Friday

Menagih Janji

Tiba waktunya menagih janji para politisi. Agar tak lupa, ini ada 10 janji yang patut kita cermati.


Ketika kampanye usai, sebetulnya ia juga adalah permulaan. Awal untuk mengumpulkan kembali janji-janji yang pernah terlontar. Awal untuk menagih mereka yang selama ini telah membujuk rayu publik agar memilih kelompok atau dirinya. Awal untuk mencermati bagaimana mereka akan mewujudkan janji itu. Dan awal mengkritisi bagaimana kita diajak untuk turut serta dalam pekerjaan besar menjadikan janji mereka kenyataan.

Para pebisnis memang tak pernah terlalu ekspresif dalam menyatakan dirinya dalam setiap proses politik seperti Pemilu. Namun pengalaman dimana pun menunjukkan secara diam-diam justru mereka lah yang secara teliti mencatat apa saja yang telah berkumandang selama kampanye.

Jika kita amati selama kampanye, janji klise dan abstrak sangat dominan. Kita sudah lama mendengarnya tetapi kita tidak jelas benar mengetahui bagaimana hal itu akan dicapai. Sangat mudah untuk apatis pada keadaan yang demikian. Namun, pilihan semacam ini bukan lah yang terbaik. Catatan-catatan tentang janji para kontestan Pemilu perlu terus-menerus dikemukakan sehingga kita tak lupa untuk apa kita memilih sebuah partai atau seorang pemimpin. Dari sana pula kita dapat menilai apakah pilihan kita memang benar atau justru kita (untuk kesekian kalinya) ditinggalkan begitu saja.

Dari banyak catatan tentang janji-janji di masa kampanye, setidaknya ada 10 isu yang menjadi kepedulian para pebisnis. Janji-janji ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai komitmen universal karena hampir semua partai menjanjikannya. Dengan demikian janji itu dapat ditagih kepada siapa pun yang menjadi pemenang Pemilu.

Janji itu antara lain adalah ini. Pertama, janji tentang memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Semua tokoh dan semua partai berjanji akan memberantas praktek ini. Janji yang bagus. Tetapi apakah mereka yang berjani benar-benar paham apa yang mereka janjikan? Ini pertanyaan tak berkesudahan.

Kedua, mengurangi tingkat pengangguran dan memperluas kesempatan kerja. Janji semacam ini menjadi komoditas yang laku keras selama kampanye. Namun, bagaimana cara memecahkan masalah ini terdapat variasi yang besar antara satu partai dengan yang lainnya. Bukan saja variasi caranya, tetapi juga variasi tingkat kelayakan solusi yang ditawarkan.

Ketiga, mengurangi bahkan menghapus utang luar negeri. Semua tokoh dan partai melihat hal ini sebagai prioritas. Berbagai cara untuk memecahkannya juga terlontar, mulai dari yang sangat klasik (misalnya, menyetop pinjaman baru dan mencicil pinjaman lama) sampai yang sangat progresif (menawarkan pertukaran aset, semisal konsesi sumber daya alam kepada negara donor atau lembaga donor). Sebaiknya mereka yang berjanji lebih dalam lagi memahami fakta dan data, sebelum terlanjur meninabobokan para audiensnya.

Keempat, menjamin stabilitas harga pada tingkat yang rendah. Publik makin terbiasa dengan janji dari politisi untuk menjamin tersedianya beras dan sandang dengan harga terjangkau, mengggiatkan lagi subsidi BBM dan listrik, biaya sekolah yang rendah dan sebagainya. Ini janji yang sangat mengundang simpati. Tetapi simpati bisa berubah jadi benci manakala janji sekadar jadi retorika.

Kelima, efisiensi birokrasi. Banyak politisi dan partai berjanji akan menata birokrasi supaya lebih efisien. Gaji pegawai negeri dinaikkan dan pada saat yang sama dilakukan rasionalisasi. Sebuah janji yang menarik, apalagi ketika dunia makin lazim menghubungkan prestasi sebagai tolok ukur organisasi, entah swasta mau pun pemerintah. Pertanyaannya, adakah partai atau tokoh yang berani mengambil tindakan yang setengah populer ini?

Keenam, meningkatkan pendapatan perkapita, lewat pertumbuhan ekonomi. Ini adalah janji klasik. Janji manis, tetapi bisa berubah pahit manakala kita bicara cara untuk mencapainya. Sebab, seringkali harus ada yang dikorbankan (trade off). Sebagai contoh, jika pendapatan petani ingin dinaikkan dengan mematok harga dasar padi yang tinggi, misalnya, bagaimana sektor industri menetapkan tingkat upah yang kompetitif akibat kenaikan harga kebutuhan pokok?

Ketujuh, perlindungan dan insentif dalam mendorong ekonomi domestik. Janji semacam ini sangat menonjol. Jika Soeharto dulu sangat populer dengan ucapan, “siap atau tidak siap, globalisasi akan datang,” sekarang justru semua partai mempertanyakan kesiapan itu. Ekonomi domestik kini dianggap sebagai kekuatan yang penting. Karena itu harus dilindungi dan diberi insentif. Pertanyaannya, manakala ada yang dilindungi dan ada yang diberi insentif, pada saat yang sama ada yang merasa terkalahkan atau tersisihkan. Bagaimana para partai melakukannya, perlu dicermati.

Kedelapan, ekonomi antardaerah yang bebas hambatan. Semua partai berjani memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Implikasi ekonomisnya, ekonomi antardaerah semestinya tetap bebas hambatan kendati daerah punya otonomi yang luas. Janji semacam ini perlu pembuktian karena justru selama lima tahun terakhir, keluhan terhambatnya ekonomi antardaerah meningkat drastis karena para penguasa daerah (yang notabene berlatarbelakang partai) menetapkan kebijakan yang terkesan sangat lokal.

Kesembilan, APBN yang populis. Semua partai berjanji akan mengalokasikan APBN untuk bidang kesehatan dan pendidikan dalam porsi yang meningkat secara signifikan. Sebuah tekad yang baik. Tetapi atas beban siapa? Pembayar pajak, yang berarti kalangan bisnis? Dan, kalangan bisnis yang mana, pebisnis yang selama ini telah patuh membayar pajak atau mereka yang justru selama ini piawai menghindari kewajiban pajak?

Kesepuluh, semua partai dan tokoh pemimpin berjanji akan menjunjung supremasi hukum dan menjamin keamanan. Bagi para pebisnis dua hal ini adalah elemen yang sangat penting. Perlu pembuktian dan perlu pembaruan cara untuk mewujudkannya.

Sepuluh janji ini, di antara banyak lagi janji lain yang tak kalah penting, adalah pokok-pokok yang sebaiknya dipatrikan di setiap benak para politisi, pemimpin dan partai. Mereka tidak boleh dibiarkan lari dari kewajiban memenuhinya. Memang tidak mudah menjadi politisi. Tetapi lebih sulit lagi menjadi pebisnis yang hidup di negeri yang dipimpin politisi lupa janji. ***

(Editorial WartaBisnis edisi 25/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari

No comments: