Friday

Yang Baru di Tahun 2004

Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal yang tak kan sama lagi. Mari memberi kesempatan kepada mereka yang lebih muda.


Banyak, banyak, baaaaaanyak. Suara Robby Djohan terdengar setengah berteriak ketika melontarkan kata-kata itu. Kata banyak itu muncul berkali-kali ketika majalah ini bertanya kepada bankir yang disegani banyak kalangan itu tentang apakah memang benar banyak bankir muda kita yang siap menggantikan bankir-bankir senior. Pertanyaan itu dikemukakan sebab sebelumnya Robby berkata bahwa sudah waktunya bankir-bankir senior memberikan kesempatan kepada bankir-bankir muda untuk tampil sebagai pemimpin. Menurut dia, dunia perbankan, dan juga bidang-bidang lain di Tanah Air, kini memerlukan paradigma baru, sebuah kehidupan baru dengan lokomotif para anak-anak muda. Maka berikan lah anak-anak muda kesempatan, kata dia. “Baaaaaaanyak sekali bankir muda kita yang siap. Saya bisa kasih tunjuk, ribuan jumlahnya,” kata Robby.

Sore harinya, dalam acara peluncuran Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) kembali soal kesempatan bagi orang muda ini menjadi topik pembicaraan. Kali ini datang dari Rizal Ramli, ekonom yang didaulat menyampaikan pidato kunci (keynote speech) pada acara itu. Rizal Ramli membuat perbandingan bahwa 20 tahun lalu, jika ada seorang ahli ekonomi yang menyandang advanced degree dari luar negeri biasanya ia akan memilih berkarier di pemerintahan atau perusahaan besar. Sedikit atau langka yang berani memilih menjadi analis.

Sekarang keadaannya berbeda. Makin banyak lulusan dalam dan luar negeri yang antusias menekuni profesi itu. Dewasa ini makin diakui pentingnya peran para analis dalam menentukan opini publik untuk menyikapi berbagai keadaan ekonomi. Dan, ternyata anak-anak muda lah yang paling dominan di profesi ini. Rizal Ramli menekankan memang sudah waktunya diberi kesempatan lebih besar kepada pandangan-pandangan lebih jernih dan lebih tajam. “Sudah waktunya kita ‘orang-orang tua’ tahu diri,” kata Rizal dalam pengantar pidato kuncinya.

Barangkali seperti sudah cerita klasik, dimana-mana, sejak dulu dan pada segala situasi, anak-anak muda menjadi tumpuan harapan. Seperti sudah klasik pula, selalu diperlukan suara-suara penggugah, agar para senior tahu diri, tersadar tentang betapa panjangnya ‘antrian’ di belakang mereka. Robby Djohan dan Rizal Ramli tampaknya menjadi lonceng penggugah untuk mengingatkan bahwa ada banyak sekali anak-anak muda kita, dengan keringat dan inspirasi mereka tengah menyusun bata demi bata karier mereka. Tetapi, seperti sinyalemen Robby, kesempatan itu seringkali sulit diraih.

Sebenarnya memasuki 2004 nanti anak-anak muda menyimpan segudang optimisme. Pada sebuah forum yang diselenggarakan oleh Indonesia Society of Investment Professionals (ISIP), beberapa pekan lalu, misalnya, para analis-analis muda, antara lain Rizka Baely, managing director Corfina Capital, meyakini perekonomian Indonesia kini sedang memasuki tahapan yang baru. Dunia perbankan, misalnya, mereka percayai tak lagi sama dengan masa sebelum krisis. Karena itu pula para analis itu percaya krisis ekonomi yang dipicu krisis perbankan (seperti dulu) sulit terjadi lagi. Platform perbankan kita, kata mereka, kini sudah berbeda. Sebaran kepemilikan kini lebih luas (walau pun sebagian besar dikuasai oleh investor asing). Bank sentral juga sudah independen sementara beragam institusi pengawas, termasuk pengawas persaingan sudah berdiri pula.

Tetapi kemudian pandangan kritis diantara mereka sendiri kembali mempertanyakan apakah platform baru itu sudah pula diisi oleh aktor-aktor baru dengan paradigma yang baru pula. Bukan oleh aktor lama dengan gaya atau bungkus baru, seperti yang dicurigai selama ini. Mencuatnya kasus di Bank BNI, telah memunculkan sedikit kekhawatiran jangan-jangan platform baru yang kita sebut-sebut itu ternyata masih rentan.

Dan, di tengah kita menumpukan harapan pada anak-anak muda, kita makin terperanjat ketika membaca dua kisah anak pejabat tinggi negara yang belakangan ini mendapat sorotan media massa. Ada yang mendapat sorotan karena dipertanyakannya kemungkinan pengistimewaan perlakuan padanya dalam sebuah proyek yang melibatkan aset negara. Satu sorotan lagi muncul karena dugaan adanya kemungkinan penipuan yang dilakukan anak pejabat.

Dua kisah itu (yang klasik pula) tak boleh tidak akan memunculkan rasa geram. Di satu sisi kita membaca tentang sinyalemen sulitnya bankir-bankir muda profesional mendapatkan kesempatan. Di sisi lain kita mendengar sinyalemen tentang anak-anak pejabat yang mendapat jalur kilat dan khusus. Di satu sisi ada optimisme tentang platform dan paradigma baru. Di sisi lain kita justru dikejutkan oleh masih berlanjutnya modus-modus lama yang ingin kita tinggalkan.

Di masa lalu, kita acap dan cenderung mendiamkan hal seperti ini. Sebagian mungkin karena ‘platform lama’ yang terlalu kuat untuk dirobohkan karena sudah mengakar demikian lama. Barangkali pula disebabkan masih lemahnya pengorganisasian kesadaran mau pun pemahaman akan apa yang terjadi di kalangan publik karena minimnya transparansi dan komunikasi. Sebagian lagi, karena sikap pasrah yang berlebihan, seakan semuanya akan kembali baik seperti sediakala, seperti ‘badai yang pasti berlalu.’

Tentu persoalan yang kita hadapi bukan sekadar badai, fenomena alam yang diluar kendali intelektualitas dan organisasi kita. Barangkali analogi yang lebih tepat untuk itu adalah virus kanker ganas, yang berkembang dengan cepat dan mematikan bila tanpa tindakan apa-apa. Dan, kini mestinya kita punya kesempatan besar untuk memperbaiki diri. Optimisme Robby tentang berlimpahnya anak-anak muda yang hebat dan keyakinan tentang adanya platform baru yang lebih segar, seharusnya menjadi modal penting untuk merumuskan langkah kongkrit. Bahkan rumusan-rumusan langkah itu barangkali sudah tersedia. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengerjakannya atau adakah keberanian menjalankannya.

Maka ketika penghujung tahun 2004 tiba, saat mana sebagian besar kita mungkin akan mengambil cuti panjang dan berfikir ulang tentang banyak hal yang telah dan belum kita capai, sekali lagi kita belum bisa rileks. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum rampung. Jika Robby Djohan bicara tentang perlunya sebuah paradigma baru di segala bidang dan segala tingkatan, dan paradigma itu, menurut dia, hanya dapat dirumuskan dan dikerjakan oleh anak-anak muda, semestinya kita sudah akan dapat melakukan sesuatu sekarang dan segera. Mari kita pastikan, di tahun 2004 banyak hal tak akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya.***

(Editorial WartaBisnis edisi 21/I/ 15 Desember 2003)
(c) eben ezer siadari

No comments: