Pernah ada yang mengatakan, menulis di media itu seperti menulis di air. Setelah ditulis, dimuat,dan (semoga) dibaca, ia kemudian hilang tak berbekas. Dan kadang-kadang jadi membosankan juga, tetapi harus tetap dilakukan supaya dapur ngebul.Ini adalah koleksi dari beberapa hasil pekerjaan yang membosankan itu.Diabadikan di sini agar ia meninggalkan jejak. Bukan seperti menulis di air.
Tuesday
Mari Kita Mudik
Mudik seharusnya proses dua arah: orang kota tak hanya jadi duta bagi kemajuan diri dan kota, tetapi juga belajar dari udik tentang nilai-nilai yang sudah lama terlupakan.
***
Sebentar lagi kita akan menyaksikan demam yang selalu berulang setiap tahun: mudik. Hari-hari ini ‘gejalanya’ bahkan sudah terasa; banyak orang sudah mengeluh tentang sulitnya mencari tiket pesawat terbang dan kereta api. Sebentar lagi kita juga akan mendengar keluhan yang sama setiap lebaran: sulitnya mencari orang yang bisa beres-beres di rumah, selama si Inem pulang kampung.
Mereka yang Terabaikan
Industri MLM terus bertumbuh, menjadi salah satu bagian dari ekonomi bawah tanah yang penting tetapi agak terabaikan.
Underground economy pernah menjadi salah satu penjelas mengapa ekonomi kita tidak kolaps walau krisis membuat perekonomian anjlok ke tingkat pertumbuhan minus. Rupanya di bidang ekonomi kita punya semacam tenaga dalam. Tenaga simpanan yang muncul manakala keadaan darurat terjadi. Itulah underground economy, ekonomi bawah tanah. Suatu perekonomian yang selama ini kurang terdeteksi atau seolah tak disadari bahwa ia ada. Ketika krisis melanda dan ekonomi resmi terseok-seok, ekonomi bawah tanah ini terus berputar. Dalam beberapa hal, ia bahkan berputar lebih kencang menampung mereka yang terlempar dari ‘ekonomi permukaan.’
Per definisi ekonomi bawah tanah adalah aktivitas ekonomi yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi resmi yang direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto. Ada banyak alasan mengapa ia tak tercatat. Ada yang karena alasan teknis, semisal sulitnya membuat ukuran yang pasti, seperti mengukur nilai tambah ekonomi yang dihasilkan ibu-ibu rumah tangga dalam mengasuh anak, membersihkan rumah hingga memasak. Ada juga karena ia tersembunyi atau disembunyikan, seperti aktivitas bisnis ilegal, mulai dari judi, pelacuran hingga korupsi. Tetapi ada juga yang karena potensinya yang tidak disadari atau dianggap remeh (under estimate). Ke dalam hal ini, termasuk sejumlah aktivitas di sektor informal dan ekonomi usaha super kecil (mikro) yang ternyata oleh sejumlah peneliti –antara lain Profesor Mubyarto—justru dianggap berputar lebih kencang di masa krisis.
Yang menarik, di mana-mana di seluruh dunia, diyakini aktivitas ekonomi bawah tanah terus bertumbuh. Ada sebuah statistik yang tidak terlalu baru dan bervariasi sumbernya, tetapi bisa menjadi ilustrasi. Statistik yang dilansir oleh New Internationalist (www.newint.org) itu mengatakan di Australia diperkirakan ada 14% tenaga kerja yang bergerak dalam bentuk ekonomi bawah tanah. Di Sao Paulo (Brasil) 43%, di Bombay (India) 60%, Pakistan 69% dan di Jakarta (Indonesia) 45%. Di Italia berkisar 25% hingga 30%. Sebagai gambaran, 70% dari pekerja ekonomi bawah tanah di Italia adalah wanita. Kebanyakan dari mereka bekerja di industri tekstil rumahan. Sebanyak 44% bekerja lebih dari delapan jam sehari, 20% bekerja antara 10 sampai 12 jam dan 20% bekerja 12 jam sehari.
Ekonom M. Chatib Basri pernah mengatakan adanya ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi berkisar 3-4%, namun pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7-8%. Seharusnya, menurut Basri, dengan menggunakan elastisitas yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi listrik, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi listrik sebesar 2%. Tahun 1997, saat pertumbuhan ekonomi 7%, pertumbuhan konsumsi listrik meningkat hingga 14%. Jadi, jika pertumbuhan konsumsi listrik 8-10%, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 seharusnya 4-5%, bukan 3-4%. Artinya ada satu persen pertumbuhan ekonomi yang tak tercatat. Kuat dugaan, kebutuhan listrik itu datang dari ekonomi bawah tanah, aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, legal maupun tidak legal. Jika aksioma lain dipakai, bahwa tiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 400 ribu lapangan kerja, maka sebesar itulah kesempatan kerja yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi kita, namun mereka benar-benar menggerakkan roda ekonomi.
Pemerintah di mana pun pastilah bersemangat untuk mengejar agar ekonomi bawah tanah itu terungkap. Jika ia aktivitas ekonomi gelap atau ilegal, ia patut dibasmi. Penyelundupan, misalnya, seberapa besar pun ia memberi kesempatan kerja, seharusnya memang diberantas karena pada sisi lain, ia menyebabkan kerugian bukan hanya di pihak pemerintah tetapi publik pada umumnya. Di luar itu, jika ekonomi bawah tanah dapat diangkat menjadi ekonomi resmi ia berpotensi sebagai sumber pendapatan negara, semisal penerimaan pajak.
Meskipun demikian, kiranya patut dicatat bahwa mungkin banyak juga aktivitas ekonomi bawah tanah yang justru perlu dibiarkan berkembang bahkan bila perlu mendapat insentif dan perlindungan. Soalnya, ia dapat menjadi katup pengaman manakala ekonomi resmi belum berjalan normal. Ke dalam kategori ini, industri MLM mungkin bisa dimasukkan, meskipun perlu dicatat tak semua aktivitas industri ini dapat dikategorikan sebagai bawah tanah. Jika ditilik dari perusahaan yang menerjuninya, jelas, industri ini adalah bagian dari ekonomi resmi, ditunjukkan oleh kemapanan organisasi dan legalitas pendukungnya. Namun, dilihat dari bagaimana jejaring mereka bergerak, barangkali sangat sulit untuk mengukur dengan pas seberapa besar nilai tambah ekonomi yang mereka hasilkan. Bukan karena ia tersembunyi, tetapi karena geraknya yang dinamis dan ukuran-ukuran kinerjanya yang unik.
Industri ini terus bertumbuh dan nilai ekonominya tidak kecil. Menurut data Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI) setidaknya ada empat juta orang di Tanah Air yang menggeluti industri ini. Turn over salah satu pemimpin pasar di industri ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Tak heran jika perusahaan yang menggeluti industri ini terus bertambah. Hingga kini anggota APLI sudah mencapai 62 perusahaan. Masih ada perusahaan MLM di luar APLI.
Selain nilai tambahnya pada aktivitas perekonomian, MLM dianggap mempunyai sumbangan intangible yang tak kalah penting. Sebuah komentar independen dari Rizka Baely, seorang entrepreneur dan CEO sebuah perusahaan manajer investasi dan bukan pelaku MLM, patut dicatat. Menurut dia, industri MLM menjadi salah satu alternatif pembelajaran banyak orang untuk menjadi entrepreneur. Menurut dia, sebenarnya ada tiga pilihan cara untuk jadi entrepreneur: mendirikan bisnis sendiri, membeli hak waralaba atau bergabung pada sebuah jejaring MLM. Pilihan bergabung melalui sebuah jejaring MLM, kata dia, sangat logis diambil oleh orang-orang yang belum siap dengan alternatif pertama dan kedua karena berbagai alasan, terutama dana, pengalaman dan waktu. Bergabung dengan jejaring MLM merupakan satu langkah awal menjadi entrepreneur, sebuah proses mematangkan diri untuk kelak benar-benar full sebagai entrepreneur. Entah itu menjadi entrepreneur yang besar di jejaring MLM atau menggunakan pengalaman di MLM itu untuk berkiprah di bisnis lain.
Jika menilik nilai tambah intangible demikian, sangat wajar jika ada pendapat yang mengatakan sudah saatnya industri MLM diperhitungkan sebagai salah satu pilar ekonomi. Diperhitungkan bukan berarti harus dilindungi atau dimanjakan. Melainkan ia diberi kesempatan hidup dan lingkungan yang kondusif untuk terus bertumbuh.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri sinisme terhadap industri ini begitu tajam. Bukan tak ada alasannya. Sudah banyak terbukti aktivitas MLM dijadikan kedok bagi penipuan dan perjudian uang. Dan, untuk yang terakhir ini, memang sudah seharusnya ada regulasi yang jelas. Tujuannya bukan hanya melindungi publik, tetapi yang tak kalah penting adalah mendorong agar persaingan di industri ini berjalan sehat. *****
(Editorial WartaBisnis edisi 30/II/September 2004)
(c) eben ezer siadari
Underground economy pernah menjadi salah satu penjelas mengapa ekonomi kita tidak kolaps walau krisis membuat perekonomian anjlok ke tingkat pertumbuhan minus. Rupanya di bidang ekonomi kita punya semacam tenaga dalam. Tenaga simpanan yang muncul manakala keadaan darurat terjadi. Itulah underground economy, ekonomi bawah tanah. Suatu perekonomian yang selama ini kurang terdeteksi atau seolah tak disadari bahwa ia ada. Ketika krisis melanda dan ekonomi resmi terseok-seok, ekonomi bawah tanah ini terus berputar. Dalam beberapa hal, ia bahkan berputar lebih kencang menampung mereka yang terlempar dari ‘ekonomi permukaan.’
Per definisi ekonomi bawah tanah adalah aktivitas ekonomi yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi resmi yang direpresentasikan oleh Produk Domestik Bruto. Ada banyak alasan mengapa ia tak tercatat. Ada yang karena alasan teknis, semisal sulitnya membuat ukuran yang pasti, seperti mengukur nilai tambah ekonomi yang dihasilkan ibu-ibu rumah tangga dalam mengasuh anak, membersihkan rumah hingga memasak. Ada juga karena ia tersembunyi atau disembunyikan, seperti aktivitas bisnis ilegal, mulai dari judi, pelacuran hingga korupsi. Tetapi ada juga yang karena potensinya yang tidak disadari atau dianggap remeh (under estimate). Ke dalam hal ini, termasuk sejumlah aktivitas di sektor informal dan ekonomi usaha super kecil (mikro) yang ternyata oleh sejumlah peneliti –antara lain Profesor Mubyarto—justru dianggap berputar lebih kencang di masa krisis.
Yang menarik, di mana-mana di seluruh dunia, diyakini aktivitas ekonomi bawah tanah terus bertumbuh. Ada sebuah statistik yang tidak terlalu baru dan bervariasi sumbernya, tetapi bisa menjadi ilustrasi. Statistik yang dilansir oleh New Internationalist (www.newint.org) itu mengatakan di Australia diperkirakan ada 14% tenaga kerja yang bergerak dalam bentuk ekonomi bawah tanah. Di Sao Paulo (Brasil) 43%, di Bombay (India) 60%, Pakistan 69% dan di Jakarta (Indonesia) 45%. Di Italia berkisar 25% hingga 30%. Sebagai gambaran, 70% dari pekerja ekonomi bawah tanah di Italia adalah wanita. Kebanyakan dari mereka bekerja di industri tekstil rumahan. Sebanyak 44% bekerja lebih dari delapan jam sehari, 20% bekerja antara 10 sampai 12 jam dan 20% bekerja 12 jam sehari.
Ekonom M. Chatib Basri pernah mengatakan adanya ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik. Pada tahun 2002, pertumbuhan ekonomi berkisar 3-4%, namun pertumbuhan konsumsi listrik mencapai 7-8%. Seharusnya, menurut Basri, dengan menggunakan elastisitas yang menghubungkan antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi listrik, setiap 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi listrik sebesar 2%. Tahun 1997, saat pertumbuhan ekonomi 7%, pertumbuhan konsumsi listrik meningkat hingga 14%. Jadi, jika pertumbuhan konsumsi listrik 8-10%, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 seharusnya 4-5%, bukan 3-4%. Artinya ada satu persen pertumbuhan ekonomi yang tak tercatat. Kuat dugaan, kebutuhan listrik itu datang dari ekonomi bawah tanah, aktivitas ekonomi yang tidak tercatat, legal maupun tidak legal. Jika aksioma lain dipakai, bahwa tiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 400 ribu lapangan kerja, maka sebesar itulah kesempatan kerja yang tak tercatat dalam pembukuan ekonomi kita, namun mereka benar-benar menggerakkan roda ekonomi.
Pemerintah di mana pun pastilah bersemangat untuk mengejar agar ekonomi bawah tanah itu terungkap. Jika ia aktivitas ekonomi gelap atau ilegal, ia patut dibasmi. Penyelundupan, misalnya, seberapa besar pun ia memberi kesempatan kerja, seharusnya memang diberantas karena pada sisi lain, ia menyebabkan kerugian bukan hanya di pihak pemerintah tetapi publik pada umumnya. Di luar itu, jika ekonomi bawah tanah dapat diangkat menjadi ekonomi resmi ia berpotensi sebagai sumber pendapatan negara, semisal penerimaan pajak.
Meskipun demikian, kiranya patut dicatat bahwa mungkin banyak juga aktivitas ekonomi bawah tanah yang justru perlu dibiarkan berkembang bahkan bila perlu mendapat insentif dan perlindungan. Soalnya, ia dapat menjadi katup pengaman manakala ekonomi resmi belum berjalan normal. Ke dalam kategori ini, industri MLM mungkin bisa dimasukkan, meskipun perlu dicatat tak semua aktivitas industri ini dapat dikategorikan sebagai bawah tanah. Jika ditilik dari perusahaan yang menerjuninya, jelas, industri ini adalah bagian dari ekonomi resmi, ditunjukkan oleh kemapanan organisasi dan legalitas pendukungnya. Namun, dilihat dari bagaimana jejaring mereka bergerak, barangkali sangat sulit untuk mengukur dengan pas seberapa besar nilai tambah ekonomi yang mereka hasilkan. Bukan karena ia tersembunyi, tetapi karena geraknya yang dinamis dan ukuran-ukuran kinerjanya yang unik.
Industri ini terus bertumbuh dan nilai ekonominya tidak kecil. Menurut data Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI) setidaknya ada empat juta orang di Tanah Air yang menggeluti industri ini. Turn over salah satu pemimpin pasar di industri ini diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Tak heran jika perusahaan yang menggeluti industri ini terus bertambah. Hingga kini anggota APLI sudah mencapai 62 perusahaan. Masih ada perusahaan MLM di luar APLI.
Selain nilai tambahnya pada aktivitas perekonomian, MLM dianggap mempunyai sumbangan intangible yang tak kalah penting. Sebuah komentar independen dari Rizka Baely, seorang entrepreneur dan CEO sebuah perusahaan manajer investasi dan bukan pelaku MLM, patut dicatat. Menurut dia, industri MLM menjadi salah satu alternatif pembelajaran banyak orang untuk menjadi entrepreneur. Menurut dia, sebenarnya ada tiga pilihan cara untuk jadi entrepreneur: mendirikan bisnis sendiri, membeli hak waralaba atau bergabung pada sebuah jejaring MLM. Pilihan bergabung melalui sebuah jejaring MLM, kata dia, sangat logis diambil oleh orang-orang yang belum siap dengan alternatif pertama dan kedua karena berbagai alasan, terutama dana, pengalaman dan waktu. Bergabung dengan jejaring MLM merupakan satu langkah awal menjadi entrepreneur, sebuah proses mematangkan diri untuk kelak benar-benar full sebagai entrepreneur. Entah itu menjadi entrepreneur yang besar di jejaring MLM atau menggunakan pengalaman di MLM itu untuk berkiprah di bisnis lain.
Jika menilik nilai tambah intangible demikian, sangat wajar jika ada pendapat yang mengatakan sudah saatnya industri MLM diperhitungkan sebagai salah satu pilar ekonomi. Diperhitungkan bukan berarti harus dilindungi atau dimanjakan. Melainkan ia diberi kesempatan hidup dan lingkungan yang kondusif untuk terus bertumbuh.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri sinisme terhadap industri ini begitu tajam. Bukan tak ada alasannya. Sudah banyak terbukti aktivitas MLM dijadikan kedok bagi penipuan dan perjudian uang. Dan, untuk yang terakhir ini, memang sudah seharusnya ada regulasi yang jelas. Tujuannya bukan hanya melindungi publik, tetapi yang tak kalah penting adalah mendorong agar persaingan di industri ini berjalan sehat. *****
(Editorial WartaBisnis edisi 30/II/September 2004)
(c) eben ezer siadari
Populer lewat Populisme
Mega-Hasyim dan SBY-Kalla tak mungkin bisa menghindar dari populisme. Populisme yang mana?
Sulit untuk meredam keinginan untuk populer, apalagi di masa ketika media dan telekomunikasi begitu berkuasa membuat orang jadi tenar. Fakta berkata popularitas di banyak sekali bidang, ampuh menjadi tiket menuju sukses. Entah itu di ajang hiburan semacam Akademi Fantasi Indosiar atau di panggung politik seperti Pemilu. Secara mendadak ala Inul Daratista atau dengan rekayasa citra dan marketing gaya boysband Westlife. Semuanya membuktikan betapa menjadi populer adalah menyenangkan. Media dan telekomunikasi begitu kuat peranannya. Bahkan seseorang yang tak begitu berbakat jadi bintang pun, seperti William Hung di ajang American Idol, bisa tersohor manakala keburukannya yang dilecehkan dipertontonkan secara luas. Itu mendatangkan iba dan ia jadi bintang.
Maka tak ada yang salah bila Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono berlomba untuk (lebih) populer menjelang September nanti. Jadi kepala kampung saja perlu menyebar kartu nama dengan foto diri berpose bak peragawan. Apalagi jadi orang nomor satu di Republik ini. Dibutuhkan daya dan cara yang lebih canggih. Bila perlu memutarbalik kebiasaan. Itu sebabnya, misalnya, kita tak usah heran bila SBY tidak keberatan berpose ketika menjalani ujian pendahuluan untuk meraih gelar S3, walaupun kita tahu kilatan lampu blitz dan kerumunan wartawan bisa mengganggu konsentrasi dalam mengerjakan soal ujian. Presiden Megawati pun makin rajin ke daerah. Ia makin gencar berbicara dengan petani dan rakyat kebanyakan, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan sehingga beliau dicap sebagai Mrs. Silent.
Bukan berarti popularitas tak mendatangkan kecemasan. Para ekonom bahkan selalu gelisah melihat pemimpin yang mempunyai hasrat menggebu-gebu meraih popularitas. Sebab, pemimpin yang begitu bisa membawa pemerintahannya kepada populisme. Populisme tidak disukai karena sebagaimana definisinya, adalah pemerintahan yang hanya mendasarkan diri pada keinginan untuk memuaskan sentimen-sentimen populer dari masyarakat kebanyakan (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, karya A.S. Hornby). Populisme sebagai program ekonomi dinilai rapuh karena bermacam alasan. Pertama, karena ingin populer, pemerintah yang populis cenderung tidak mengatakan hal yang sebenarnya atau setidaknya tidak mengutarakan bagian yang pahitnya. Kedua, program-programnya itu juga cenderung tidak bisa dan memang mungkin tidak untuk dijalankan. Kalau dijalankan, ia cenderung gagal. Ketiga, program semacam itu kerap mengorbankan program lain, yang prioritasnya sebenarnya lebih tinggi. Kerap kali ini disadari setelah nasi menjadi bubur.
Populisme tentu saja sangat mengerikan dalam pengertian yang demikian. Siapa pun akan menolaknya. Untungnya, sejarah ternyata bercerita juga tentang bagian yang baik tentang populisme, yakni sesuatu yang mengacu pada sebuah gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1890-an. Ini adalah sebuah gerakan independen –tidak terkait pada Partai Demokrat atau Republik-- yang tidak puas atas begitu dominannya pemusatan modal pada dunia perbankan dan perusahaan-perusahaan raksasa. Dominasi itu demikian besarnya sehingga ia tidak hanya terasa di kancah bisnis. Ia juga menjalar ke dunia politik, dalam bentuk kontribusi dana yang luar biasa kepada kampanye presiden. Dan, dengan begitu para pemodal raksasa dapat menyetir kebijakan ekonomi atas beban publik kebanyakan.
Karena semangatnya yang mulia itu, populisme sebagai gerakan sangat populer di akhir abad 19 itu. Mereka mengajukan aneka reformasi ekonomi, yang pada dasarnya bertujuan mengoreksi praktek bisnis yang eksploitatif yang diangga sudah kelewatan ketika itu. Sayangnya, gerakan populisme di AS itu akhirnya gagal, setidaknya sebagai sebuah gerakan formal. Mereka kalah dalam Pemilu dan banyak diantara tokohnya dicurigai karena pendapat-pendapatnya yang ekstrim, rasis dan antikemapanan.
Dengan mengabaikan ekses gerakan itu, populisme dalam semangat dan konteks perjuangan di akhir abad 19 patut diketengahkan, terutama ketika kini demikian gencarnya tuntutan perubahan di kancah ekonomi dan bisnis saat ini. Kita menyadari, siapa pun yang akan jadi penentu kebijakan ekonomi nanti, ia tak akan berani menghindar dari godaan untuk melakukan tindakan-tindakan populis dalam pengertian buruk. Di sisi lain, ia dituntut juga untuk peka dan tidak serta-merta antipati terhadap tuntutan bernada populis dalam pengertian baik, yakni tuntutan akan perlunya koreksi atas ketidakadilan ekonomi.
Dua kandidat presiden kita belakangan ini, banyak sekali dituduh berlomba populis, terlihat dari program ekonomi mereka yang menyentuh banyak sekali persoalan-persoalan populer di kalangan populous. Mega-Hasyim, misalnya, berambisi menciptakan 12,9 juta lapangan kerja dalam lima tahun, dengan pertumbuhan ekonomi 6,8% per tahun. SBY-Kalla ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1% pada 2009, yang dengan itu berarti ia harus menjamin pertumbuhan ekonomi paling tidak 7,2% per tahun. (Lihat, Siapa Unggul Atasi Pengangguran, di rubrik Ekonomi).
Baik target Mega-Hasyim mau pun target SBY-Kalla, terdengar manis, terdengar mulia, mengingatkan kita akan aspirasi populisme untuk mengoreksi masa lalu. Namun, pada saat yang sama ia terlalu indah sehingga tak bisa tidak, kita merasa sedikit dikibuli. Seperti kata lelucon orang Medan, kita seolah dijanjikan akan mendapat durian runtuh. Dan, bukan saja tak ada yang busuk, durian itu sudah dikupas dan tinggal makan. Tanpa biji pula. Too good to be true.
Dengan kata lain, ada aroma populisme dalam program-program itu, entah dalam pengertian buruk maupun pengertian baik. Mumpung Pemilu masih lebih dari sebulan lagi, mari kita pikir-pikir lagi, siapa populis pembual siapa populis pahlawan. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 29/II/Agustus 2004)
(c) eben ezer siadai
Sulit untuk meredam keinginan untuk populer, apalagi di masa ketika media dan telekomunikasi begitu berkuasa membuat orang jadi tenar. Fakta berkata popularitas di banyak sekali bidang, ampuh menjadi tiket menuju sukses. Entah itu di ajang hiburan semacam Akademi Fantasi Indosiar atau di panggung politik seperti Pemilu. Secara mendadak ala Inul Daratista atau dengan rekayasa citra dan marketing gaya boysband Westlife. Semuanya membuktikan betapa menjadi populer adalah menyenangkan. Media dan telekomunikasi begitu kuat peranannya. Bahkan seseorang yang tak begitu berbakat jadi bintang pun, seperti William Hung di ajang American Idol, bisa tersohor manakala keburukannya yang dilecehkan dipertontonkan secara luas. Itu mendatangkan iba dan ia jadi bintang.
Maka tak ada yang salah bila Megawati atau Susilo Bambang Yudhoyono berlomba untuk (lebih) populer menjelang September nanti. Jadi kepala kampung saja perlu menyebar kartu nama dengan foto diri berpose bak peragawan. Apalagi jadi orang nomor satu di Republik ini. Dibutuhkan daya dan cara yang lebih canggih. Bila perlu memutarbalik kebiasaan. Itu sebabnya, misalnya, kita tak usah heran bila SBY tidak keberatan berpose ketika menjalani ujian pendahuluan untuk meraih gelar S3, walaupun kita tahu kilatan lampu blitz dan kerumunan wartawan bisa mengganggu konsentrasi dalam mengerjakan soal ujian. Presiden Megawati pun makin rajin ke daerah. Ia makin gencar berbicara dengan petani dan rakyat kebanyakan, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan sehingga beliau dicap sebagai Mrs. Silent.
Bukan berarti popularitas tak mendatangkan kecemasan. Para ekonom bahkan selalu gelisah melihat pemimpin yang mempunyai hasrat menggebu-gebu meraih popularitas. Sebab, pemimpin yang begitu bisa membawa pemerintahannya kepada populisme. Populisme tidak disukai karena sebagaimana definisinya, adalah pemerintahan yang hanya mendasarkan diri pada keinginan untuk memuaskan sentimen-sentimen populer dari masyarakat kebanyakan (Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, karya A.S. Hornby). Populisme sebagai program ekonomi dinilai rapuh karena bermacam alasan. Pertama, karena ingin populer, pemerintah yang populis cenderung tidak mengatakan hal yang sebenarnya atau setidaknya tidak mengutarakan bagian yang pahitnya. Kedua, program-programnya itu juga cenderung tidak bisa dan memang mungkin tidak untuk dijalankan. Kalau dijalankan, ia cenderung gagal. Ketiga, program semacam itu kerap mengorbankan program lain, yang prioritasnya sebenarnya lebih tinggi. Kerap kali ini disadari setelah nasi menjadi bubur.
Populisme tentu saja sangat mengerikan dalam pengertian yang demikian. Siapa pun akan menolaknya. Untungnya, sejarah ternyata bercerita juga tentang bagian yang baik tentang populisme, yakni sesuatu yang mengacu pada sebuah gerakan di Amerika Serikat pada tahun 1890-an. Ini adalah sebuah gerakan independen –tidak terkait pada Partai Demokrat atau Republik-- yang tidak puas atas begitu dominannya pemusatan modal pada dunia perbankan dan perusahaan-perusahaan raksasa. Dominasi itu demikian besarnya sehingga ia tidak hanya terasa di kancah bisnis. Ia juga menjalar ke dunia politik, dalam bentuk kontribusi dana yang luar biasa kepada kampanye presiden. Dan, dengan begitu para pemodal raksasa dapat menyetir kebijakan ekonomi atas beban publik kebanyakan.
Karena semangatnya yang mulia itu, populisme sebagai gerakan sangat populer di akhir abad 19 itu. Mereka mengajukan aneka reformasi ekonomi, yang pada dasarnya bertujuan mengoreksi praktek bisnis yang eksploitatif yang diangga sudah kelewatan ketika itu. Sayangnya, gerakan populisme di AS itu akhirnya gagal, setidaknya sebagai sebuah gerakan formal. Mereka kalah dalam Pemilu dan banyak diantara tokohnya dicurigai karena pendapat-pendapatnya yang ekstrim, rasis dan antikemapanan.
Dengan mengabaikan ekses gerakan itu, populisme dalam semangat dan konteks perjuangan di akhir abad 19 patut diketengahkan, terutama ketika kini demikian gencarnya tuntutan perubahan di kancah ekonomi dan bisnis saat ini. Kita menyadari, siapa pun yang akan jadi penentu kebijakan ekonomi nanti, ia tak akan berani menghindar dari godaan untuk melakukan tindakan-tindakan populis dalam pengertian buruk. Di sisi lain, ia dituntut juga untuk peka dan tidak serta-merta antipati terhadap tuntutan bernada populis dalam pengertian baik, yakni tuntutan akan perlunya koreksi atas ketidakadilan ekonomi.
Dua kandidat presiden kita belakangan ini, banyak sekali dituduh berlomba populis, terlihat dari program ekonomi mereka yang menyentuh banyak sekali persoalan-persoalan populer di kalangan populous. Mega-Hasyim, misalnya, berambisi menciptakan 12,9 juta lapangan kerja dalam lima tahun, dengan pertumbuhan ekonomi 6,8% per tahun. SBY-Kalla ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1% pada 2009, yang dengan itu berarti ia harus menjamin pertumbuhan ekonomi paling tidak 7,2% per tahun. (Lihat, Siapa Unggul Atasi Pengangguran, di rubrik Ekonomi).
Baik target Mega-Hasyim mau pun target SBY-Kalla, terdengar manis, terdengar mulia, mengingatkan kita akan aspirasi populisme untuk mengoreksi masa lalu. Namun, pada saat yang sama ia terlalu indah sehingga tak bisa tidak, kita merasa sedikit dikibuli. Seperti kata lelucon orang Medan, kita seolah dijanjikan akan mendapat durian runtuh. Dan, bukan saja tak ada yang busuk, durian itu sudah dikupas dan tinggal makan. Tanpa biji pula. Too good to be true.
Dengan kata lain, ada aroma populisme dalam program-program itu, entah dalam pengertian buruk maupun pengertian baik. Mumpung Pemilu masih lebih dari sebulan lagi, mari kita pikir-pikir lagi, siapa populis pembual siapa populis pahlawan. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 29/II/Agustus 2004)
(c) eben ezer siadai
No Politics Please
Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Maka setelah usai Pemilu, bisakah kita sekali-kali berkata, No Politics, Please?
"Jangan bicara politik di meja makan." Ini adalah konsensus yang berlaku umum di kebanyakan keluarga di Amerika Serikat. Banyak orang Indonesia, terutama yang pernah merasakan membosankannya dinamika politik di era Soeharto, tak terlalu paham. Mengapa nasihat yang terkesan tak demokratis itu justru ada di tanah tempat tumbuhnya benih demokrasi. Kita ingat, di era Orde Baru justru di meja makanlah kita bersemangat bicara tentang apa saja yang genting di negara kita. Saat itu kita punya semacam musuh atau kambing hitam bersama yang semua orang tahu siapa dia tetapi tak pernah secara terbuka diucapkan. Karena itulah berdiskusi politik di meja makan (dan ruang keluarga) mengasyikkan. Sebab di luar rumah kita tak akan pernah berani membicarakannya.
Kini katanya kita sudah menjadi negara demokratis. Orang bicara politik dimana-mana, di warung, di lapangan bola, di kelas, di ruang rapat bahkan juga di rumah bordil. Namun, justru karena itu, seperti juga di Negeri Paman Sam, nasihat ‘jangan bicara politik di meja makan’ akhirnya kelihatannya harus berlaku juga. Sebab, jika tidak, mungkin kita akan banyak menuai ketidaknyamanan.
Cerita nyata seperti yang dialami tokoh dengan nama samaran berikut ini akan bisa menjelaskannya. Cerita semacam ini mungkin pernah juga Anda dengar, dalam konteks dan situasi yang lain. Sebuah cerita tentang orang bernama Kiat Sudipinta yang pusing karena hubungannya dengan istrinya terganggu. Bukan karena ia berselingkuh atau tak beres menyetor uang belanja. Pemicunya justru sesuatu yang jauh lebih genting dan serius: politik.
Mulanya adalah ketika mertuanya yang tinggal di luar kota menelepon dua bulan lalu. Pak Mertua, aktivis sebuah partai politik di desa tempatnya tinggal, sedianya hanya menanyakan kabar. Tetapi di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan agar mencoblos calon presiden dari partai Pak Mertua. Karena Kiat seperti kurang memberi respons, maka secara khusus sang Mertua menekankan pesan itu kepada putrinya, istri Kiat. Dan dengan semangat seorang anak kesayangan yang sangat patuh pada orang tua, sang nyonya pun mengiyakan saran ayahnya.
Padahal, Kiat, seorang manajer yang sedang naik daun di sebuah perusahaan tergolong besar, sebelumnya sudah keburu berjanji pada bosnya untuk mencoblos X, calon presiden yang sama sekali lain dari calon pilihan Pak Mertua. Rupanya sang bos adalah anggota Tim Sukses X yang sangat militan. Dan, Kiat merasa wajib mendukung si Bos. Ia dipromosikan ke posisinya sekarang adalah berkat jasa bosnya itu pula. Saatnyalah kini membayar utang, pikir Kiat. Kiat lantas menyanggupi akan ikut membantu sang bos dalam setiap kegiatan Tim Sukses X.
Maka telepon dari Mertua dua bulan lalu itu membuat kacau. Kiat yang belum sempat sounding kepada istrinya, ternyata sudah kecolongan oleh ‘fatwa’ sang Mertua. Kiat panik karena ia telah menyanggupi tugas dari sang bos untuk memenangkan X di lingkungan tempat dia tinggal. Spanduk, kaus dan sticker sudah dikirimkan ke rumahnya untuk dibagikan kepada para tetangga. Ternyata, istrinya tak melirik calon yang ia jagokan. Berkali-kali Kiat meyakinkan istrinya bahwa X adalah pilihan terbaik, demi negara, demi kariernya, dan demi masa depan anak-anak mereka. Tetapi sang nyonya yang sehari-hari menjadi pengusaha konveksi, emoh dengan itu. Dalam soal politik, ia lebih percaya pada ayahnya. Ia malah mengkritik suaminya, "Kok manajer keuangan malah kini ikut-ikut bicara politik? Bapak saya sejak masih zaman kuda makan besi sudah aktif di partai. Ia lebih tahu politik," kata sang istri.
Konfrontasi intern rumah tangga mereka berlangsung sejak itu. Ketika menonton televisi, di meja makan bahkan di tempat tidur, perdebatan tak bisa mereka hindarkan. Satu sama lain semakin hari semakin sensitif saja. Bahkan warna sarung bantal dan sprei pun bisa menjadi bahan kecurigaan. Apalagi pembantu mereka agak kurang peka untuk dapat mencarikan warna yang netral dari nuansa merah, hijau, kuning dan biru.
Ketegangan demi ketegangan berlangsung terus, sampai akhirnya putri mereka yang masih di Sekolah Dasar menerima surat dari sahabat penanya di Amerika Serikat. Ketika sang putri menyurati kawannya untuk menanyakan bagaimana ayah dan ibu mereka menentukan pilihan di kala Pemilu tiba, jawaban dari si Sahabat Pena ternyata pendek saja, "Kami tak bicara politik di meja makan." Dan ajaib, ketika sang putri menunjukkan surat itu kepada Kiat dan istrinya, mereka menemukan kembali senyum mereka yang hilang. Keesokan harinya, di dinding ruang duduk keluarga telah tergantung dengan rapih sebuah pigura bertuliskan kalimat, "No Politics, please."
***
Kita mungkin tak menghadapi masalah seekstrim yang dihadapi Kiat dan keluarganya. Tetapi dalam kadar yang berbeda Anda para pebisnis pun pasti merasakan betapa politik sedikit banyak telah memaksa kita harus berbeda dengan orang lain belakangan ini. Tiba-tiba saja, misalnya, seorang staf kita yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi menjadi anggota Tim Sukses kandidat X, terasa makin menjauh manakala ia tahu Anda sebenarnya bersimpati pada calon Y. Sangat mungkin juga suatu saat kolega bisnis Anda berubah fikiran dan mengatakan butuh waktu lebih lama menandatangani kontrak hanya karena ia melihat di kaca mobil Anda tertempel sticker calon presiden tertentu, yang bukan idolanya. Ada seorang CEO yang terpaksa menunda pertemuan dengan seorang manajer investasi karena ia baru menyadari bahwa ternyata si manajer itu sangat kritis terhadap calon presiden jagoannya.
Hal-hal semacam ini mungkin tak terhindarkan dalam ‘bulan-bulan politik’ seperti sekarang hingga nanti September. Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Tetapi seperti sebuah jembatan tunggal tanpa alternatif, kita harus melaluinya, dengan perasaan enak ataupun tidak.
Namun, setelah itu semua usai --entah itu usai di 5 Juli atau harus dilanjutkan pada Pemilu tahap kedua September mendatang— kita seharusnya kembali ke ‘zaman normal’, zaman ketika kita tak lagi melihat orang lain dari siapa yang jadi pilihannya atau ‘warna’ apa yang jadi favoritnya. Mungkin tak perlu dengan menempel sticker ‘No Politics, Please,’ di tiap meja. Cukup dengan saling paham bahwa di luar politik, banyak hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Termasuk berbisnis dengan tanpa prasangka politik apa pun. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 28/II/Juli 2004)
(c) eben ezer siadari
"Jangan bicara politik di meja makan." Ini adalah konsensus yang berlaku umum di kebanyakan keluarga di Amerika Serikat. Banyak orang Indonesia, terutama yang pernah merasakan membosankannya dinamika politik di era Soeharto, tak terlalu paham. Mengapa nasihat yang terkesan tak demokratis itu justru ada di tanah tempat tumbuhnya benih demokrasi. Kita ingat, di era Orde Baru justru di meja makanlah kita bersemangat bicara tentang apa saja yang genting di negara kita. Saat itu kita punya semacam musuh atau kambing hitam bersama yang semua orang tahu siapa dia tetapi tak pernah secara terbuka diucapkan. Karena itulah berdiskusi politik di meja makan (dan ruang keluarga) mengasyikkan. Sebab di luar rumah kita tak akan pernah berani membicarakannya.
Kini katanya kita sudah menjadi negara demokratis. Orang bicara politik dimana-mana, di warung, di lapangan bola, di kelas, di ruang rapat bahkan juga di rumah bordil. Namun, justru karena itu, seperti juga di Negeri Paman Sam, nasihat ‘jangan bicara politik di meja makan’ akhirnya kelihatannya harus berlaku juga. Sebab, jika tidak, mungkin kita akan banyak menuai ketidaknyamanan.
Cerita nyata seperti yang dialami tokoh dengan nama samaran berikut ini akan bisa menjelaskannya. Cerita semacam ini mungkin pernah juga Anda dengar, dalam konteks dan situasi yang lain. Sebuah cerita tentang orang bernama Kiat Sudipinta yang pusing karena hubungannya dengan istrinya terganggu. Bukan karena ia berselingkuh atau tak beres menyetor uang belanja. Pemicunya justru sesuatu yang jauh lebih genting dan serius: politik.
Mulanya adalah ketika mertuanya yang tinggal di luar kota menelepon dua bulan lalu. Pak Mertua, aktivis sebuah partai politik di desa tempatnya tinggal, sedianya hanya menanyakan kabar. Tetapi di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan agar mencoblos calon presiden dari partai Pak Mertua. Karena Kiat seperti kurang memberi respons, maka secara khusus sang Mertua menekankan pesan itu kepada putrinya, istri Kiat. Dan dengan semangat seorang anak kesayangan yang sangat patuh pada orang tua, sang nyonya pun mengiyakan saran ayahnya.
Padahal, Kiat, seorang manajer yang sedang naik daun di sebuah perusahaan tergolong besar, sebelumnya sudah keburu berjanji pada bosnya untuk mencoblos X, calon presiden yang sama sekali lain dari calon pilihan Pak Mertua. Rupanya sang bos adalah anggota Tim Sukses X yang sangat militan. Dan, Kiat merasa wajib mendukung si Bos. Ia dipromosikan ke posisinya sekarang adalah berkat jasa bosnya itu pula. Saatnyalah kini membayar utang, pikir Kiat. Kiat lantas menyanggupi akan ikut membantu sang bos dalam setiap kegiatan Tim Sukses X.
Maka telepon dari Mertua dua bulan lalu itu membuat kacau. Kiat yang belum sempat sounding kepada istrinya, ternyata sudah kecolongan oleh ‘fatwa’ sang Mertua. Kiat panik karena ia telah menyanggupi tugas dari sang bos untuk memenangkan X di lingkungan tempat dia tinggal. Spanduk, kaus dan sticker sudah dikirimkan ke rumahnya untuk dibagikan kepada para tetangga. Ternyata, istrinya tak melirik calon yang ia jagokan. Berkali-kali Kiat meyakinkan istrinya bahwa X adalah pilihan terbaik, demi negara, demi kariernya, dan demi masa depan anak-anak mereka. Tetapi sang nyonya yang sehari-hari menjadi pengusaha konveksi, emoh dengan itu. Dalam soal politik, ia lebih percaya pada ayahnya. Ia malah mengkritik suaminya, "Kok manajer keuangan malah kini ikut-ikut bicara politik? Bapak saya sejak masih zaman kuda makan besi sudah aktif di partai. Ia lebih tahu politik," kata sang istri.
Konfrontasi intern rumah tangga mereka berlangsung sejak itu. Ketika menonton televisi, di meja makan bahkan di tempat tidur, perdebatan tak bisa mereka hindarkan. Satu sama lain semakin hari semakin sensitif saja. Bahkan warna sarung bantal dan sprei pun bisa menjadi bahan kecurigaan. Apalagi pembantu mereka agak kurang peka untuk dapat mencarikan warna yang netral dari nuansa merah, hijau, kuning dan biru.
