilitas dan kompetensi lembaga itu dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi. Kalangan ini menganggap, lembaga ini dapat memainkan peran mandor itu dengan baik karena mereka terbebas dari tarik ulur kepentingan, kredibilitasnya tinggi di mata pasar internasional, dan yang lebih penting lagi, mereka mempunyai kompetensi.

Menurut pandangan ini, salah satu yang mengkhawatirkan bila IMF tak lagi dilibatkan adalah kemungkinan hilangnya kredibilitas kebijakan ekonomi itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih keren, ini disebut sebagai credibility gap (kesenjangan kredibilitas)

Tim exit strategy memang telah melansir enam opsi pasca program IMF. Jika ditilik dari keseluruhan opsi, empat diantaranya menyatakan adanya peranan IMF, dengan derajat yang beragam. Empat opsi itu, pertama, adalah apa yang disebut Extended Fund Facility. Ini adalah kontrak kerjasama seperti yang selama ini dilakukan. Kedua, Stand By Arrangement, dimana IMF memberikan pinjaman siaga yang bisa digunakan. Ketiga, Precautionary Arrangement, IMF memberikan pinjaman berjaga-jaga, tetapi sejak awal ditekankan tak dapat digunakan. Keempat, Post Program Monitoring, dimana IMF melakukan monitoring dan pemerintah membayar utang sesuai dengan jadwal. Tiga yang disebut pertama mengharuskan adanya Letter of Intent, sementara yang terakhir tidak. Dua opsi lain yang tak menghadirkan IMF lagi sama sekali adalah pertama, pemerintah mempercepat membayar utang pada IMF sehingga yang tersisa adalah utang di bawah atau sama dengan kuota, dan kedua, membayar lunas keseluruhan utang sekaligus.

Sebenarnya sedikit aneh jika tim exit strategy masih memasukkan opsi-opsi yang mengasumsikan diteruskannya program kerjasama dengan IMF. Jika menilik sedikit ke belakang, dan menelusuri kembali diskusi yang berkembang sehingga MPR mengamanatkan pengakhiran kerjasama dengan IMF tempo hari, maka sama seperti namanya, tim exit strategy seharusnya bertugas untuk merumuskan program-program ekonomi tanpa peran IMF lagi. Dengan demikian sebenarnya hanya dua opsi yang disebut terakhir lah yang benar-benar dapat dikatakan sebagai exit strategy, yakni pembayaran utang yang dipercepat atau pembayaran lunas sekaligus.

Jika kini wacana berkembang adalah adalah enam opsi, di sini argumentasi yang mengatakan diperlukannya IMF sebagai mandor menjadi penjelas. Ini secara gamblang menunjukkan betapa para teknokrat pengambil keputusan itu masih terkesan bias pada kepentingan IMF. Dan, ironisnya, argumentasi itu pula lah yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik lemah. Ini menjadi gambaran rendahnya kepercayaan diri mereka untuk menjadi mandor di negeri sendiri, seperti dikemukakan oleh Menteri Perencanaan Negara, Kwik Kian Gie.

Argumentasi sebagai mandor itu pula menjadi cermin masih kerapnya para teknokrat ekonomi mengenakan ‘kacamata kuda’ untuk hanya dikungkung oleh paradigma tertentu dan kurang terbuka terhadap paradigma lain. Argumentasi yang menganggap IMF lah pilihan paling tepat untuk menjadi mandor negeri ini mengabaikan fakta makin meningkatnya semangat nasionalisme ekonomi tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan bahkan Cina. Nasionalisme itu tumbuh karena pengalaman global menunjukkan makin terdesaknya negara-negara dunia ketiga oleh kepentingan negara besar, yang biasanya ‘bersembunyi’ di balik konsep free trade mau pun isu globalisasi. Dan, negara-negara tetangga itu berhasil justru dengan bersikap kukuh memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Di Indonesia seringkali ada anggapan bahwa nasionalisme ekonomi hanya populer di kalangan akar rumput, lebih didorong oleh sentimen anti Barat dan biasanya hanya digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mengegolkan agendanya. Anggapan semacam ini tampaknya makin tidak relevan karena nasionalisme itu kini dengan mudah dapat ditemukan pada sikap kalangan terpelajar, elit professional, intelektual mau pun entrepreneur. Robby Djohan, mantan CEO Bank Niaga dan Bank Mandiri, dalam bukunya yang terbit baru-baru ini, Turnaround, Kiat-kiat Restrukturisasi, misalnya, menunjukkan semangat nasionalismenya yang tinggi, sambil menceritakan kejengkelannya ketika berhadapan dengan para petinggi IMF tempo hari.

Maka di tengah realitas yang demikian, tampaknya adalah lebih baik untuk menyerahkan urusan memandori ini kepada negeri ini sendiri. Pengalaman selama lima tahun terakhir menunjukkan, mandor IMF juga tak sepenuhnya berhasil, walau pun memang tak semua kesalahan patut ditimpakan kepada mereka. Sudah saatnya kita mencoba.

(c) Eben Ezer Siadari