Tuesday

Mari Kita Mudik


Mudik seharusnya proses dua arah: orang kota tak hanya jadi duta bagi kemajuan diri dan kota, tetapi juga belajar dari udik tentang nilai-nilai yang sudah lama terlupakan.


***

Sebentar lagi kita akan menyaksikan demam yang selalu berulang setiap tahun: mudik. Hari-hari ini ‘gejalanya’ bahkan sudah terasa; banyak orang sudah mengeluh tentang sulitnya mencari tiket pesawat terbang dan kereta api. Sebentar lagi kita juga akan mendengar keluhan yang sama setiap lebaran: sulitnya mencari orang yang bisa beres-beres di rumah, selama si Inem pulang kampung.


Di Indonesia para sosiolog berulangkali mengatakan mudik adalah sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Dan, itu agaknya, bagi orang-orang rantau seperti kebanyakan penduduk Jakarta dan kota besar lainnya, tak bisa dicapai dengan gratis. Ada biayanya. Di titik ini kemudian dunia bisnis pun menyambutnya. Mudik menjadi semacam lokomotif bisnis juga. Ia menggerakkan roda bisnis yang khas di musim yang khas itu. Yang paling nyata tentu adalah bisnis angkutan, apakah udara, darat dan laut. Tetapi banyak lagi di luar itu. Bisakah kita membayangkan berapa banyak kambing yang bakal disembelih di musim ini? Berapa meter kain yang terjual yang membuat tukang-tukang jahit di seantero negeri kerepotan sekaligus mengucap syukur?

Bahkan yang mungkin tak disadari: serombongan orang-orang kota yang bakal menyerbu desa-desa asalnya akan menjadi semacam duta juga. Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang ‘udik’ akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal. Orang-orang kota secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa. Tetapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari perigi mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.

Yang terakhir ini akan membawa kita pada pertanyaaan apakah proses pembelajaran itu akan jadi searah saja, dari mereka yang mudik kepada mereka yang diudik? Tidak dapatkah arah itu dibalik, justru yang mudik lah belajar dari yang udik? Tidak dapatkah kita menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘duta kota besar,’ melainkan sebagai warga yang kini ingin kembali menggali nilai-nilai dan banyak hal lain yang (mungkin) telah lama hilang?

Barangkali mudik akan menjadi saat yang baik untuk itu. Para anggota parlemen, yang mulai dari busa tempat duduk di ruang sidang hingga air yang ia gunakan mandi di rumah dinasnya dibayari oleh publik, bisa berkaca tentang apa artinya hidup di udik. Apa harapan dan keprihatinan mereka yang tertinggal itu. Dan dengan begitu, mudah-mudahan bisa disadarkan, betapa mereka, para politisi itu, telah jauh meninggalkan mereka yang diwakilinya.

Semoga para pejabat dapat pula belajar dari bagaimana jalan-jalan yang berlubang dan tergenang air selama ini telah ikut menggerakkan roda pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang seringkali mereka klaim sebagai jerih payah mereka sendiri.

Para pebisnis barangkali bisa pula menggali nilai-nilai yang selama ini terabaikan, baik dalam memilih lahan bisnis, dalam mengiklankan produk, dalam mematok harga dan banyak hal lagi. Saatnya mungkin kita mengukur kejujuran, apakah bahan baku produk kita seperti air, sayuran dan sejenisnya yang kita katakan berasal dari pegunungan, benar-benar berasal dari sana. Tak kalah penting pula, apakah kita telah memberi imbalan yang pantas kepada mereka yang menghasilkannya, yang secara tidak langsung telah mendukung citra produk mau pun perusahaan kita.

Ada sebuah studi tentang korupsi yang baru-baru ini dibukukan dengan judul Kaum Miskin Bersuara. Studi ini adalah survei tentang persepsi masyarakat Indonesia, di kota mau pun di udik tentang praktik korupsi di sekitar mereka. Yang menarik sekaligus memprihatinkan adalah orang-orang Jakarta (dan mungkin sebagian besar kota besar lainnya) ternyata makin menganggap jamak saja praktik-praktik korupsi itu. Berbeda dengan persepsi orang-orang dari udik di berbagai daerah lain yang menunjukkan kemarahan dan kebencian. "Para peserta di kampung-kampung di Yogyakarta dan Makassar sebagian besar sedih dan marah terhadap korupsi, sementara peserta (responden, Red) Jakarta terbagi: mayoritas peserta perempuan tidak peduli, cenderung kepada sedih dan marah sementara kaum lelaki umumnya senang atau tidak peduli," bunyi sekelumit laporan itu.

Ini hanya satu contoh kecil dari bagaimana pentingnya membalik proses pembelajaran dalam mudik yang selama ini terjadi. Mudik mungkin harus dikembalikan kepada arti yang lebih hakiki, yakni kembali ke udik, kembali ke nilai-nilai yang dulu telah membekali kita menempuh apa yang sudah kita capai, entah itu sukses, setengah sukses atau pun gagal. Jakarta yang metropolis ini mungkin secara bertahap sudah mulai bersahabat dengan yang udik. Soto Lamongan, Dawet Banjarnegara, Nasi Kapau Pariaman hingga pecal lele sudah bisa kita temukan di berbagai sudut kota. Namun, yang lebih jauh dari itu, nilai-nilai luhur yang telah lama dilupakan dari berbagai sudut negeri itu, masih banyak yang belum tergali. Untuk kita praktikkan dalam kerja kita sehari-hari, sebagai politisi, birokrat, pekerja, pebisnis dan entah apalagi.

Maka mari mudik dalam arti sebenarnya. Selamat hari raya Idul Fitri.

(c) Eben Ezer Siadari dan WartaBisnis
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Editorial Majalah WartaBisnis

Keterangan Foto: MASIH SEPI. Jakarta tempo doeloe

4 comments:

krismariana widyaningsih said...

iya, kadang mudik jadi acara yg nggak jelas dan akhirnya kehilangan makna. jujur saja aku tdk suka mudik saat lebaran. karena mesti berdesak2an dan capeeeekkkk...

Anonymous said...

Saya baru menemukan blog ini. Memang betul, kita sudah harus makin rajin menoleh ke udik. Supaya jangan sampai diombang-ambingkan kemajuan jaman yang sepenuhnya tidak kita mengerti.

Salam kenal untuk pemilik blog ini.

Galang S.

Riana Sandy said...

Betul juga ya? Kok gak kepikiran. Nice thought Mas.

Anonymous said...

link blognya boleh juga. Selama ini sudah sering dengar menulis dlm air. tapi baru ini tau artinya. tidak membosankan kok pak.

Ruben KS