Ketegangan demi ketegangan berlangsung terus, sampai akhirnya putri mereka yang masih di Sekolah Dasar menerima surat dari sahabat penanya di Amerika Serikat. Ketika sang putri menyurati kawannya untuk menanyakan bagaimana ayah dan ibu mereka menentukan pilihan di kala Pemilu tiba, jawaban dari si Sahabat Pena ternyata pendek saja, "Kami tak bicara politik di meja makan." Dan ajaib, ketika sang putri menunjukkan surat itu kepada Kiat dan istrinya, mereka menemukan kembali senyum mereka yang hilang. Keesokan harinya, di dinding ruang duduk keluarga telah tergantung dengan rapih sebuah pigura bertuliskan kalimat, "No Politics, please."
***
Kita mungkin tak menghadapi masalah seekstrim yang dihadapi Kiat dan keluarganya. Tetapi dalam kadar yang berbeda Anda para pebisnis pun pasti merasakan betapa politik sedikit banyak telah memaksa kita harus berbeda dengan orang lain belakangan ini. Tiba-tiba saja, misalnya, seorang staf kita yang secara terbuka atau sembunyi-sembunyi menjadi anggota Tim Sukses kandidat X, terasa makin menjauh manakala ia tahu Anda sebenarnya bersimpati pada calon Y. Sangat mungkin juga suatu saat kolega bisnis Anda berubah fikiran dan mengatakan butuh waktu lebih lama menandatangani kontrak hanya karena ia melihat di kaca mobil Anda tertempel sticker calon presiden tertentu, yang bukan idolanya. Ada seorang CEO yang terpaksa menunda pertemuan dengan seorang manajer investasi karena ia baru menyadari bahwa ternyata si manajer itu sangat kritis terhadap calon presiden jagoannya.
Hal-hal semacam ini mungkin tak terhindarkan dalam ‘bulan-bulan politik’ seperti sekarang hingga nanti September. Politik memang tidak selalu enak untuk disentuh, terutama oleh kalangan bisnis. Tetapi seperti sebuah jembatan tunggal tanpa alternatif, kita harus melaluinya, dengan perasaan enak ataupun tidak.
Namun, setelah itu semua usai --entah itu usai di 5 Juli atau harus dilanjutkan pada Pemilu tahap kedua September mendatang— kita seharusnya kembali ke ‘zaman normal’, zaman ketika kita tak lagi melihat orang lain dari siapa yang jadi pilihannya atau ‘warna’ apa yang jadi favoritnya. Mungkin tak perlu dengan menempel sticker ‘No Politics, Please,’ di tiap meja. Cukup dengan saling paham bahwa di luar politik, banyak hal lain yang lebih penting dan lebih menarik. Termasuk berbisnis dengan tanpa prasangka politik apa pun. ***
(Editorial WartaBisnis edisi 28/II/Juli 2004)
(c) eben ezer siadari
Beri Kami 'Meja yang Bersih'
Kepada Capres dan Cawapres, mari kita ajukan sejumlah pertanyaan yang membumi dan kita harapkan jawaban yang membumi pula.
Orang-orang yang berkunjung ke Rusia selalu dinasihati untuk tak lupa mengatakan Chisti Sol kepada pelayan manakala hendak memesan makanan di restoran. Arti kata itu secara harafiah adalah ‘meja yang bersih.’ Tetapi makna sesungguhnya merupakan permintaan agar sang pelayan menghidangkan makanan utama saja. Konon jika kita lupa mengucapkan kata itu, kepada kita akan disajikan serentetan makanan pembuka yang selain mahal, rasanya pun mungkin tak keruan. Artinya kita mendapatkan dua kejengkelan sekaligus: kocek terkuras dan perut mual.
Nah, kepada para calon presiden dan wakil presiden yang bakal berlaga bulan depan –seandainya mereka kita umpamakan pelayan restoran yang akan mengobati rasa lapar kita-- barangkali kita juga sejak awal sudah harus memesan ‘meja yang bersih’ itu. Kita tentu masih ingat pada gembar-gembor kampanye pada Pemilu Legislatif lalu. Barangkali karena kita tak sempat meneriakkan Chisti Sol ketika itu, kita terjebak pada banyak sekali ‘hidangan pembuka’ yang tak karuan rasanya dan mahal ongkosnya. Mulai dari ‘bunga-bunga’ rencana koalisi, platform partai hingga beraneka kriteria pemimpin yang ideal muncul gegap-gempita sebagai wacana pembuka kampanye. Pada akhirnya, kita menemukan betapa mahal dan beraneka ragamnya hidangan pembuka yang ternyata tak banyak gunanya. Sebab kemudian kita disuguhi ‘makanan utama’ yang serba pas-pasan. Terlihat dari paket-paket capres-cawapres yang menurut seorang rekan, menghadapkan kita pada keharusan memilih the best from the worst.
Maka manakala tiap capres dan cawapres berkampanye, baiklah kita meneriakkan Chisti Sol itu. "Berikan lah kepada kami solusi nyata. Tidak usah buang-buang waktu dengan janji berbunga-bunga. Juga lupakan dulu platform dengan target-target selangit. Tolong berikan pemecahan atas masalah riel di hadapan kita."
Beberapa tim sukses capres dan cawapres tampaknya memang mulai memikirkan hal-hal pragmatis semacam ini. Setidanya mereka sudah mulai memunculkan janji yang tidak muluk-muluk dan bisa dengan cukup segera kita ukur kelak. Misalnya, pekan lalu ada sebuah diskusi yang diselenggarakan LPSEUI di Jakarta, Bomer Pasaribu, salah seorang anggota tim sukses capres dari Partai Golkar, Wiranto, mengemukakan ‘janji’ yang menarik. Menurut dia, jika Wiranto terpilih perubahan paling awal yang akan segera diusahakan dengan segera adalah meningkat atau pulihnya kepercayaan para pelaku bisnis terhadap Indonesia. Apa indikatornya? Bomer menjanjikan, bila Wiranto terpilih, dalam hitungan bulan, akan segera terlihat masuknya kembali dana-dana dari para pengusaha Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri.
Ini bisa dikatakan janji cukup membumi, cukup dapat diukur dan dilihat dampaknya. Mari kita tunggu apakah janji itu akan tercapai.
Dari Tim Sukses Amien Rais, Didik J. Rachbini juga mengutarakan janji yang tidak terlalu bombastis dalam soal korupsi, tetapi justru karena itu lah menarik untuk dicermati. Menurut dia, selama ini sangat tenar julukan bahwa Indonesia sebagai negara paling korup. Ini biasanya diucapkan sembari mengutip studi lembaga-lembaga internasional, terutama dari Transparency International. Nah, menurut Didik, studi semacam itu, yang menghasilkan kesimpulan Indonesia sebagai negara terkorup, sebetulnya lebih banyak didasarkan pada persepsi kalangan usahawan di dalam dan di luar negeri tentang praktek korupsi itu sendiri. Bahwa faktanya ada korupsi memang betul, tetapi apakah separah yang dipersepsikan? Dan, apakah betul Indonesia yang terburuk, misalnya dibandingkan dengan Cina? Itu semua adalah persoalan persepsi. Obatnya, menurut Didik adalah memperkuat public relations pemerintah di kancah diplomasi dunia, dan juga di kalangan media massa internasional.
Ini juga cara pandang yang dapat dikatakan berpijak pada bumi. Cukup realistis untuk dilakukan dan tidak terlalu rumit untuk melihat hasilnya.
Sebetulnya ada satu lagi isu yang pernah dilontarkan kandidat calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang sangat relevan untuk dibahas semua Tim Sukses para capres. Dalam wawancara dengan WartaBisnis, beberapa bulan silam, tokoh yang sapaan akrabnya Ical itu berkata bagi dia tidak penting benar tingkat inflasi harus single digit , nilai tukar mata uang dipaksa menguat dan kemudian penyaluran kredit perbankan diperketat. Menurut dia, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka pengangguran dan satu-satunya jalan adalah dengan menggerakkan perekonomian domestik dengan memobilisasi dana-dana perbankan agar mengalir dengan sehat ke sektor riel.
Ini adalah sebuah isu yang strategis, nyata dan terukur. Para capres harus mempunyai pilihan yang jelas dan tidak bisa mengelak dari menjawab pertanyaan seputar ini. Sebab, semua capres telah menjanjikan akan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Pangkal soalnya adalah bagaimana caranya? Kepada para capres itu perlu ditanyakan apakah ia akan ngotot mematok tingkat inflasi single digit atau justru tak terlalu khawatir soal itu?
Barangkali jawaban dari pertanyaan ini lah yang akan segera dapat kita jadikan pembeda capres satu dengan lainnya. The Incumbent president, Megawati, telah kita saksikan kebijakan ekonominya selama ini: tingkat inflasi single digit seolah sudah jadi jimat kramat yang tidak bisa diganggu gugat. Ada pun tingkat pengangguran yang tinggi seolah menjadi prioritas selanjutnya, setelah stabilitas moneter (salah satunya dicerminkan oleh tingkat inflasi yang rendah itu).
Lalu apa jawaban para penantang? Ini lah yang kita tunggu. Para penantang, yang tentu ingin berbeda (dan memang harus berbeda) sebaiknya menjelaskan pilihannya. Apakah memang pendekatan yang bias pada stabilitas moneter itu masih layak dipertahankan? Kalau tidak, bagaimana caranya? Sekali lagi, kita harus berteriak, Chisti Sol. Berikan kami jawaban yang pasti-pasti saja. Tak usah banyak basa-basi pembuka.***
(Editorial WartaBisnis edisi 27/II/Juli 2004
Orang-orang yang berkunjung ke Rusia selalu dinasihati untuk tak lupa mengatakan Chisti Sol kepada pelayan manakala hendak memesan makanan di restoran. Arti kata itu secara harafiah adalah ‘meja yang bersih.’ Tetapi makna sesungguhnya merupakan permintaan agar sang pelayan menghidangkan makanan utama saja. Konon jika kita lupa mengucapkan kata itu, kepada kita akan disajikan serentetan makanan pembuka yang selain mahal, rasanya pun mungkin tak keruan. Artinya kita mendapatkan dua kejengkelan sekaligus: kocek terkuras dan perut mual.
Nah, kepada para calon presiden dan wakil presiden yang bakal berlaga bulan depan –seandainya mereka kita umpamakan pelayan restoran yang akan mengobati rasa lapar kita-- barangkali kita juga sejak awal sudah harus memesan ‘meja yang bersih’ itu. Kita tentu masih ingat pada gembar-gembor kampanye pada Pemilu Legislatif lalu. Barangkali karena kita tak sempat meneriakkan Chisti Sol ketika itu, kita terjebak pada banyak sekali ‘hidangan pembuka’ yang tak karuan rasanya dan mahal ongkosnya. Mulai dari ‘bunga-bunga’ rencana koalisi, platform partai hingga beraneka kriteria pemimpin yang ideal muncul gegap-gempita sebagai wacana pembuka kampanye. Pada akhirnya, kita menemukan betapa mahal dan beraneka ragamnya hidangan pembuka yang ternyata tak banyak gunanya. Sebab kemudian kita disuguhi ‘makanan utama’ yang serba pas-pasan. Terlihat dari paket-paket capres-cawapres yang menurut seorang rekan, menghadapkan kita pada keharusan memilih the best from the worst.
Maka manakala tiap capres dan cawapres berkampanye, baiklah kita meneriakkan Chisti Sol itu. "Berikan lah kepada kami solusi nyata. Tidak usah buang-buang waktu dengan janji berbunga-bunga. Juga lupakan dulu platform dengan target-target selangit. Tolong berikan pemecahan atas masalah riel di hadapan kita."
Beberapa tim sukses capres dan cawapres tampaknya memang mulai memikirkan hal-hal pragmatis semacam ini. Setidanya mereka sudah mulai memunculkan janji yang tidak muluk-muluk dan bisa dengan cukup segera kita ukur kelak. Misalnya, pekan lalu ada sebuah diskusi yang diselenggarakan LPSEUI di Jakarta, Bomer Pasaribu, salah seorang anggota tim sukses capres dari Partai Golkar, Wiranto, mengemukakan ‘janji’ yang menarik. Menurut dia, jika Wiranto terpilih perubahan paling awal yang akan segera diusahakan dengan segera adalah meningkat atau pulihnya kepercayaan para pelaku bisnis terhadap Indonesia. Apa indikatornya? Bomer menjanjikan, bila Wiranto terpilih, dalam hitungan bulan, akan segera terlihat masuknya kembali dana-dana dari para pengusaha Indonesia yang selama ini diparkir di luar negeri.
Ini bisa dikatakan janji cukup membumi, cukup dapat diukur dan dilihat dampaknya. Mari kita tunggu apakah janji itu akan tercapai.
Dari Tim Sukses Amien Rais, Didik J. Rachbini juga mengutarakan janji yang tidak terlalu bombastis dalam soal korupsi, tetapi justru karena itu lah menarik untuk dicermati. Menurut dia, selama ini sangat tenar julukan bahwa Indonesia sebagai negara paling korup. Ini biasanya diucapkan sembari mengutip studi lembaga-lembaga internasional, terutama dari Transparency International. Nah, menurut Didik, studi semacam itu, yang menghasilkan kesimpulan Indonesia sebagai negara terkorup, sebetulnya lebih banyak didasarkan pada persepsi kalangan usahawan di dalam dan di luar negeri tentang praktek korupsi itu sendiri. Bahwa faktanya ada korupsi memang betul, tetapi apakah separah yang dipersepsikan? Dan, apakah betul Indonesia yang terburuk, misalnya dibandingkan dengan Cina? Itu semua adalah persoalan persepsi. Obatnya, menurut Didik adalah memperkuat public relations pemerintah di kancah diplomasi dunia, dan juga di kalangan media massa internasional.
Ini juga cara pandang yang dapat dikatakan berpijak pada bumi. Cukup realistis untuk dilakukan dan tidak terlalu rumit untuk melihat hasilnya.
Sebetulnya ada satu lagi isu yang pernah dilontarkan kandidat calon presiden dari Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang sangat relevan untuk dibahas semua Tim Sukses para capres. Dalam wawancara dengan WartaBisnis, beberapa bulan silam, tokoh yang sapaan akrabnya Ical itu berkata bagi dia tidak penting benar tingkat inflasi harus single digit , nilai tukar mata uang dipaksa menguat dan kemudian penyaluran kredit perbankan diperketat. Menurut dia, masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah tingginya angka pengangguran dan satu-satunya jalan adalah dengan menggerakkan perekonomian domestik dengan memobilisasi dana-dana perbankan agar mengalir dengan sehat ke sektor riel.
Ini adalah sebuah isu yang strategis, nyata dan terukur. Para capres harus mempunyai pilihan yang jelas dan tidak bisa mengelak dari menjawab pertanyaan seputar ini. Sebab, semua capres telah menjanjikan akan membuka kesempatan kerja seluas-luasnya dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Pangkal soalnya adalah bagaimana caranya? Kepada para capres itu perlu ditanyakan apakah ia akan ngotot mematok tingkat inflasi single digit atau justru tak terlalu khawatir soal itu?
Barangkali jawaban dari pertanyaan ini lah yang akan segera dapat kita jadikan pembeda capres satu dengan lainnya. The Incumbent president, Megawati, telah kita saksikan kebijakan ekonominya selama ini: tingkat inflasi single digit seolah sudah jadi jimat kramat yang tidak bisa diganggu gugat. Ada pun tingkat pengangguran yang tinggi seolah menjadi prioritas selanjutnya, setelah stabilitas moneter (salah satunya dicerminkan oleh tingkat inflasi yang rendah itu).
Lalu apa jawaban para penantang? Ini lah yang kita tunggu. Para penantang, yang tentu ingin berbeda (dan memang harus berbeda) sebaiknya menjelaskan pilihannya. Apakah memang pendekatan yang bias pada stabilitas moneter itu masih layak dipertahankan? Kalau tidak, bagaimana caranya? Sekali lagi, kita harus berteriak, Chisti Sol. Berikan kami jawaban yang pasti-pasti saja. Tak usah banyak basa-basi pembuka.***
(Editorial WartaBisnis edisi 27/II/Juli 2004
Hyundai Accent Sebagai Kenang-kenangan
Ada sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta mengusulkan agar kendaraan dinasnya, Hyundai Accent, diberikan kepada mereka sebagai kenang-kenangan di akhir tugas. Juga pesangon senilai Rp25 juta. Untungnya, masih ada yang mempunyai harga diri dan menolak usul itu. Mereka lah seharusnya yang jadi Indonesian Idol
FRAKSI PK DPRD TOLAK UANG PESANGON DAN MOBIL
Jakarta, Kompas. Fraksi Partai Keadilan secara tegas menolak uang pesangon (nilainya belum ditentukan, tetapi diperkirakan sebesar Rp25 juta per orang) di masa purnabakti sebagai anggota DPRD DKI Jakarta (periode 2000-2004)….. Menjelang masa purnabakti, sejumlah anggota DPRD DKI mengusulkan agar memperoleh uang pesangon sekaligus dapat memiliki secara pribadi kendaraan dinas (Hyundai Accent, Red) yang dipakai selama ini. Alasannya mobil dinas itu untuk kenang-kenangan…..Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Chudlary Syafi’I mengatakan pihaknya sudah ,menyampaikan aspirasi itu ke Biro Perlengkapan DKI.
Berita itu muncul tak terlampau menonjol, Sabtu, 1 Mei. Panjangnya hanya lima paragraf. Terletak di halaman 18, bersebelahan dengan setengah halaman iklan tentang mobil-mobil bekas yang akan dijual. Tidak mengapa. Masih untung berita seistimewa itu bisa tersiar. Bagaimana jika tidak. Bisa-bisa kita makin tak percaya bahwa masih ada politisi yang punya rasa malu dan tanggung-jawab.
Mudah-mudahan itu bukan sekadar manuver dari sebuah partai untuk mengatrol citra menjelang Pemilu Presiden. Bukan pula sebuah taktik dalam menaikkan posisi tawar untuk sesuatu yang lebih besar. Dan, nampaknya memang bukan. Sejauh ini PK dikenal sebagai partai yang tergolong bersih dan konsisten memperjuangkan praktek pemerintahan yang bersih. (Disclaimer: WartaBisnis adalah majalah independen, tidak terkait dan terafiliasi dengan partai mana pun. Tulisan ini pun demikian).
Berita itu menjadi istimewa di tengah makin lazimnya kita mendengar para pengisi jabatan-jabatan publik mendapat kompensasi yang demikian besar di akhir jabatannya. Ada yang resmi ada yang setengah resmi. Ada yang karena memang peraturannya demikian, tetapi ada yang diputuskan secara ad-hoc. Sangat sering, diputuskan justru oleh mereka sendiri, orang-orang yang akan mengakhiri jabatannya itu. Alasannya pun kadang-kadang membuat kita geleng-geleng kepala. Sebuah mobil dinas sebagai kenang-kenangan, misalnya.
Apa yang jadi masalah di sini, bila kita melihatnya dari kacamata pebisnis?—Hilangnya rasa percaya.
Bayangkan, para anggota DPRD itu adalah orang-orang yang selama ini gagah perkasa mengontrol Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Seorang Gubernur bisa jatuh karena berbagai kesalahan dalam penyusunan mau pun alokasi APBD itu. Para wakil rakyat itu adalah orang-orang yang sangat keras manakala bicara tentang efisiensi belanja publik. Mulai dari yang kelasnya teri hingga yang raksasa. Mulai dari soal kebijakan tarif parkir hingga ruislag bangunan bernilai triliunan. Dan, semua sikap kritis mereka itu memang baik. Kita dukung karena prinsip efisiensi dalam belanja publik adalah juga kepentingan publik.
Sayangnya, sikap kritis itu hanya mereka tunjukkan manakala korbannya adalah pihak lain. Sedangkan jika itu menyangkut mereka sendiri, prinsip efisiensi itu seolah-olah dilupakan. Meminta pesangon di akhir jabatan, untuk sebuah jabatan publik yang memang tidak ada keharusannya untuk itu (dan, itu lah sebabnya, para anggota DPRD itu harus mengusulkannya) tentu akan menjadi beban anggaran. Betapa borosnya anggaran bila setiap lima tahun harus menyediakan dana pesangon bagi segelintir orang yang dahulu di awal masa tugasnya berjanji tak akan membebani negara. (Perlu pula dicatat, anggaran yang sama kadang-kadang pnya keharusan juga untuk mengganti mobil dinas para wakil rakyat itu setiap tahun).
Hilangnya rasa percaya akan muncul dari sini. Kita jadi tak percaya kepada para wakil rakyat itu karena ternyata mereka hanya keras sepanjang korbannya adalah orang lain dan jadi lembek manakala itu menyangkut diri mereka sendiri. Rasa percaya jadi lenyap manakala mengetahui bahwa mereka ternyata pada akhirnya menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan lainnya. Padahal janjinya dulu, dan juga sumpahnya, tidak begitu.
Tetapi bahaya yang lebih besar adalah ini: kita jadi tahu bahwa titik lemah para wakil rakyat kita itu ternyata di situ: puaskanlah kepentingan mereka, maka mereka akan bisa melupakan janji. Selanjutnya, siapa pun yang ingin menabrak berbagai kebijakan, ingin memuluskan proyek lewat jalan tak biasa, akan mengendus ini sebagai sebuah cara. Cara untuk menaklukkan kepentingan publik, termasuk yang tadi, meninggalkan prinsip efisiensi.
Kasus seperti yang terjadi di DPRD DKI memang bukan yang pertama di Tanah Air. Di Bandung dulu ada istilah uang kadeudeuh. Di tempat lain barangkali namanya adalah uang selamat jalan. Kenang-kenangan? Kita memang sangat kreatif untuk hal-hal konyol. Tetapi, itu harus dihentikan. Caranya? Dengan memulai memikirkan secara jernih dan mengusungnya menjadi perdebatan publik, apakah orang-orang yang memilih dan dipilih untuk posisi seperti anggota DPR atau DPRD perlu mendapatkan uang pesangon. Apakah sebuah pekerjaan (kalau boleh dikatakan begitu) yang tanpa risiko diPHK sepihak, tanpa risiko mempertanggungjawabkan kinerjanya dan sangat jelas masa jabatannya, masih harus mendapat uang terimakasih. Dengan begitu akan ada sebuah panduan (guidance) yang jelas dan baku yang bisa diterima oleh semua orang. Bukan sebuah kesepakatan ad hoc yang dibuat orang-orang yang mempunyai pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan aturan itu. Sepanjang aturannya belum ada, usul untuk memberi pesangon itu sebaiknya ditolak saja.
Akhirnya, kita masih beruntung punya orang-orang yang bisa bersikap seperti bapak dan ibu anggota DPRD dari PK itu. Kenang-kenangan yang paling pantas bagi mereka adalah terimakasih dan rasa hormat yang tulus dari publik. Bagi politisi yang benar, kenang-kenangan seperti itu mungkin sudah lebih dari cukup. Jika anak-anak muda kini berlomba ingin jadi Indonesian Idol, mereka ini adalah sedikit dari orang yang bisa dijadikan inspirasi ***
Editorial WartaBisnis edisi 26/II/Mei 2004
FRAKSI PK DPRD TOLAK UANG PESANGON DAN MOBIL
Jakarta, Kompas. Fraksi Partai Keadilan secara tegas menolak uang pesangon (nilainya belum ditentukan, tetapi diperkirakan sebesar Rp25 juta per orang) di masa purnabakti sebagai anggota DPRD DKI Jakarta (periode 2000-2004)….. Menjelang masa purnabakti, sejumlah anggota DPRD DKI mengusulkan agar memperoleh uang pesangon sekaligus dapat memiliki secara pribadi kendaraan dinas (Hyundai Accent, Red) yang dipakai selama ini. Alasannya mobil dinas itu untuk kenang-kenangan…..Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Chudlary Syafi’I mengatakan pihaknya sudah ,menyampaikan aspirasi itu ke Biro Perlengkapan DKI.
Berita itu muncul tak terlampau menonjol, Sabtu, 1 Mei. Panjangnya hanya lima paragraf. Terletak di halaman 18, bersebelahan dengan setengah halaman iklan tentang mobil-mobil bekas yang akan dijual. Tidak mengapa. Masih untung berita seistimewa itu bisa tersiar. Bagaimana jika tidak. Bisa-bisa kita makin tak percaya bahwa masih ada politisi yang punya rasa malu dan tanggung-jawab.
Mudah-mudahan itu bukan sekadar manuver dari sebuah partai untuk mengatrol citra menjelang Pemilu Presiden. Bukan pula sebuah taktik dalam menaikkan posisi tawar untuk sesuatu yang lebih besar. Dan, nampaknya memang bukan. Sejauh ini PK dikenal sebagai partai yang tergolong bersih dan konsisten memperjuangkan praktek pemerintahan yang bersih. (Disclaimer: WartaBisnis adalah majalah independen, tidak terkait dan terafiliasi dengan partai mana pun. Tulisan ini pun demikian).
Berita itu menjadi istimewa di tengah makin lazimnya kita mendengar para pengisi jabatan-jabatan publik mendapat kompensasi yang demikian besar di akhir jabatannya. Ada yang resmi ada yang setengah resmi. Ada yang karena memang peraturannya demikian, tetapi ada yang diputuskan secara ad-hoc. Sangat sering, diputuskan justru oleh mereka sendiri, orang-orang yang akan mengakhiri jabatannya itu. Alasannya pun kadang-kadang membuat kita geleng-geleng kepala. Sebuah mobil dinas sebagai kenang-kenangan, misalnya.
Apa yang jadi masalah di sini, bila kita melihatnya dari kacamata pebisnis?—Hilangnya rasa percaya.
Bayangkan, para anggota DPRD itu adalah orang-orang yang selama ini gagah perkasa mengontrol Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Seorang Gubernur bisa jatuh karena berbagai kesalahan dalam penyusunan mau pun alokasi APBD itu. Para wakil rakyat itu adalah orang-orang yang sangat keras manakala bicara tentang efisiensi belanja publik. Mulai dari yang kelasnya teri hingga yang raksasa. Mulai dari soal kebijakan tarif parkir hingga ruislag bangunan bernilai triliunan. Dan, semua sikap kritis mereka itu memang baik. Kita dukung karena prinsip efisiensi dalam belanja publik adalah juga kepentingan publik.
Sayangnya, sikap kritis itu hanya mereka tunjukkan manakala korbannya adalah pihak lain. Sedangkan jika itu menyangkut mereka sendiri, prinsip efisiensi itu seolah-olah dilupakan. Meminta pesangon di akhir jabatan, untuk sebuah jabatan publik yang memang tidak ada keharusannya untuk itu (dan, itu lah sebabnya, para anggota DPRD itu harus mengusulkannya) tentu akan menjadi beban anggaran. Betapa borosnya anggaran bila setiap lima tahun harus menyediakan dana pesangon bagi segelintir orang yang dahulu di awal masa tugasnya berjanji tak akan membebani negara. (Perlu pula dicatat, anggaran yang sama kadang-kadang pnya keharusan juga untuk mengganti mobil dinas para wakil rakyat itu setiap tahun).
Hilangnya rasa percaya akan muncul dari sini. Kita jadi tak percaya kepada para wakil rakyat itu karena ternyata mereka hanya keras sepanjang korbannya adalah orang lain dan jadi lembek manakala itu menyangkut diri mereka sendiri. Rasa percaya jadi lenyap manakala mengetahui bahwa mereka ternyata pada akhirnya menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan lainnya. Padahal janjinya dulu, dan juga sumpahnya, tidak begitu.
Tetapi bahaya yang lebih besar adalah ini: kita jadi tahu bahwa titik lemah para wakil rakyat kita itu ternyata di situ: puaskanlah kepentingan mereka, maka mereka akan bisa melupakan janji. Selanjutnya, siapa pun yang ingin menabrak berbagai kebijakan, ingin memuluskan proyek lewat jalan tak biasa, akan mengendus ini sebagai sebuah cara. Cara untuk menaklukkan kepentingan publik, termasuk yang tadi, meninggalkan prinsip efisiensi.
Kasus seperti yang terjadi di DPRD DKI memang bukan yang pertama di Tanah Air. Di Bandung dulu ada istilah uang kadeudeuh. Di tempat lain barangkali namanya adalah uang selamat jalan. Kenang-kenangan? Kita memang sangat kreatif untuk hal-hal konyol. Tetapi, itu harus dihentikan. Caranya? Dengan memulai memikirkan secara jernih dan mengusungnya menjadi perdebatan publik, apakah orang-orang yang memilih dan dipilih untuk posisi seperti anggota DPR atau DPRD perlu mendapatkan uang pesangon. Apakah sebuah pekerjaan (kalau boleh dikatakan begitu) yang tanpa risiko diPHK sepihak, tanpa risiko mempertanggungjawabkan kinerjanya dan sangat jelas masa jabatannya, masih harus mendapat uang terimakasih. Dengan begitu akan ada sebuah panduan (guidance) yang jelas dan baku yang bisa diterima oleh semua orang. Bukan sebuah kesepakatan ad hoc yang dibuat orang-orang yang mempunyai pertentangan kepentingan (conflict of interest) dengan aturan itu. Sepanjang aturannya belum ada, usul untuk memberi pesangon itu sebaiknya ditolak saja.
Akhirnya, kita masih beruntung punya orang-orang yang bisa bersikap seperti bapak dan ibu anggota DPRD dari PK itu. Kenang-kenangan yang paling pantas bagi mereka adalah terimakasih dan rasa hormat yang tulus dari publik. Bagi politisi yang benar, kenang-kenangan seperti itu mungkin sudah lebih dari cukup. Jika anak-anak muda kini berlomba ingin jadi Indonesian Idol, mereka ini adalah sedikit dari orang yang bisa dijadikan inspirasi ***
Editorial WartaBisnis edisi 26/II/Mei 2004
Deindustrialisasi dan Masa Depan
Fenomena deindustrialisasi ditengarai mulai terjadi. Sangat mengkhawatirkan bila ia kita biarkan.
Bulan lalu majalah ini mengangkat sinyalemen yang dilontarkan Aviliani, salah seorang ekonom dari tim Indonesia Bangkit. Aviliani menengarai adanya kecenderungan pebisnis memindahkan aktivitas usahanya dari kegiatan industri ke kegiatan perdagangan. Banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, menurut dia, sebetulnya telah berubah atau memang sebetulnya adalah aktivitas perdagangan. Ia menunjuk contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdaya tahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi.
Sejumlah media kemudian mengangkat isu ini. Para ekonom kemudian terlibat dalam wacana yang kurang lebih seperti yang dikemukakan Aviliani. Makin banyak suara yang membicarakan telah mulainya terjadi deindustrialisasi, mundurnya kegiatan industri di berbagai lapangan. Bukan karena perekonomian yang lebih maju (seperti yang terjadi di negara maju, dimana porsi sektor industri terhadap GDP menurun, digantikan oleh meningkatnya porsi sektor jasa) tetapi justru karena munculnya berbagai hambatan.
Seberapa besar dan cepat fenomena deindustrialisasi itu agaknya akan menjadi perdebatan panjang. Namun dapat dikatakan makin banyak ekonom yang meyakini deindustrialisasi itu sudah mulai. Jika tak ada jalan keluar, ia bisa berlangsung dalam skala yang makin besar yang berakibat kemunduran perekonomian: pertumbuhan ekonomi tidak stabil, pengangguran membengkak, kualitas hidup yang menurun karena kualitas pekerjaan yang juga menurun, dan banyak lagi.
Barangkali kita sudah bosan mendengar bila penyebabnya disebutkan lagi satu per satu. Namun, baiklah, tak salah untuk mengingatkannya. Yang umum ditengarai adalah makin tidak kondusifnya berinvestasi di Tanah Air, terutama berinvestasi di sektor riel. Berikut ini hanya sejumlah hal yang kerap dikeluhkan:
aturan ketenagakerjaan yang sangat pro-buruh, proses birokrasi yang makin kacau antara pemerintah pusat dan daerah, korupsi makin berat, kebijakan yang berubah-ubah dan tanpa arah, keamanan yang masih mengkhawatirkan serta yang paling dekat, ketidakpastian menjelang Pemilu.
Tampaknya perlu juga diingatkan bahwa fenomena deindustrialisasi itu bukan sekadar karena investasi asing langsung yang belum masuk seperti yang kita harapkan. Lebih mengkhawatirkan lagi karena ia juga tampaknya berlangsung pada industri-industri yang selama ini digeluti oleh pebisnis domestik. Dengan kata lain, pebisnis domestik yang sudah hafal asam-garam berbisnis di sini pun, tampaknya sudah mulai frustrasi untuk membuat rencana-rencana yang bersifat sedikit lebih panjang.
Maka hal ini perlu menjadi semacam aba-aba serius bagi semua orang, terutama mereka yang kini dan kelak menjadi penentu nasib negeri ini. Di balik gemerlapnya suasana di pusat perbelanjaan, macetnya jalanan di kota-kota besar, hingar-bingar tontotan di televisi serta ramainya pusat-pusat hiburan, jangan-jangan kita tengah merayakan sesuatu yang semu. Sesuatu yang hanya nikmat satu dan dua tahun ini tetapi setelah itu kita akan kembali kepada zaman dimana kita dulu ingin meninggalkannya.
Akan lebih mengkhawatirkan lagi bila kita menoleh ke kampus-kampus, dimana para adik-adik mahasiswa sedang merajut masa depan. Sebagian besar dari mereka pasti tengah menyusun rencana jangka panjang hidup mereka. Benar, tidak selalu harus menjadi pegawai, entah di swasta atau pun di pemerintahan. Tetapi akan menjadi bahaya besar manakala mereka keluar dari sana, menghadapi kenyataan yang jauh lebih pahit daripada kenyataan yang dihadapi oleh orang tua mereka dahulu. Lima tahun lalu kita sudah terbiasa mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai. Lima tahun mendatang, barangkali keluhan itu datang sudah dalam bentuk lain, dalam bentuk tragedi hidup yang lebih menyakitkan.
Gambarannya sudah mulai tampak saat ini. Saat-saat kita asyik melihat kemewahan yang dipertontonkan oleh layar televisi, pada waktu bersamaan pula kita bisa menyaksikan berbagai kejadian tak masuk akal. Ada orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan. Ada pengusaha yang tertipu oleh sarjana yang menjadi tentara gadungan. Terkecoh lewat telepon selular dengan iming-iming hadiah ratusan juta makin kerap terjadi. Apa yang dapat menjelaskan ini kecuali rasa putus asa yang mengaburkan orientasi hidup?
Sebagai sebuah peringatan awal, apa yang dikemukakan di sini mungkin agak terlalu berlebihan nada pesimistisnya. Terlalu dramatis penggambarannya. Namun, di tengah makin sulitnya menemukan orang --apalagi penguasa -- yang peduli pada berbagai hal yang memprihatikan itu, bahkan doomsday scenario seperti ini pun mungkin tak akan banyak menyentuh. Cukup sudah kita menganalisis masalahnya. Waktunya melakukan perubahan.***
Editorial WartaBisnis edisi 23/II/Februari 2004
Bulan lalu majalah ini mengangkat sinyalemen yang dilontarkan Aviliani, salah seorang ekonom dari tim Indonesia Bangkit. Aviliani menengarai adanya kecenderungan pebisnis memindahkan aktivitas usahanya dari kegiatan industri ke kegiatan perdagangan. Banyak kegiatan ekonomi yang sepertinya adalah kegiatan industri, menurut dia, sebetulnya telah berubah atau memang sebetulnya adalah aktivitas perdagangan. Ia menunjuk contoh, industri tekstil yang terkesan tumbuh, bisa jadi ‘isinya’ sebenarnya kegiatan jual-beli semata: mengimpor pakaian dan mengganti labelnya untuk dijual kembali. Di sini yang tercipta bukan nilai tambah proses industri, tetapi nilai tambah perdagangan belaka. Dan, sebagaimana sudah umum menjadi prinsip pembangunan ekonomi di mana pun: ekonomi yang berbasis industri itu lebih berdaya tahan ketimbang berbasis perdagangan. Apalagi jika yang diperdagangkan itu lebih pada barang-barang konsumsi.
Sejumlah media kemudian mengangkat isu ini. Para ekonom kemudian terlibat dalam wacana yang kurang lebih seperti yang dikemukakan Aviliani. Makin banyak suara yang membicarakan telah mulainya terjadi deindustrialisasi, mundurnya kegiatan industri di berbagai lapangan. Bukan karena perekonomian yang lebih maju (seperti yang terjadi di negara maju, dimana porsi sektor industri terhadap GDP menurun, digantikan oleh meningkatnya porsi sektor jasa) tetapi justru karena munculnya berbagai hambatan.
Seberapa besar dan cepat fenomena deindustrialisasi itu agaknya akan menjadi perdebatan panjang. Namun dapat dikatakan makin banyak ekonom yang meyakini deindustrialisasi itu sudah mulai. Jika tak ada jalan keluar, ia bisa berlangsung dalam skala yang makin besar yang berakibat kemunduran perekonomian: pertumbuhan ekonomi tidak stabil, pengangguran membengkak, kualitas hidup yang menurun karena kualitas pekerjaan yang juga menurun, dan banyak lagi.
Barangkali kita sudah bosan mendengar bila penyebabnya disebutkan lagi satu per satu. Namun, baiklah, tak salah untuk mengingatkannya. Yang umum ditengarai adalah makin tidak kondusifnya berinvestasi di Tanah Air, terutama berinvestasi di sektor riel. Berikut ini hanya sejumlah hal yang kerap dikeluhkan:
aturan ketenagakerjaan yang sangat pro-buruh, proses birokrasi yang makin kacau antara pemerintah pusat dan daerah, korupsi makin berat, kebijakan yang berubah-ubah dan tanpa arah, keamanan yang masih mengkhawatirkan serta yang paling dekat, ketidakpastian menjelang Pemilu.
Tampaknya perlu juga diingatkan bahwa fenomena deindustrialisasi itu bukan sekadar karena investasi asing langsung yang belum masuk seperti yang kita harapkan. Lebih mengkhawatirkan lagi karena ia juga tampaknya berlangsung pada industri-industri yang selama ini digeluti oleh pebisnis domestik. Dengan kata lain, pebisnis domestik yang sudah hafal asam-garam berbisnis di sini pun, tampaknya sudah mulai frustrasi untuk membuat rencana-rencana yang bersifat sedikit lebih panjang.
Maka hal ini perlu menjadi semacam aba-aba serius bagi semua orang, terutama mereka yang kini dan kelak menjadi penentu nasib negeri ini. Di balik gemerlapnya suasana di pusat perbelanjaan, macetnya jalanan di kota-kota besar, hingar-bingar tontotan di televisi serta ramainya pusat-pusat hiburan, jangan-jangan kita tengah merayakan sesuatu yang semu. Sesuatu yang hanya nikmat satu dan dua tahun ini tetapi setelah itu kita akan kembali kepada zaman dimana kita dulu ingin meninggalkannya.
Akan lebih mengkhawatirkan lagi bila kita menoleh ke kampus-kampus, dimana para adik-adik mahasiswa sedang merajut masa depan. Sebagian besar dari mereka pasti tengah menyusun rencana jangka panjang hidup mereka. Benar, tidak selalu harus menjadi pegawai, entah di swasta atau pun di pemerintahan. Tetapi akan menjadi bahaya besar manakala mereka keluar dari sana, menghadapi kenyataan yang jauh lebih pahit daripada kenyataan yang dihadapi oleh orang tua mereka dahulu. Lima tahun lalu kita sudah terbiasa mendengar keluhan tentang sulitnya mencari pekerjaan yang sesuai. Lima tahun mendatang, barangkali keluhan itu datang sudah dalam bentuk lain, dalam bentuk tragedi hidup yang lebih menyakitkan.
Gambarannya sudah mulai tampak saat ini. Saat-saat kita asyik melihat kemewahan yang dipertontonkan oleh layar televisi, pada waktu bersamaan pula kita bisa menyaksikan berbagai kejadian tak masuk akal. Ada orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan. Ada pengusaha yang tertipu oleh sarjana yang menjadi tentara gadungan. Terkecoh lewat telepon selular dengan iming-iming hadiah ratusan juta makin kerap terjadi. Apa yang dapat menjelaskan ini kecuali rasa putus asa yang mengaburkan orientasi hidup?
Sebagai sebuah peringatan awal, apa yang dikemukakan di sini mungkin agak terlalu berlebihan nada pesimistisnya. Terlalu dramatis penggambarannya. Namun, di tengah makin sulitnya menemukan orang --apalagi penguasa -- yang peduli pada berbagai hal yang memprihatikan itu, bahkan doomsday scenario seperti ini pun mungkin tak akan banyak menyentuh. Cukup sudah kita menganalisis masalahnya. Waktunya melakukan perubahan.***
Editorial WartaBisnis edisi 23/II/Februari 2004
Subscribe to:
Posts (Atom)