Seratus perusahaan berusia lebih dari setengah abad bisa bercerita banyak tentang sejarah bisnis di Tanah Air.
Negeri ini jelas tak hanya dibangun oleh para pahlawan, tentara, birokrat atau politisi. Ketika Soekarno memproklamasikan kemerdekaan 58 tahun lalu, Jakarta yang berdiri ratusan tahun sebelumnya sudah menjadi pusat dagang. Sejumlah perusahaan telah berdiri dan berkiprah. Mengincar pasar dalam negeri mau pun dengan melanglang buana.
Banyak diantara perusahaan itu ternyata hingga kini masih bertahan. Barangkali ada nada sentimentil bila perusahaan-perusahaan itu kita sebut sebagai saksi sejarah. Tetapi mereka memang menjadi saksi sejarah. Perusahaan-perusahaan itu, dengan kinerja yang baik, sedang-sedang atau buruk pun, sebagai organisasi telah mengalami pasang surut alam Indonesia merdeka. Dan, mereka membuktikan mampu bertahan menghadapi berbagai perubahan.
Entah sejak kapan dimulai, kita telah lama mentradisikan peringataan ulang tahun kemerdekaan sebagai momen melihat ke belakang. Namun seringkali kita hanya menggali kembali ingatan pada berbagai peristiwa di panggung politik mau pun panggung pertempuran. Tetapi bagaimana dengan panggung bisnis? Adakah ia sebenarnya punya cerita?
Dalam konteks ini, Liputan Utama WartaBisnis kali ini yang menampilkan 100 perusahaan berusia 50 tahun atau lebih, boleh lah dipandang sebagai pelengkap dari tradisi itu. Sebab, seperti yang telah dikemukakan tadi, banyak diantara perusahaan ini sebenarnya telah menjadi saksi sejarah bahkan mungkin menjadi penggerak roda ekonomi, jauh sebelum Republik ini berdiri. Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah ada sejak 1895, mungkin hanya satu dari banyak contoh. Perusahaan ini dan banyak lagi perusahaan lain, bisa menjadi sumber cerita bagaimana sebenarnya dunia bisnis berjalan sepanjang sejarah Indonesia berdiri, dari awal hingga kini.
Di Amerika Serikat beberapa tahun lalu melesat apa yang disebut ‘ekonomi baru.’ Ditandai oleh bermunculnya banyak sekali perusahaan-perusahaan baru yang mengklaim punya model bisnis yang unik, mereka pada umumnya menolak untuk menoleh ke belakang. Resep sukses, katanya, kini tak harus berakar pada model-model bisnis yang lazim. Justru resep sukses itu, kata mereka lagi, seringkali samasekali tanpa preseden. Belajar kepada masa lalu dianggap sebagai hal yang ketinggalan zaman.
Terbukti kemudian, banyak yang berhasil tetapi lebih banyak lagi yang jatuh. Statistik terbaru mengatakan hanya 20% dari perusahaan-perusahaan baru yang berhasil melewati usia satu tahun. Perusahaan dotcom berjatuhan, sementara yang mencoba bangkit akhirnya merevisi model bisnisnya, kata lain untuk mengatakan kembali kepada prinsip-prinsip old economy, ekonomi yang sesungguhnya.
Menoleh kembali ke masa silam, lewat 100 perusahaan bersejarah yang tampil pada nomor ini, tentu bukan berarti mengajak Anda memuja masa lalu. Juga bukan berarti panjangnya usia satu-satunya menjadi ukuran ketangguhan. Banyak dari perusahaan yang ada dalam daftar ini, kerap kali menjadi cemooh. Bahkan sebagian besar diantaranya adalah BUMN, perusahaan yang selama ini menjadi sorotan sinis.
Namun, dari mereka setidaknya ada banyak hal bisa ditarik. Tentang hal-hal apa yang membuat mereka bertahan. Tentang lingkungan bisnis dan politik mana yang telah mewarnai perjalanan hidup negeri ini. Lalu bagaimana dunia bisnis beradaptasi terhadapnya. Kita mungkin memerlukan lebih banyak lagi pakar sejarah bisnis. Dan, jika dulu Jas Merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, menjadi jargon yang populer di dunia politik, ada baiknya dunia bisnis di Tanah Air juga mempelajari sejarahnya sendiri. Sebab dengan demikian lah para saudagar di negeri ini dapat melihat kekuatan dan kekurangannya. ***
No comments:
Post a Comment