Tuesday

Hyundai Accent Sebagai Kenang-kenangan

Ada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta mengusulkan agar kendaraan dinasnya, Hyundai Accent, diberikan kepada mereka sebagai kenang-kenangan di akhir tugas. Juga pesangon senilai Rp25 juta. Untungnya, masih ada yang mempunyai harga diri dan menolak usul itu. Mereka lah seharusnya yang jadi Indonesian Idol



FRAKSI PK DPRD TOLAK UANG PESANGON DAN MOBIL
Jakarta, Kompas. Fraksi Partai Keadilan secara tegas menolak uang pesangon (nilainya belum ditentukan, tetapi diperkirakan sebesar Rp25 juta per orang) di masa purnabakti sebagai anggota DPRD DKI Jakarta (periode 2000-2004)….. Menjelang masa purnabakti, sejumlah anggota DPRD DKI mengusulkan agar memperoleh uang pesangon sekaligus dapat memiliki secara pribadi kendaraan dinas (Hyundai Accent, Red) yang dipakai selama ini. Alasannya mobil dinas itu untuk kenang-kenangan…..Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Chudlary Syafi’I mengatakan pihaknya sudah ,menyampaikan aspirasi itu ke Biro Perlengkapan DKI.

Berita itu muncul tak terlampau menonjol, Sabtu, 1 Mei. Panjangnya hanya lima paragraf. Terletak di halaman 18, bersebelahan dengan setengah halaman iklan tentang mobil-mobil bekas yang akan dijual. Tidak mengapa. Masih untung berita seistimewa itu bisa tersiar. Bagaimana jika tidak. Bisa-bisa kita makin tak percaya bahwa masih ada politisi yang punya rasa malu dan tanggung-jawab.

Mudah-mudahan itu bukan sekadar manuver dari sebuah partai untuk mengatrol citra menjelang Pemilu Presiden. Bukan pula sebuah taktik dalam menaikkan posisi tawar untuk sesuatu yang lebih besar. Dan, nampaknya memang bukan. Sejauh ini PK dikenal sebagai partai yang tergolong bersih dan konsisten memperjuangkan praktek pemerintahan yang bersih. (Disclaimer: WartaBisnis adalah majalah independen, tidak terkait dan terafiliasi dengan partai mana pun. Tulisan ini pun demikian).

Berita itu menjadi istimewa di tengah makin lazimnya kita mendengar para pengisi jabatan-jabatan publik mendapat kompensasi yang demikian besar di akhir jabatannya. Ada yang resmi ada yang setengah resmi. Ada yang karena memang peraturannya demikian, tetapi ada yang diputuskan secara ad-hoc. Sangat sering, diputuskan justru oleh mereka sendiri, orang-orang yang akan mengakhiri jabatannya itu. Alasannya pun kadang-kadang membuat kita geleng-geleng kepala. Sebuah mobil dinas sebagai kenang-kenangan, misalnya.

Apa yang jadi masalah di sini, bila kita melihatnya dari kacamata pebisnis?—Hilangnya rasa percaya.

Bayangkan, para anggota DPRD itu adalah orang-orang yang selama ini gagah perkasa mengontrol Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Seorang Gubernur bisa jatuh karena berbagai kesalahan dalam penyusunan mau pun alokasi APBD itu. Para wakil rakyat itu adalah orang-orang yang sangat keras manakala bicara tentang efisiensi belanja publik. Mulai dari yang kelasnya teri hingga yang raksasa. Mulai dari soal kebijakan tarif parkir hingga ruislag bangunan bernilai triliunan. Dan, semua sikap kritis mereka itu memang baik. Kita dukung karena prinsip efisiensi dalam belanja publik adalah juga kepentingan publik.

Sayangnya, sikap kritis itu hanya mereka tunjukkan manakala korbannya adalah pihak lain. Sedangkan jika itu menyangkut mereka sendiri, prinsip efisiensi itu seolah-olah dilupakan. Meminta pesangon di akhir jabatan, untuk sebuah jabatan publik yang memang tidak ada keharusannya untuk itu (dan, itu lah sebabnya, para anggota DPRD itu harus mengusulkannya) tentu akan menjadi beban anggaran. Betapa borosnya anggaran bila setiap lima tahun harus menyediakan dana pesangon bagi segelintir orang yang dahulu di awal masa tugasnya berjanji tak akan membebani negara. (Perlu pula dicatat, anggaran yang sama kadang-kadang pnya keharusan juga untuk mengganti mobil dinas para wakil rakyat itu setiap tahun).

Hilangnya rasa percaya akan muncul dari sini. Kita jadi tak percaya kepada para wakil rakyat itu karena ternyata mereka hanya keras sepanjang korbannya adalah orang lain dan jadi lembek manakala itu menyangkut diri mereka sendiri. Rasa percaya jadi lenyap manakala mengetahui bahwa mereka ternyata pada akhirnya menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan lainnya. Padahal janjinya dulu, dan juga sumpahnya, tidak begitu.

Tetapi bahaya yang lebih besar adalah ini: kita jadi tahu bahwa titik lemah para wakil rakyat kita itu ternyata di situ: puaskanlah kepentingan mereka, maka mereka akan bisa melupakan janji. Selanjutnya, siapa pun yang ingin menabrak berbagai kebijakan, ingin memuluskan proyek lewat jalan tak biasa, akan mengendus ini sebagai sebuah cara. Cara untuk menaklukkan kepentingan publik, termasuk yang tadi, meninggalkan prinsip efisiensi.

Kasus seperti yang terjadi di DPRD DKI memang bukan yang pertama di Tanah Air. Di Bandung dulu ada istilah uang kadeudeuh. Di tempat lain barangkali namanya adalah uang selamat jalan. Kenang-kenangan? Kita memang sangat kreatif untuk hal-hal konyol. Tetapi, itu harus dihentikan. Caranya? Dengan memulai memikirkan secara jernih dan mengusungnya menjadi perdebatan publik, apakah orang-orang yang memilih dan dipilih untuk posisi seperti anggota DPR atau DPRD perlu mendapatkan uang pesangon. Apakah sebuah pekerjaan (kalau boleh dikatakan begitu) yang tanpa risiko diPHK sepihak, tanpa risiko mempertanggungjawabkan kinerjanya dan sangat jelas masa jabatannya, masih harus mendapat uang terimakasih. Dengan begitu akan ada sebuah panduan (guidance) yang jelas dan baku yang bisa diterima oleh semua orang. Bukan sebuah kesepakatan ad hoc yang dibuat orang-orang yang mempunyai pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan aturan itu. Sepanjang aturannya belum ada, usul untuk memberi pesangon itu sebaiknya ditolak saja.

Akhirnya, kita masih beruntung punya orang-orang yang bisa bersikap seperti bapak dan ibu anggota DPRD dari PK itu. Kenang-kenangan yang paling pantas bagi mereka adalah terimakasih dan rasa hormat yang tulus dari publik. Bagi politisi yang benar, kenang-kenangan seperti itu mungkin sudah lebih dari cukup. Jika anak-anak muda kini berlomba ingin jadi Indonesian Idol, mereka ini adalah sedikit dari orang yang bisa dijadikan inspirasi ***

Editorial WartaBisnis edisi 26/II/Mei 2004

No comments: