Mereka bekerja mandiri dan tak banyak tergantung kepada majikan. Mereka jadi pahlawan di tengah terbatasnya daya tampung lapangan kerja.
Sudah sangat tua sebenarnya topik perbincangan tentang hubungan pekerjaan dengan kekayaan. Namun tampaknya selalu ada sisinya yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Tak mengherankan jika buku-buku tentang itu banyak jadi bestseller. Di kita, di Indonesia, pemahaman tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan itu tampaknya berkembang sesuai dengan perkembangan perekonomian. Jika kita membaca buku-buku sejarah zaman Belanda dulu, ada semacam pandangan yang umum bahwa untuk bisa hidup mapan (termasuk menjadi kaya) jalan yang paling mulus adalah dengan menjadi pegawai pemerintahan. Memang pada waktu itu sudah banyak saudagar yang kaya, tetapi jalan semacam itu tampaknya dianggap kurang terhormat. pemerintah
Lalu ketika di zaman Orde Baru perekonomian mulai tumbuh, alternatif jalan menjadi orang kaya makin bertambah. Orang mulai memperhitungkan selain menjadi pekerja di luar pemerintahan (swasta nasional, asing mau pun BUMN) bisa juga menjadi kaya. Dan pada puncak deregulasi ekonomi dua dekade lalu boleh dikatakan merupakan momen paling mengesankan bagi sektor swasta di Indonesia. Pada saat itu orang bahkan sudah mulai berani mencemooh, bahwa bila tetap ingin jadi birokrat, siap-siap lah untuk melarat (pada kenyataannya tidak selalu benar). Lulusan terbaik dari perguruan tinggi top lebih memilih bekerja di sektor swasta daripada di pemerintahan. Apalagi ketika itu CEO profesional yang berhasil menjadi simbol-simbol pekerja kaya, seperti Tanri Abeng, T.P. Rachmat, Robby Djohan banyak bermunculan. Dan semangat menjadi ‘orang swasta’ makin menggebu.
Sekarang, pandangan-pandangan tentang hubungan pekerjaan dan kekayaan berkembang lebih maju lagi. Misalnya, kini makin populer pandangan bahwa tak ada jaminan Anda akan kaya sepanjang Anda masih menjadi orang ‘kantoran.’ Sepanjang Anda masih bekerja untuk orang lain (entah itu bos Anda atau yang punya perusahaan), Anda masih akan tergantung secara finansial. Bagaimana kalau tiba-tiba perusahaan Anda bangkrut? Bagaimana jika Anda dipecat? Siapa yang membayar tagihan kartu kredit Anda? Mengapa Anda tidak mulai berfikir terbebas dari ‘menghamba’ kepada orang lain?. Dan, seterusnya, dengan gaya memikat, para penganjur paham semacam ini (antara lain Robert T. Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad, yang sangat terkenal dan dijadikan idola) bisa menggetarkan semangat para pengagumnya.
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang provokatif, para penulis itu memotivasi orang untuk memikirkan ulang hubungan pekerjaan dan kekayaan. Memang banyak kritik terhadap cara Kiyosaki membangun argumentasinya, terutama ketika ia seolah-olah mengesankan sekolah (dan pendidikan) itu tak penting. Namun, pada satu titik, kita memang diajak untuk lebih terbuka melihat alternatif. Kita diajak untuk menjelajahi hal-hal yang dulu tak terfikirkan dan mencoba mengajak kita beranjak dari jalan-jalan lama yang sudah usang dan telah dieksploitasi berlebihan.
Pemahaman semacam ini telah ikut menjadi legitimasi lahirnya jenis-jenis pekerjaan yang bersifat independen, tak begitu terikat pada suatu institusi bisnis. Sebagai profesi ia kelihatan tidak mapan, apalagi bila dilihat dari kriteria profesi klasik. Namun ia menjanjikan penghasilan tak kalah dari berbagai jalan mapan yang sudah ada. Dewasa ini, misalnya, kita makin banyak menyaksikan jenis-jenis pekerjaan yang bersifat mandiri, menekankan pentingnya motivasi, inisiatif, improvisasi dan disiplin pribadi.
Ke dalam pekerjaan-pekerjaan seperti ini lah termasuk para pemasar, entah itu dengan sebutan ‘konsultan’, agen, marketing associate, crown agency, dan lain sebagainya, seperti yang dapat Anda simak dari tokoh-tokoh dalam liputan sampul kali ini. Mereka boleh dikatakan wakil dari orang-orang yang bukan lagi mau dijebak pemikiran usang tentang jalan menuju kekayaan. Mereka bekerja dengan inisiatif, gaya dan solusi masing-masing. “Seratus kali Anda melakukan transaksi, seratus problem yang Anda hadapi. Dan, Anda harus menemukan solusinya,” begitu seorang broker properti menceritakan pekerjaannya. Dan, ia sukses, penghasilannya ratusan juta per tahun, penghasilan yang membutuhkan waktu puluhan tahun bagi seorang pegawai negeri yang jujur untuk mencapainya.
Kehadiran pekerjaan-pekerjaan yang demikian tak boleh pula dilepas dari keadaan ekonomi. Bagaimana pun pekerjaan-pekerjaan mapan terbatas daya tampungnya. Sementara dinamika ekonomi pada sisi lain membutuhkan berbagai jasa dan ketrampilan ‘baru’ atau ketrampilan lama dalam kemasan baru. Dengan kata lain, ia tak hanya sekadar katup pengaman dari keterbatasan daya tampung lapangan kerja, ia juga memberi pengertian baru tentang dunia kerja yang berubah.
Tentu banyak diantara yang menerjuninya pada awalnya bukan karena memilih, tetapi digiring oleh keadaan. Namun mereka yang bertahan, akhirnya menemukan berbagai nilai-nilai kebaikan pada pekerjaannya. Dan, karena itu mereka bersemangat melihara dan menjaga profesinya yang ‘baru’ itu.
Di titik ini lah tampaknya para kampiun pemasaran ini layak mendapat dukungan. Mereka patut didukung untuk terus menggali nilai-nilai kebaikan dari pekerjaan mereka, memapankannya di lingkungan mereka dan kemudian mensosialisasikannya kepada publik. Dengan demikian profesi yang dianggap baru itu pada waktunya juga sama terhormatnya (dalam persepsi kebanyakan orang) dengan profesi klasik lainnya.***
(Editorial WartaBisnis edisi 18/I/Oktober 2003)
(c) eben ezer siadari
No comments:
Post a Comment