Friday

Mandor

Argumentasi bahwa IMF masih diperlukan untuk memandori program ekonomi, terasa sangat tak relevan, di tengah bangkitnya semangat nasionalisme ekonomi.



Kata mandor jadi agak populer belakangan ini. Ia digunakan untuk menggambarkan peranan IMF dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi pemerintah, khususnya yang tertuang dalam letter of intent. Salah satu alasan yang diajukan sementara kalangan untuk tetap mempertahankan kerjasama dengan IMF adalah pentingnya kredibilitas dan kompetensi lembaga itu dalam mengawasi pelaksanaan program-program ekonomi. Kalangan ini menganggap, lembaga ini dapat memainkan peran mandor itu dengan baik karena mereka terbebas dari tarik ulur kepentingan, kredibilitasnya tinggi di mata pasar internasional, dan yang lebih penting lagi, mereka mempunyai kompetensi.

Menurut pandangan ini, salah satu yang mengkhawatirkan bila IMF tak lagi dilibatkan adalah kemungkinan hilangnya kredibilitas kebijakan ekonomi itu sendiri. Dalam bahasa yang lebih keren, ini disebut sebagai credibility gap (kesenjangan kredibilitas)

Tim exit strategy memang telah melansir enam opsi pasca program IMF. Jika ditilik dari keseluruhan opsi, empat diantaranya menyatakan adanya peranan IMF, dengan derajat yang beragam. Empat opsi itu, pertama, adalah apa yang disebut Extended Fund Facility. Ini adalah kontrak kerjasama seperti yang selama ini dilakukan. Kedua, Stand By Arrangement, dimana IMF memberikan pinjaman siaga yang bisa digunakan. Ketiga, Precautionary Arrangement, IMF memberikan pinjaman berjaga-jaga, tetapi sejak awal ditekankan tak dapat digunakan. Keempat, Post Program Monitoring, dimana IMF melakukan monitoring dan pemerintah membayar utang sesuai dengan jadwal. Tiga yang disebut pertama mengharuskan adanya Letter of Intent, sementara yang terakhir tidak. Dua opsi lain yang tak menghadirkan IMF lagi sama sekali adalah pertama, pemerintah mempercepat membayar utang pada IMF sehingga yang tersisa adalah utang di bawah atau sama dengan kuota, dan kedua, membayar lunas keseluruhan utang sekaligus.

Sebenarnya sedikit aneh jika tim exit strategy masih memasukkan opsi-opsi yang mengasumsikan diteruskannya program kerjasama dengan IMF. Jika menilik sedikit ke belakang, dan menelusuri kembali diskusi yang berkembang sehingga MPR mengamanatkan pengakhiran kerjasama dengan IMF tempo hari, maka sama seperti namanya, tim exit strategy seharusnya bertugas untuk merumuskan program-program ekonomi tanpa peran IMF lagi. Dengan demikian sebenarnya hanya dua opsi yang disebut terakhir lah yang benar-benar dapat dikatakan sebagai exit strategy, yakni pembayaran utang yang dipercepat atau pembayaran lunas sekaligus.

Jika kini wacana berkembang adalah adalah enam opsi, di sini argumentasi yang mengatakan diperlukannya IMF sebagai mandor menjadi penjelas. Ini secara gamblang menunjukkan betapa para teknokrat pengambil keputusan itu masih terkesan bias pada kepentingan IMF. Dan, ironisnya, argumentasi itu pula lah yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai titik lemah. Ini menjadi gambaran rendahnya kepercayaan diri mereka untuk menjadi mandor di negeri sendiri, seperti dikemukakan oleh Menteri Perencanaan Negara, Kwik Kian Gie.

Argumentasi sebagai mandor itu pula menjadi cermin masih kerapnya para teknokrat ekonomi mengenakan ‘kacamata kuda’ untuk hanya dikungkung oleh paradigma tertentu dan kurang terbuka terhadap paradigma lain. Argumentasi yang menganggap IMF lah pilihan paling tepat untuk menjadi mandor negeri ini mengabaikan fakta makin meningkatnya semangat nasionalisme ekonomi tak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan bahkan Cina. Nasionalisme itu tumbuh karena pengalaman global menunjukkan makin terdesaknya negara-negara dunia ketiga oleh kepentingan negara besar, yang biasanya ‘bersembunyi’ di balik konsep free trade mau pun isu globalisasi. Dan, negara-negara tetangga itu berhasil justru dengan bersikap kukuh memperjuangkan kepentingan nasionalnya.

Di Indonesia seringkali ada anggapan bahwa nasionalisme ekonomi hanya populer di kalangan akar rumput, lebih didorong oleh sentimen anti Barat dan biasanya hanya digunakan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mengegolkan agendanya. Anggapan semacam ini tampaknya makin tidak relevan karena nasionalisme itu kini dengan mudah dapat ditemukan pada sikap kalangan terpelajar, elit professional, intelektual mau pun entrepreneur. Robby Djohan, mantan CEO Bank Niaga dan Bank Mandiri, dalam bukunya yang terbit baru-baru ini, Turnaround, Kiat-kiat Restrukturisasi, misalnya, menunjukkan semangat nasionalismenya yang tinggi, sambil menceritakan kejengkelannya ketika berhadapan dengan para petinggi IMF tempo hari.

Maka di tengah realitas yang demikian, tampaknya adalah lebih baik untuk menyerahkan urusan memandori ini kepada negeri ini sendiri. Pengalaman selama lima tahun terakhir menunjukkan, mandor IMF juga tak sepenuhnya berhasil, walau pun memang tak semua kesalahan patut ditimpakan kepada mereka. Sudah saatnya kita mencoba.

(c) Eben Ezer Siadari

No comments: