Fenomena deindustrialisasi ditengarai mulai terjadi. Sangat mengkhawatirkan bila ia kita biarkan.
Bulan lalu majalah ini mengangkat sinyalemen yang dilontarkan Aviliani, salah seorang ekonom dari tim Indonesia Bangkit. Aviliani menengarai adanya kecenderungan pebisnis memindahkan aktivitas usahanya dari kegiatan industri ke kegiatan perdagangan. Banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, menurut dia, sebetulnya telah berubah atau memang sebetulnya adalah aktivitas perdagangan. Ia menunjuk contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdaya tahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi.
Sejumlah media kemudian mengangkat isu ini. Para ekonom kemudian terlibat dalam wacana yang kurang lebih seperti yang dikemukakan Aviliani. Makin banyak suara yang membicarakan telah mulainya terjadi deindustrialisasi, mundurnya kegiatan industri di berbagai lapangan. Bukan karena perekonomian yang lebih maju (seperti yang terjadi di negara maju, dimana porsi sektor industri terhadap GDP menurun, digantikan oleh meningkatnya porsi sektor jasa) tetapi justru karena munculnya berbagai hambatan.
Seberapa besar dan cepat fenomena deindustrialisasi itu agaknya akan menjadi perdebatan panjang. Namun dapat dikatakan makin banyak ekonom yang meyakini deindustrialisasi itu sudah mulai. Jika tak ada jalan keluar, ia bisa berlangsung dalam skala yang makin besar yang berakibat kemunduran perekonomian: pertumbuhan ekonomi tidak stabil, pengangguran membengkak, kualitas hidup yang menurun karena kualitas pekerjaan yang juga menurun, dan banyak lagi.
Barangkali kita sudah bosan mendengar bila penyebabnya disebutkan lagi satu per satu. Namun, baiklah, tak salah untuk mengingatkannya. Yang umum ditengarai adalah makin tidak kondusifnya berinvestasi di Tanah Air, terutama berinvestasi di sektor riel. Berikut ini hanya sejumlah hal yang kerap dikeluhkan:
aturan ketenagakerjaan yang sangat pro-buruh, proses birokrasi yang makin kacau antara pemerintah pusat dan daerah, korupsi makin berat, kebijakan yang berubah-ubah dan tanpa arah, keamanan yang masih mengkhawatirkan serta yang paling dekat, ketidakpastian menjelang Pemilu.
Tampaknya perlu juga diingatkan bahwa fenomena deindustrialisasi itu bukan sekadar karena investasi asing langsung yang belum masuk seperti yang kita harapkan. Lebih mengkhawatirkan lagi karena ia juga tampaknya berlangsung pada industri-industri yang selama ini digeluti oleh pebisnis domestik. Dengan kata lain, pebisnis domestik yang sudah hafal asam-garam berbisnis di sini pun, tampaknya sudah mulai frustrasi untuk membuat rencana-rencana yang bersifat sedikit lebih panjang.
Maka hal ini perlu menjadi semacam aba-aba serius bagi semua orang, terutama mereka yang kini dan kelak menjadi penentu nasib negeri ini. Di balik gemerlapnya suasana di pusat perbelanjaan, macetnya jalanan di kota-kota besar, hingar-bingar tontotan di televisi serta ramainya pusat-pusat hiburan, jangan-jangan kita tengah merayakan sesuatu yang semu. Sesuatu yang hanya nikmat satu dan dua tahun ini tetapi setelah itu kita akan kembali kepada zaman dimana kita dulu ingin meninggalkannya.
Akan lebih mengkhawatirkan lagi bila kita menoleh ke kampus-kampus, dimana para adik-adik mahasiswa sedang merajut masa depan. Sebagian besar dari mereka pasti tengah menyusun rencana jangka panjang hidup mereka. Benar, tidak selalu harus menjadi pegawai, entah di swasta atau pun di pemerintahan. Tetapi akan menjadi bahaya besar manakala mereka keluar dari sana, menghadapi kenyataan yang jauh lebih pahit daripada kenyataan yang dihadapi oleh orang tua mereka dahulu. Lima tahun lalu kita sudah terbiasa mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai. Lima tahun mendatang, barangkali keluhan itu datang sudah dalam bentuk lain, dalam bentuk tragedi hidup yang lebih menyakitkan.
Gambarannya sudah mulai tampak saat ini. Saat-saat kita asyik melihat kemewahan yang dipertontonkan oleh layar televisi, pada waktu bersamaan pula kita bisa menyaksikan berbagai kejadian tak masuk akal. Ada orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan. Ada pengusaha yang tertipu oleh sarjana yang menjadi tentara gadungan. Terkecoh lewat telepon selular dengan iming-iming hadiah ratusan juta makin kerap terjadi. Apa yang dapat menjelaskan ini kecuali rasa putus asa yang mengaburkan orientasi hidup?
Sebagai sebuah peringatan awal, apa yang dikemukakan di sini mungkin agak terlalu berlebihan nada pesimistisnya. Terlalu dramatis penggambarannya. Namun, di tengah makin sulitnya menemukan orang --apalagi penguasa -- yang peduli pada berbagai hal yang memprihatikan itu, bahkan doomsday scenario seperti ini pun mungkin tak akan banyak menyentuh. Cukup sudah kita menganalisis masalahnya. Waktunya melakukan perubahan.***
Editorial WartaBisnis edisi 23/II/Februari 2004
No comments:
Post a Comment