Kepada Capres dan Cawapres, mari kita ajukan sejumlah pertanyaan yang membumi dan kita harapkan jawaban yang membumi pula.
Orang-orang yang berkunjung ke Rusia selalu dinasihati untuk tak lupa mengatakan Chisti Sol kepada pelayan manakala hendak memesan makanan di restoran. Arti kata itu secara harafiah adalah ‘meja yang bersih.’ Tetapi makna sesungguhnya merupakan permintaan agar sang pelayan menghidangkan makanan utama saja. Konon jika kita lupa mengucapkan kata itu, kepada kita akan disajikan serentetan makanan pembuka yang selain mahal, rasanya pun mungkin tak keruan. Artinya kita mendapatkan dua kejengkelan sekaligus: kocek terkuras dan perut mual.
Nah, kepada para calon presiden dan wakil presiden yang bakal berlaga bulan depan –seandainya mereka kita umpamakan pelayan restoran yang akan mengobati rasa lapar kita-- barangkali kita juga sejak awal sudah harus memesan ‘meja yang bersih’ itu. Kita tentu masih ingat pada gembar-gembor kampanye pada Pemilu Legislatif lalu. Barangkali karena kita tak sempat meneriakkan Chisti Sol ketika itu, kita terjebak pada banyak sekali ‘hidangan pembuka’ yang tak karuan rasanya dan mahal ongkosnya. Mulai dari ‘bunga-bunga’ rencana koalisi, platform partai hingga beraneka kriteria pemimpin yang ideal muncul gegap-gempita sebagai wacana pembuka kampanye. Pada akhirnya, kita menemukan betapa mahal dan beraneka ragamnya hidangan pembuka yang ternyata tak banyak gunanya. Sebab kemudian kita disuguhi ‘makanan utama’ yang serba pas-pasan. Terlihat dari paket-paket capres-cawapres yang menurut seorang rekan, menghadapkan kita pada keharusan memilih the best from the worst.
Maka manakala tiap capres dan cawapres berkampanye, baiklah kita meneriakkan Chisti Sol itu. "Berikan lah kepada kami solusi nyata. Tidak usah buang-buang waktu dengan janji berbunga-bunga. Juga lupakan dulu platform dengan target-target selangit. Tolong berikan pemecahan atas masalah riel di hadapan kita."
Beberapa tim sukses capres dan cawapres tampaknya memang mulai memikirkan hal-hal pragmatis semacam ini. Setidanya mereka sudah mulai memunculkan janji yang tidak muluk-muluk dan bisa dengan cukup segera kita ukur kelak. Misalnya, pekan lalu ada sebuah diskusi yang diselenggarakan LPSEUI di Jakarta, Bomer Pasaribu, salah seorang anggota tim sukses capres dari Partai Golkar, Wiranto, mengemukakan ‘janji’ yang menarik. Menurut dia, jika Wiranto terpilih perubahan paling awal yang akan segera diusahakan dengan segera adalah meningkat atau pulihnya kepercayaan para pelaku bisnis terhadap Indonesia. Apa indikatornya? Bomer menjanjikan, bila Wiranto terpilih, dalam hitungan bulan, akan segera terlihat masuknya kembali dana-dana dari para pengusaha Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri.
Ini bisa dikatakan janji cukup membumi, cukup dapat diukur dan dilihat dampaknya. Mari kita tunggu apakah janji itu akan tercapai.
Dari Tim Sukses Amien Rais, Didik J. Rachbini juga mengutarakan janji yang tidak terlalu bombastis dalam soal korupsi, tetapi justru karena itu lah menarik untuk dicermati. Menurut dia, selama ini sangat tenar julukan bahwa Indonesia sebagai negara paling korup. Ini biasanya diucapkan sembari mengutip studi lembaga-lembaga internasional, terutama dari Transparency International. Nah, menurut Didik, studi semacam itu, yang menghasilkan kesimpulan Indonesia sebagai negara terkorup, sebetulnya lebih banyak didasarkan pada persepsi kalangan usahawan di dalam dan di luar negeri tentang praktek korupsi itu sendiri. Bahwa faktanya ada korupsi memang betul, tetapi apakah separah yang dipersepsikan? Dan, apakah betul Indonesia yang terburuk, misalnya dibandingkan dengan Cina? Itu semua adalah persoalan persepsi. Obatnya, menurut Didik adalah memperkuat public relations pemerintah di kancah diplomasi dunia, dan juga di kalangan media massa internasional.
Ini juga cara pandang yang dapat dikatakan berpijak pada bumi. Cukup realistis untuk dilakukan dan tidak terlalu rumit untuk melihat hasilnya.
Sebetulnya ada satu lagi isu yang pernah dilontarkan kandidat calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang sangat relevan untuk dibahas semua Tim Sukses para capres. Dalam wawancara dengan WartaBisnis, beberapa bulan silam, tokoh yang sapaan akrabnya Ical itu berkata bagi dia tidak penting benar tingkat inflasi harus single digit , nilai tukar mata uang dipaksa menguat dan kemudian penyaluran kredit perbankan diperketat. Menurut dia, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka pengangguran dan satu-satunya jalan adalah dengan menggerakkan perekonomian domestik dengan memobilisasi dana-dana perbankan agar mengalir dengan sehat ke sektor riel.
Ini adalah sebuah isu yang strategis, nyata dan terukur. Para capres harus mempunyai pilihan yang jelas dan tidak bisa mengelak dari menjawab pertanyaan seputar ini. Sebab, semua capres telah menjanjikan akan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Pangkal soalnya adalah bagaimana caranya? Kepada para capres itu perlu ditanyakan apakah ia akan ngotot mematok tingkat inflasi single digit atau justru tak terlalu khawatir soal itu?
Barangkali jawaban dari pertanyaan ini lah yang akan segera dapat kita jadikan pembeda capres satu dengan lainnya. The Incumbent president, Megawati, telah kita saksikan kebijakan ekonominya selama ini: tingkat inflasi single digit seolah sudah jadi jimat kramat yang tidak bisa diganggu gugat. Ada pun tingkat pengangguran yang tinggi seolah menjadi prioritas selanjutnya, setelah stabilitas moneter (salah satunya dicerminkan oleh tingkat inflasi yang rendah itu).
Lalu apa jawaban para penantang? Ini lah yang kita tunggu. Para penantang, yang tentu ingin berbeda (dan memang harus berbeda) sebaiknya menjelaskan pilihannya. Apakah memang pendekatan yang bias pada stabilitas moneter itu masih layak dipertahankan? Kalau tidak, bagaimana caranya? Sekali lagi, kita harus berteriak, Chisti Sol. Berikan kami jawaban yang pasti-pasti saja. Tak usah banyak basa-basi pembuka.***
(Editorial WartaBisnis edisi 27/II/Juli 2004
No comments:
Post a Comment