Bisnis di tahun 2004 masih berorientasi jangka pendek. Arah perekonomian jangka panjang banyak bergantung pada Pemerintah dan para kontestan Pemilu.
Dari ekonom profesional hingga paranormal, analis pasar hingga pengusaha besar, pengelola dana investasi raksasa hingga entrepreneur kelas menengah, kami minta bicara tentang bagaimana sebaiknya menjalankan bisnis tahun ini. Dan, apa boleh buat, sebagian besar masih bicara seperti John Maynard Keynes di tahun 1930-an, bahwa in the long run we are all death, bahwa di dalam jangka panjang kita semua akan mati. Dengan kata lain, tahun 2004 belum waktunya berfikir tentang rencana jangka panjang. Pusat perhatian masih pada bagaimana memanfaatkan momentum jangka pendek, bagaimana agar bisa selamat, a matter of survival.
Dengar lah saran Purdie E. Chandra, entrepreneur yang sukses membangun grup Primagama, kelompok yang jaringan bimbingan belajarnya sudah merambah sejumlah pulau di Nusantara. Dengar juga ramalan paranormal Teddy Agustino, ketua Lembaga Pengembangan Paranormal Indonesia. Atau simak analisis Aviliani, ekonom dari INDEF. Semuanya senada: ekonomi tahun 2004 masih digerakkan oleh bisnis bersiklus jangka pendek, investasi yang lebih mengutamakan pengembalian hasil yang cepat. Entah itu bisnis seperti rumah makan, jual-beli sepeda motor atau jasa perdagangan lainnya.
Para analis di Pasar Modal memang sudah mulai berharap bahwa para pemilik uang yang mengincar investasi portofolio akan lebih realistis tahun 2004. Para pemilik uang itu, menurut mereka, tak mungkin lagi bisa mengharapkan return gila-gilaan dengan risiko yang kecil, seperti ketika bunga deposito membubung di tahun 1997-1998. Melainkan sudah harus menyadari bahwa hasil yang besar mengandung risiko besar pula. Harus lebih cerdik memilih instrumen investasi, mengolahnya, mengkombinasikannya dan memperhitungkan hasil dan risikonya. Harus lebih memikirkan hasil jangka panjangnya ketimbang jangka pendeknya. Namun, suara itu tampaknya masih lebih bernada harapan ketimbang kenyataan.
Masalahnya adalah tahun 2004 mengandung faktor ketidakpastian yang cukup signifikan. Tahun 2003 memang telah lewat dengan perekonomian yang relatif stabil di tingkat pertumbuhan ekonomi yang tak terlalu tinggi. Namun penyelenggaraan Pemilu berikut aktivitas sebelum dan sesudahnya ditengarai akan mendatangkan banyak tanda tanya dan sikap menahan diri dari kaum pebisnis. Masih banyak pertanyaan yang tidak terjawab dan memang tidak akan terjawab sebelum hasil Pemilu tuntas diumumkan. Misalnya, siapa yang bakal menjadi RI1 dan RI2, bagaimana arah kebijakan ekonominya, apakah akan bersahabat dengan dunia bisnis atau tidak. Hanya jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu lah yang bisa menjadi landasan apakah sebuah investasi berjangka panjang dapat dibuat.
Maka tak mengherankan bila sebagian besar saran untuk menjalankan bisnis pada 2004 bersifat jangka pendek. Hermawan Kartajaya, Guru Pemasaran yang selalu optimistis itu, misalnya, melihat penyelenggaraan Pemilu bukan sebagai ancaman, melainkan peluang bisnis. Ia mencontohkan, dana yang berputar berkaitan dengan penyelenggaran Pesta Demokrasi itu diperkirakan berkisar Rp20 triliun hingga Rp40 triliun. Ini bukan stimulus yang kecil bagi sebuah perekonomian Indonesia, yang kapasitas Produk Domestik Brutonya saja baru mencapai Rp…. Triliun. Dan, harap dicatat, kata beliau, sebagian besar dana itu akan mengalir ke kalangan akar rumput, kalangan yang oleh para kontestan Pemilu akan dibujuk, diiming-imingi dan ditarik simpatinya. Maka saran Hermawan kepada para pebisnis: coba jajaki lah kebutuhan dan selera akar rumput itu. Dan bila Anda belum sempat berfikir, Hermawan sudah mempunyai sebagian jawabannya: kalangan akar rumput itu adalah orang-orang yang merindukan kemewahan juga seperti kalangan atas. Maka buat lah produk yang terkesan mewah tetapi massal, dengan kualitas baik tetapi harganya terjangkau.
Orientasi yang lebih bersifat jangka pendek itu telah muncul di tahun 2003 dan tampaknya makin mewabah di tahun 2004, seperti yang ditegarai Aviliani. Akan banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, tetapi sebetulnya adalah perdagangan. Sebagai contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdayatahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi pula.
Tentu saja para entrepreneur di mana pun selalu akan berusaha melihat semua keadaan sebagai peluang. Mereka akan mencari celah, sesempit apa pun, untuk tetap bisa selamat, syukur-syukur tumbuh dengan loncatan besar. Dan, tak ada masalah dengan cara pandang yang demikian. Namun, di sisi lain, harus ada yang tetap memikirkan kemana arah perekonomian akan dituju sehingga kita tak kembali lagi ke tahap pembangunan masa lampau. Bukan kah para ekonom kita dulu begitu getolnya mengeritik pengusaha kita sebagai pedagang belaka, belum menjadi para industrialis sejati?
Salah satu yang paling bertanggungjawab akan hal ini tentu lah para pengambil kebijakan ekonomi di kalangan pemerintah. Di tengah ketidakpastian nasib (masih terpakai atau tidak) mereka harus tetap memusatkan perhatian pada merumuskan dan menjalankan kebijakan ekonomi yang tidak semata berorientasi jangka pendek. Baru-baru ini, misalnya, Pemerintah mengatakan tahun 2004 akan merupakan tahun pembangunan infrastruktur. Ini sebuah sinyal yang baik, namun bagaimana rinciannya jelas lah belum banyak terbaca untuk dijadikan bahan kajian oleh para entrepreneur.
Pihak yang tak kalah besar tanggung jawabnya dalam hal ini adalah para kontestan Pemilu yang secara formal mau pun faktual akan menjadi pemenang Pemilu dan mengendalikan Pemerintahan kelak. Tampaknya mereka sejak awal sudah harus pula dengan terbuka dan tanpa retorika mengemukakan platform ekonomi jika mereka berkuasa kelak. Syukur-syukur jika platform yang satu dan lainnya tidak berbeda secara ekstrim sehingga akan memudahkan para entrepreneur memprediksi kebijakan ekonomi macam apa yang akan mereka jalani di masa mendatang. Yang tak kalah penting, the man behind the gun tampaknya masih sangat signifikan sebagai sinyal bagi para pelaku bisnis. Karena itu, jika partai-partai sudah dengan sangat antusias mengelus-elus calon-calon presidennya, tampaknya hal yang serupa bisa juga berlaku bagi calon-calon penentu kebijakan ekonomi kelak. Nama-nama mereka sudah sepatutnya pula mengemuka sehingga pasar dapat lebih cepat membaca arah keadaan. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 22/I/Januari 2004
No comments:
Post a Comment