Megawati mengatakan pengusaha kita manja. Pengusaha membantahnya. Mari kita telusuri siapa sebenarnya yang manja.
Asyik juga membaca adu kritik antar elit kita belakangan ini. Baru-baru ini, misalnya, Presiden Megawati mengeritik pengusaha lewat pidatonya di hadapan anggota Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di Istana Negara. Katanya, pengusaha kita manja-manja. Mereka bisanya jadi jago kandang belaka. Diminta untuk ikut mempromosikan Indonesia ke luar negeri, malah bertanya siapa yang akan membiayai. “Ikut saja susah, padahal itu kan bagian dari promosi,” kata Megawati.
Kritik itu kemudian dibalas oleh M.S. Hidayat, ketua umum KADIN yang baru. Kata dia, pengusaha jangan disamaratakan. Tidak semuanya manja. Lalu Sofjan Wanandi, ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia lebih lantang lagi. Kata dia, pengusaha yang bisa survive selama krisis adalah bukti bahwa mereka tidak manja. Bila pengusaha banyak menyuarakan reformasi perpajakan, penghapusan biaya ekonomi tinggi, bukan berarti mereka manja. “Itu permintaan yang riil agar pemerintah mengerjakan pekerjaan rumahnya,” kata Sofjan.
Manja adalah sebuah sikap tetapi juga perilaku. Manja adalah sikap mudah menyerah. Dalam bentuk perilaku ia bisa berwujud macam-macam. Misalnya, sedikit-sedikit minta perlindungan. Lalu mencari ‘kambing hitam’ tiap kali menemukan kesulitan. Ketika ada masalah, lebih melihat potensi kesulitannya ketimbang melihat potensi kemungkinan memecahkan masalah. Lebih lanjut, sering mengambil jalan pintas, jalan yang mudah tanpa berfikir akibat jangka panjangnya. Dan kalau sudah berorientasi pada jalan pintas, kerapkali konsistensi diabaikan. Baik dalam argumentasi mau pun kebijakan.
Lalu siapa yang manja, sebenarnya?
Pengusaha kita dari dulu memang sudah dikritik sangat manja. Ada istilah kapitalis semu, untuk menunjukkan bahwa sebagian pengusaha kita besar karena dimanjakan dan mendapat perlindungan. Itu cerita lama. Lalu banyak juga pengusaha yang sangat gampang mencari kambing hitam. Menyalahkan stabilitas ekonomi yang rapuh, menyalahkan otonomi daerah yang kebablasan, bahkan juga bisa menjadikan flu burung sebagai kambing hitam. Tujuannya, untuk meminta perlindungan, meminta alasan untuk tidak usah bersusah-susah. Ini juga cerita basi yang sudah kita tahu. Sebagaimana pendapat seorang pengamat ekonomi terpandang, dimana-mana pengusaha memang begitu. Selalu meminta lebih. Mereka manja atau berpura-pura manja. Maka biarkan saja. Toh mereka nanti bakal diam sendiri. Sebab, dibalik kemanjaan mereka, mereka sebenarnya berikhtiar terus untuk mencari selamat. Bagaimana pun, nasib mereka memang pada akhirnya mereka tentukan sendiri.
Yang repot adalah bila pemerintah ikut manja. Gampang mengeluh, gampang menyalahkan orang lain dan selanjutnya, selalu mencari jalan pintas. Ini bisa berbahaya karena yang kena akibatnya adalah kita semua. Dan, ini lah justru yang kita khawatirkan sedang terjadi. Rencana mendivestasi saham pemerintah di Bank BNI sebesar 51%, misalnya, kelihatannya mengindikasikan adanya kemanjaan itu. Banyak sekali argumen di belakangnya yang tidak konsisten. Di satu saat dikatakan divestasi itu untuk menambal defisit anggaran belanja negara. Di saat lain dikemukakan bahwa penjualan saham itu demi untuk menyehatkan Bank BNI itu sendiri. Menyerahkannya kepada swasta diyakini akan bisa membuat bank itu sehat. Pemerintah seolah lupa bahwa Bank BNI adalah bank pemerintah pertama yang masuk bursa. Bahwa kemudian ia dibobol, apakah layak mengatakan kebobolannya itu karena ia bank milik pemerintah? Bukan karena persoalan mismanajemen? Sikap dengan mudah menunjuk kambing hitam semacam ini, adalah sebuah cermin sikap manja. Kita dengan cepat mengambil kesimpulan tetapi pada kala lain kesimpulan itu kerap kita ubah sendiri.
Begitu pula dalam hal caranya. DPR telah setuju, divestasi Bank BNI dilakukan lewat secondary offering. Belakangan terdengar kabar, divestasi itu bakal dilaksanakan dengan cara strategic sale, yang berarti lebih sekadar perpindahan kepemilikan daripada penyebaran kepemilikan. Ini juga bisa merupakan indikasi sikap manja, memilih mengambil jalan pintas. Karena secondary offering dianggap tidak memungkinkan lagi berhubung deadline yang mendesak, lalu jalan memotong jadi pilihan. Untung saja, beberapa waktu belakangan pilihan strategic sale itu dikabarkan dibatalkan.
Jika kita membaca bagaimana Pemerintah bersikap terhadap wabah demam berdarah belakangan ini, makin nyata lah bagaimana sikap manja itu. Baca saja, misalnya judul berita koran. Suatu hari ada seorang kepala dinas di DKI Jakarta berkomentar di bawah judul berita yang berbunyi begini: “RUMAH SAKIT LAMBAN LAPORKAN KASUS DBD.” Lihat, ketika nyawa demi nyawa melayang, kita masih berfokus pada kesulitan masalahnya ketimbang pada solusinya, bukan?
Keesokan harinya, kembali nada yang sama muncul. Sebuah kutipan, berbunyi demikian, “PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA MENGAKU KEWALAHAN MELAKUKAN PENGASAPAN UNTUK MEMBASMI NYAMUK AEGEPTY.” Lagi-lagi suara jajaran birokrasi lebih bernada menambah echo masalah ketimbang menawarkan solusi. Seolah-olah publik dianggap tidak tahu bahwa masalahnya sudah demikian besar, bahwa kesulitan datang bertubi-tubi. Oh, publik kita sudah cerdas, tuan-tuan. Mereka adalah pemerhati masalah yang cermat, kendati mereka tidak berbicara dan tidak punya panggung. Yang publik ingin dengar adalah bagaimana masalah-masalah itu akan dijawab, dengan tanpa mencari kambing hitam. Atau memang tak pernah ada keinginan untuk menjawabnya?
Tentu, tiap kita punya kemanjaan masing-masing. Ada baiknya kita introspeksi sebelum bangsa ini benar-benar menjadi bangsa yang manja. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 24/II/Maret 2004)
(c) eben ezer siadari
No comments:
Post a Comment