Tuesday

No Politics Please

Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Maka setelah usai Pemilu, bisakah kita sekali-kali berkata, No Politics, Please?

"Jangan bicara politik di meja makan." Ini adalah konsensus yang berlaku umum di kebanyakan keluarga di Amerika Serikat. Banyak orang Indonesia, terutama yang pernah merasakan membosankannya dinamika politik di era Soeharto, tak terlalu paham. Mengapa nasihat yang terkesan tak demokratis itu justru ada di tanah tempat tumbuhnya benih demokrasi. Kita ingat, di era Orde Baru justru di meja makanlah kita bersemangat bicara tentang apa saja yang genting di negara kita. Saat itu kita punya semacam musuh atau kambing hitam bersama yang semua orang tahu siapa dia tetapi tak pernah secara terbuka diucapkan. Karena itulah berdiskusi politik di meja makan (dan ruang keluarga) mengasyikkan. Sebab di luar rumah kita tak akan pernah berani membicarakannya.

Kini katanya kita sudah menjadi negara demokratis. Orang bicara politik dimana-mana, di warung, di lapangan bola, di kelas, di ruang rapat bahkan juga di rumah bordil. Namun, justru karena itu, seperti juga di Negeri Paman Sam, nasihat ‘jangan bicara politik di meja makan’ akhirnya kelihatannya harus berlaku juga. Sebab, jika tidak, mungkin kita akan banyak menuai ketidaknyamanan.

Cerita nyata seperti yang dialami tokoh dengan nama samaran berikut ini akan bisa menjelaskannya. Cerita semacam ini mungkin pernah juga Anda dengar, dalam konteks dan situasi yang lain. Sebuah cerita tentang orang bernama Kiat Sudipinta yang pusing karena hubungannya dengan istrinya terganggu. Bukan karena ia berselingkuh atau tak beres menyetor uang belanja. Pemicunya justru sesuatu yang jauh lebih genting dan serius: politik.

Mulanya adalah ketika mertuanya yang tinggal di luar kota menelepon dua bulan lalu. Pak Mertua, aktivis sebuah partai politik di desa tempatnya tinggal, sedianya hanya menanyakan kabar. Tetapi di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan agar mencoblos calon presiden dari partai Pak Mertua. Karena Kiat seperti kurang memberi respons, maka secara khusus sang Mertua menekankan pesan itu kepada putrinya, istri Kiat. Dan dengan semangat seorang anak kesayangan yang sangat patuh pada orang tua, sang nyonya pun mengiyakan saran ayahnya.

Padahal, Kiat, seorang manajer yang sedang naik daun di sebuah perusahaan tergolong besar, sebelumnya sudah keburu berjanji pada bosnya untuk mencoblos X, calon presiden yang sama sekali lain dari calon pilihan Pak Mertua. Rupanya sang bos adalah anggota Tim Sukses X yang sangat militan. Dan, Kiat merasa wajib mendukung si Bos. Ia dipromosikan ke posisinya sekarang adalah berkat jasa bosnya itu pula. Saatnyalah kini membayar utang, pikir Kiat. Kiat lantas menyanggupi akan ikut membantu sang bos dalam setiap kegiatan Tim Sukses X.

Maka telepon dari Mertua dua bulan lalu itu membuat kacau. Kiat yang belum sempat sounding kepada istrinya, ternyata sudah kecolongan oleh ‘fatwa’ sang Mertua. Kiat panik karena ia telah menyanggupi tugas dari sang bos untuk memenangkan X di lingkungan tempat dia tinggal. Spanduk, kaus dan sticker sudah dikirimkan ke rumahnya untuk dibagikan kepada para tetangga. Ternyata, istrinya tak melirik calon yang ia jagokan. Berkali-kali Kiat meyakinkan istrinya bahwa X adalah pilihan terbaik, demi negara, demi kariernya, dan demi masa depan anak-anak mereka. Tetapi sang nyonya yang sehari-hari menjadi pengusaha konveksi, emoh dengan itu. Dalam soal politik, ia lebih percaya pada ayahnya. Ia malah mengkritik suaminya, "Kok manajer keuangan malah kini ikut-ikut bicara politik? Bapak saya sejak masih zaman kuda makan besi sudah aktif di partai. Ia lebih tahu politik," kata sang istri.

Konfrontasi intern rumah tangga mereka berlangsung sejak itu. Ketika menonton televisi, di meja makan bahkan di tempat tidur, perdebatan tak bisa mereka hindarkan. Satu sama lain semakin hari semakin sensitif saja. Bahkan warna sarung bantal dan sprei pun bisa menjadi bahan kecurigaan. Apalagi pembantu mereka agak kurang peka untuk dapat mencarikan warna yang netral dari nuansa merah, hijau, kuning dan biru.
Ketegangan demi ketegangan berlangsung terus, sampai akhirnya putri mereka yang masih di Sekolah Dasar menerima surat dari sahabat penanya di Amerika Serikat. Ketika sang putri menyurati kawannya untuk menanyakan bagaimana ayah dan ibu mereka menentukan pilihan di kala Pemilu tiba, jawaban dari si Sahabat Pena ternyata pendek saja, "Kami tak bicara politik di meja makan." Dan ajaib, ketika sang putri menunjukkan surat itu kepada Kiat dan istrinya, mereka menemukan kembali senyum mereka yang hilang. Keesokan harinya, di dinding ruang duduk keluarga telah tergantung dengan rapih sebuah pigura bertuliskan kalimat, "No Politics, please."

***
Kita mungkin tak menghadapi masalah seekstrim yang dihadapi Kiat dan keluarganya. Tetapi dalam kadar yang berbeda Anda para pebisnis pun pasti merasakan betapa politik sedikit banyak telah memaksa kita harus berbeda dengan orang lain belakangan ini. Tiba-tiba saja, misalnya, seorang staf kita yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi menjadi anggota Tim Sukses kandidat X, terasa makin menjauh manakala ia tahu Anda sebenarnya bersimpati pada calon Y. Sangat mungkin juga suatu saat kolega bisnis Anda berubah fikiran dan mengatakan butuh waktu lebih lama menandatangani kontrak hanya karena ia melihat di kaca mobil Anda tertempel sticker calon presiden tertentu, yang bukan idolanya. Ada seorang CEO yang terpaksa menunda pertemuan dengan seorang manajer investasi karena ia baru menyadari bahwa ternyata si manajer itu sangat kritis terhadap calon presiden jagoannya.

Hal-hal semacam ini mungkin tak terhindarkan dalam ‘bulan-bulan politik’ seperti sekarang hingga nanti September. Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Tetapi seperti sebuah jembatan tunggal tanpa alternatif, kita harus melaluinya, dengan perasaan enak ataupun tidak.

Namun, setelah itu semua usai --entah itu usai di 5 Juli atau harus dilanjutkan pada Pemilu tahap kedua September mendatang— kita seharusnya kembali ke ‘zaman normal’, zaman ketika kita tak lagi melihat orang lain dari siapa yang jadi pilihannya atau ‘warna’ apa yang jadi favoritnya. Mungkin tak perlu dengan menempel sticker ‘No Politics, Please,’ di tiap meja. Cukup dengan saling paham bahwa di luar politik, banyak hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Termasuk berbisnis dengan tanpa prasangka politik apa pun. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 28/II/Juli 2004)
(c) eben ezer siadari

No comments: