Kita boleh lega masih punya sejumlah entrepreneur unggul, penakluk krisis dan pasar global.
Pada mulanya adalah sebuah keyakinan. Keyakinan yang didapat entah karena penemuan, pengetahuan atau pengalaman. Begitulah banyak entrepreneur menetapkan visinya dan berusaha mewujudkannya. Seperti misalnya, Ken T. Sudarto, yang dikenal sebagai ‘empu’ periklanan modern di Indonesia, pendiri Matari Advertising, satu diantara sedikit kantor periklanan domestik yang bertengger di papan atas perusahaan periklanan. Ia meyakini betul bahwa semestinya orang Indonesia sendiri lah yang lebih paham tentang Indonesia. Juga di bidang periklanan. Dan, berulang-ulang, dalam berbagai kesempatan, termasuk di website kantor periklanan itu, ia mengemukakan keyakinannya. Bahwa, “Dunia periklanan hanya melibatkan orang dan komunikasi. Kami yakin tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”
Tidak banyak orang seperti itu. Di tengah makin banyaknya perusahaan multinasional melirik pasar domestik (dan tak sedikit yang berjaya), Ken masih tetap teguh pada keyakinannya itu. Bukan hanya yakin, selama 30 tahun lebih ia terus bekerja mewujudkan keyakinannya. Ia berhasil. Matari bukan saja dikenal sebagai perusahaan periklanan terkemuka di Indonesia. Ia juga jadi semacam ‘sekolah’ bagi insan-insan periklanan dan motor bagi majunya industri itu. Tak mengherankan, beberapa pekan lalu, Ken terpilih menjadi satu dari 15 finalis Ernst & Young Entrepreneur of the Year 2003. Para finalis ini adalah entrepreneur unggulan, dilihat dari kinerja perusahaannya, pencapaian visi, dampak global kiprahnya dan tak kalah penting, integritas.
Yang menarik, pendirian yang bernuansa nasionalis itu bukan diutarakan untuk mendorong sikap autarkis, menutup pintu bagi kekuatan global. Sikap itu justru lebih sebagai sikap percaya diri, mengundang sesama entreprenur di dalam mau pun dari luar negeri untuk bersaing secara adil. Juga semacam lonceng aba-aba agar kekuatan domestik bangkit dan menyadari bahwa kita, harus berjuang untuk menjadi tuan di negeri sendiri.
Ken cukup percaya diri untuk mengatakan keyakinannya justru karena pergaulannya yang tak terbatas. Di awal ia merintis karier di dunia periklanan, ia telah bergaul, antara lain dengan perusahaan-perusahaan periklanan dari Singapura. Ia bekerjasama dengan mereka, membuat versi Bahasa Indonesia iklan-iklan dari luar itu. Dari sanalah ia belajar teknik-teknik penulisan iklan dan tampaknya itu pula yang menjadi dasar keyakinannya, bahwa “tidak ada yang dapat mengerti dan berkomunikasi dengan orang Indonesia seperti orang Indonesia sendiri.”
Ketika makin hari sebagai entrepreneur kita tak bisa menghindar dari menjadi bagian untuh dari persaingan global, sekilas riwayat kewirausahaan Ken itu menjadi sangat relevan. Para budayawan kerap berdiskusi tentang bagaimana cara kita bisa hidup di tengah dunia tanpa kehilangan jatidiri. Di dunia bisnis, para entrepreneur juga tak kalah sibuk menjawab pertanyaan ini: bagaimana hidup dalam kompetisi global tanpa dimakan olehnya. Bahkan, seharusnya menjadi pemenang.
Kesemua entrepreneur yang menjadi unggulan dalam Ernst & Young Entrepreneur of the Year tahun ini tampaknya juga telah lama bergulat dan mencari jawaban dari pertanyaan semacam itu. Mereka yang berjumlah 15, berjuang dan mencari jalan masing-masing mengarungi persaingan global itu. Mungkin tidak selalu dengan cara spektakuler. Mungkin dengan berkali-kali gagal bahkan jatuh. Juga harus berani mengambil keputusan pada saat-saat informasi justru sangat terbatas.
Maka, ada sedikit perasaan lega ketika menyadari bahwa kita masih punya entrepreneur kelas dunia ketika menyimak 15 entrepreneur unggulan ini. Lebih melegakan lagi, kesemua mereka benar-benar mencerminkan entrepreneur Indonesia, bukan sekadar entrepreneur Jakarta. Djoesoef Djuanedi, misalnya, membesarkan Konimex dari Solo untuk menaklukkan pasar Singapura, Taiwan, Malaysia, Hong Kong dan Filipina. Charles Saerang dari Semarang tak lelah menggeluti bisnis jamu dan ikut mengangkatnya menjadi komoditas terpandang. Dari Tuban Mohammad Nadjikh mengolah hasil laut untuk di ekspor ke Jepang dan berbagai negara lainnya. Sementara Djoko Susanto mendirikan dan membesarkan Alfa Retailindo di tengah makin mudahnya kita menemukan ritel-ritel raksasa dari mancanegara. Ada pula Purdie E. Chandra dari Yogya mengembangkan Primagama menjadi waralaba pendidikan ke seluruh Indonesia, tak mau kalah dengan berbagai lembaga pendidikan internasional yang gencar pula menawarkan hak waralabanya. Dan, masih banyak lagi.
Tepat sekali pendapat yang mengatakan bahwa dalam banyak hal, pemulihan ekonomi tak hanya ditentukan oleh para penentu kebijakan. Individu-individu yang memilih jadi entrepreneur seringkali merintis upaya pemulihan itu terlebih dahulu, dengan cara mereka sendiri, entah dengan cara biasa atau luar biasa. Kepada mereka seharusnya para pengambil kebijakan bersedia mendengar.***
(Editorial WartaBisnis edisi 49/I/1 November 2003)
(c) eben ezer siadari
No comments:
Post a Comment