Infrastruktur dan pendidikan adalah dua hal penting penentu majunya suatu negara. Dan peran pemerintah sangat menentukan dalam hal ini. Maka agak menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi
Pada sebuah pertemuan yang tak terduga-duga pekan lalu, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan Anne Booth. Nama ini tentu tak asing lagi bagi mereka yang serius mendalami masalah-masalah perekonomian Indonesia. Ia merupakan co-editor dari buku Sejarah Ekonomi Orde Baru, yang telah menjadi semacam buku klasik, diacu oleh hampir semua ahli yang ingin membahas ekonomi kita sepanjang periode yang penting itu. Dalam buku Indonesia Beyond Soeharto, ia juga salah satu Indonesianist yang diundang untuk menyumbangkan fikiran. Booth, kelahiran New Zeland dan pernah lama menjadi peneliti di Australian National University, kini menjadi profesor ekonomi di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London. Persinggahannya ke Jakarta yang hanya beberapa hari adalah dalam rangka melengkapi studinya tentang sejarah perkembangan ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang dia perkirakan akan terbit tahun depan.
Menarik untuk mendengar ceritanya tentang apa yang ingin ia jawab lewat studi terbarunya itu. Ia rupanya ingin menelusuri faktor-faktor sejarah apa yang menyebabkan perkembangan ekonomi negara-negara di Asia Tenggara demikian berbeda, padahal dari sisi geografis mereka berada di wilayah yang sama. Singapura, misalnya, sudah merupakan negara berpendapatan tinggi (high income country ) menurut Bank Dunia. Malaysia juga telah menikmati pendapatan perkapita cukup tinggi. Sedangkan ada juga yang digolongkan pada low & in the middle income seperti Muangthai, Indonesia dan Filipina. Juga ada negara yang belum maju seperti Laos, Kamboja dan juga Burma.
Jawaban selengkapnya mengenai hal itu tentu baru akan dapat kita temukan setelah ia menerbitkan bukunya. Namun ada dua hal yang menurut dia sangat menentukan perkembangan ekonomi suatu negara, khususnya di Asia Tenggara, bila dilihat dari aspek historis. Yang pertama adalah infrastruktur. Di Asia Tenggara seperti juga di Afrika dan Amerika Selatan pada jaman kolonial, infrastuktur ikut didorong oleh ekspor. Di Indonesia, kita bisa melihat di Sumatera Selatan, cukup kaya dengan kebun besar, maka jalan dan jembatan serta listrik cukup bagus. Di Jawa juga, infrastruktur seperti jalur kereta api, jalan, pengairan, cukup bagus, , bahkan mungkin yang paling bagus di masa kolonial dulu. Itu semua menurut dia, adalah warisan jaman Belanda yang sampai kini masih berperan penting dalam menunjang perkembangan ekonomi.
Yang kedua adalah pendidikan. Pendidikan sangat penting dalam menentukan kemajuan atau keterbelakangan sebuah negara. Berbalikan dengan infrastruktur, peninggalan Belanda untuk Indonesia dalam hal ini sangat buruk. Ia memberi contoh menurut sensus tahun 1961, sebagian besar angkatan kerja di Indonesia belum tamat SD, dan banyak yang belum sekolah sama sekali. Pada tahun 50-an ketika Soekarno mencanangkan peningkatan pendidikan ia menghadapi kesulitan.Tidak ada sekolah, tidak ada guru, anggaran sangat sempit, dan harus diakui sebagian besar anggaran negara digunakan untuk keperluan militer, seperti untuk pembebasan Irian Jaya dan konfrontasi dengan Malaysia. Pada jaman Soeharto, sebetulnya anggaran pembangunan terus naik sampai tahun 90-an. Dan anggaran itu dipakai untuk infrastruktur jalan dan jembatan, listrik, transmigrasi dan pendidikan. Tapi kalau dibandingkan dengan Muangthai, Malaysia, keadaan di Indonesia, menurut dia, masih kurang baik. Juga masih ada perbedaan tingkat kesehatan. Masih jauh lebih baik di Jawa, Bali, dan daerah perkotaan, daripada di Indonesia bagian Timur.
Walau ia tak membuat semacam kesimpulan, dari penuturannya tampak benar bahwa dua hal yang diwariskan oleh pemerintah penjajahan –yang baik mau pun yang buruk-- ternyata masih sangat menentukan hingga dewasa ini. Infrastruktur semisal jalan kereta api, mungkin tak banyak bertambah dari apa yang dulu ditinggalkan Belanda. Kesenjangan Jawa dan luar Jawa, Indonesia wilayah Barat dan Timur, juga masih terus berlangsung bahkan seakan dilanggengkan.
Ini akan sangat ironis bila kita membayangkan bahwa kita telah merdeka 58 tahun. Dan, akan lebih ironis lagi manakala kita kini telah disibukkan dengan liberalisasi ekonomi, persaingan bebas di tingkat global dan makin pragmatisnya pendekatan-pendekatan pemerintahan di berbagai negara dunia ketiga dalam mengelola perekonomiannya. Salah satu contoh, dalam sebuah diskusi tentang RAPBN yang diselenggarakan oleh Masyarakat Profesional Madani, di Jakarta belum lama ini, ada suatu pendapat yang mengatakan, buat apa kita disibukkan mengkritisi RAPBN. Toh RAPBN itu tidak lagi signifikan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut pendapat itu, RAPBN tak lebih hanya sebagai catatan pembukuan pemerintah dalam membiayai kegiatannya. Jadi, kata pendapat tadi, tidak usah lah sibuk membicarakan RAPBN.
Jika kita mengacu pada hipotesis yang diajukan Booth, bahwa infrastruktur dan pendidikan merupakan faktor historis (yang berarti sangat berjangka panjang) yang sangat menentukan, maka akan sangat nyata lah bahwa membicarakan RAPBN itu sangat penting. Bagaimana pun, penyediaan infrastruktur mau pun pendidikan masih akan sangat tergantung pada pemerintah. Bagaimana RAPBN disusun dalam menyikapi hal ini merupakan soal yang harus dicermati. Bukan hanya mencermati besaran-besarannya (sudah barang tentu dana untuk itu tak semuanya harus ditanggung pemerintah) tetapi yang lebih penting apakah RAPBN yang disusun memberikan sinyal yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada.
Pandangan yang kritis terhadap bagaimana Pemerintah merencanakan dan mengelola anggarannya akan makin perlu bila Anne Booth benar, bahwa kesenjangan yang terjadi saat ini adalah merupakan warisan penjajahan, yang berarti kita masih juga belum berhasil mengatasinya. Persoalan kesenjangan, dimana pun bahkan di negara yang paling liberal, tak dapat diserahkan begitu saja pada pasar, tetapi ia mengharuskan campur tangan pemerintah. Dan, karena itu lah betapa menyedihkan bila ada yang berpendapat RAPBN tak perlu dikritisi lagi.
(Editorial WartaBisnis edisi 17/I/15-30 September 2003)
(c) Eben Ezer Siadari
No comments:
Post a Comment