Indonesia berada di peringkat ke tujuh diantara negara-negara yang berisiko tinggi terhadap serangan teroris.
Tak henti-hentinya citra Indonesia memburuk di dunia internasional. Dalam pemeringkatan yang dilakukan berbagai institusi, sudah beberapa kali negeri ini berada di posisi yang buruk. Indonesia termasuk negara teratas dalam hal korupsi. Indonesia juga berada pada posisi yang jelek dalam hal daya saing global. Selain itu Indonesia tak dapat dibanggakan dalam indeks pembangunan manusia. Anda mungkin tak perlu pula heran jika dalam hal terorisme, Indonesia pun kini menempati posisi yang menyedihkan.
Baru-baru ini majalah The Economist melansir pemeringkatan yang dilakukan oleh World Market Research Centre. Institusi ini menyusun peringkat berbagai negara di dunia berdasarkan indeks terorisme global, yang merupakan cerminan dari tinggi rendahnya risiko terorisme di suatu negara. Dan, Indonesia berada di urutan ketujuh, satu tingkat di bawah Afganistan. Dengan kisaran skor hampir mencapai 80, Indonesia tergolong sebagai negara berisiko tinggi (rentang skor 65,5-85), sekelompok dengan Pakistan (peringkat ketiga), Amerika Serikat (peringkat keempat) Filipina (peringkat kelima) dan Afganistan. Kolombia dan Israel berada di peringkat pertama dan kedua sekaligus merupakan negara yang dianggap berisiko secara ekstrim. Negara paling aman dari serangan terorisme, menurut pemeringkatan itu adalah Korea Utara. (lihat tabel)
Sudah barang tentu tingginya risiko terorisme tak selalu berkait dengan buruknya perekonomian suatu negara atau rendahnya kemampuan pemerintahnya mengendalikan keamanan. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Barangkali diantaranya adalah seberapa besar eksposur investasi asing dari negara-negara yang dianggap musuh utama teroris di negara dimaksud. Amerika Serikat sebagai contoh, adalah negara yang selama ini oleh teroris dianggap sebagai musuh kelas wahid. Tak mengherankan bila peringkatnya berdasarkan indeks terorisme global itu cukup tinggi.
Baru-baru ini Ketua Kadin, Aburizal Bakrie mengatakan dunia bisnis di Indonesia makin terbiasa menghadapi aksi-aksi terorisme. Itu sebabnya, menurut dia, Bom Marriott tidak menimbulkan kepanikan di kalangan bisnis. Maka ia juga yakin aksi terorisme itu tidak akan memberi dampak berkepanjangan terhadap perekonomian.
Barangkali kalangan dunia bisnis di Tanah Air yang tumbuh dan dibesarkan di dalam negeri memang dengan sendirinya dapat memahami apa yang terjadi. Itu sebabnya mereka tidak panik. Juga para investor asing yang sudah puluhan tahun berada di sini, sudah dapat mengerti dan mengukur seberapa jauh risiko berbisnis di Indonesia akibat aksi-aksi pengeboman tersebut.
Namun, bagaimana dengan para investor baru yang belum banyak tahu tentang Indonesia tetapi telah memasukkan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasinya? Apakah mereka dapat yakin begitu saja oleh pernyataan-pernyataan pengusaha dan pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa aksi terorisme tidak berpengaruh besar terhadap iklim investasi di sini? Jelas, ini masih menjadi tanda tanya. Dan, bila mereka membaca indeks terorisme global seperti yang dihasilkan oleh World Market Research Centre itu, pastilah akan mempunyai pengaruh besar terhadap keputusan yang mereka ambil.
Maka ada baiknya kita tidak menganggap enteng risiko bisnis pasca Bom Marriott ini. Apalagi setelah itu suhu politik diperkirakan akan memanas, terutama menjelang Pemilu. Berbagai dinamika politik dan sosial bisa menjurus kepada gangguan keamanan yang selanjutnya meningkatkan risiko berbisnis di Tanah Air. Ini bisa menjadi ganjalan di tengah upaya Pemerintah menarik investasi asing. Padahal, tahun ini sudah pula dicanangkan sebagai tahun investasi.
Selain upaya keras dari pihak berwewenang untuk mengusut biang keladi terorisme di Indonesia dan mencegah kemungkinan terulangnya aksi-aksi serupa, mungkin diperlukan berbagai langkah antisipasi lain. Dari dunia asuransi, misalnya, terbetik kabar bahwa produk asuransi untuk melindungi risiko aksi terorisme ternyata belum banyak tersedia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya kapasitas industri asuransi untuk menyediakannya. Dan, ini bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara maju. Itu dari sisi pasok. Dari sisi permintaan, produk-produk semacam itu juga tampaknya belum populer. Dunia bisnis kita ditengarai belum terlalu peduli dan terdorong untuk mengasuransikan bisnisnya dari kemungkinan-kemungkinan tak terduga seperti aksi terorisme. Sebagai contoh, asuransi gempa bumi dan bencana banjir saja masih kurang populer, padahal gempa bumi dan banjir adalah fenomena alam yang sangat sering terjadi di Indonesia.
Kita tentu berharap agar aksi-aksi terorisme bisa diakhiri. Namun, tak ada salahnya jika kita juga bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Barangkali sudah waktunya pemerintah dan dunia usaha duduk bersama-sama untuk merumuskan langkah, setidaknya berjaga-jaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan terburuk tersebut.
(c) Eben Ezer Siadari
No comments:
Post a Comment